Nyonya Tua Berganti Rupa

Foto: Twitter @Pirlo_official.

Juventus melakukan banyak perubahan menjelang musim 2020/21 bergulir, termasuk meremajakan tim. Pilihan tersebut bukannya tanpa risiko, tetapi 'Si Nyonya Tua' siap untuk menanggung konsekuensinya.

Juventus berada dalam situasi yang tak biasa. Mereka bertengger di peringkat ketiga dan tertinggal 7 angka dari Inter Milan sang pemuncak klasemen. Bisa-bisa, Juventus gagal menjuarai Serie A. Bila dihitung-hitung, belum pernah sekalipun mereka memimpin klasemen Serie A 2020/21.

The Old Lady seperti melangkah dengan beban di kaki. Tak heran apabila start mereka lambat; cuma 5 kemenangan mereka dapatkan dalam 8 laga pertama. Dengan catatan demikian, Juventus sempat tersendat di posisi enam klasemen. Menang-imbang-menang-imbang, begitu terus. Sampai akhirnya Leonardo Bonucci cs. menelan kekalahan pertama dari Fiorentina 0-3 pada pekan ke-14.

Juventus kemudian mengamuk. Tiga pertandingan selanjutnya mereka libas. Namun, itu tak bertahan lama. Mereka kemudian takluk 0-2 di kandang Inter, lalu kalah dari Napoli sebulan berselang. Dari total 25 pertandingan, persentase kemenangan Juventus cuma menyentuh 60%.

Arrigo Sacchi, dalam kolomnya di La Gazzetta dello Sport, menuliskan bahwa Juventus mulai mengalami banyak ketidakpastian. Pelatih legendaris AC Milan itu terang-terangan menulis, “Mereka telah menemukan tim yang mengkhianati sejarah klub yang mulia ini."

Memang sebegitu jeleknya Juventus sekarang? Apakah sudah waktunya menuding Andrea Pirlo sebagai biang keroknya?

“Idealnya pelatih memiliki lebih banyak waktu untuk mengeluarkan ide-idenya dalam latihan. Dengan begitu mereka bisa mengenal para pemain lebih baik, demikian juga sebaliknya. Sementara dia (Pirlo) tidak punya waktu di pramusim. Apalagi kami memiliki jadwal yang padat. Jadi, dia memang butuh lebih banyak waktu,” ujar Chief Football Officer Juventus, Fabio Paratici.

Paratici mungkin sekadar membela Pirlo. Dia mengambil waktu adaptasi sebagai tamengnya. Di lain sisi, Paratici ada benarnya. Pirlo bukan cuma terhambat soal durasi, tetapi juga pengalamannya yang masih prematur. Dia resmi menjabat sebagai pelatih utama sembilan hari setelah ditunjuk menukangi Juventus U-23 yang mentas di Serie C.

Lonjakan posisi Pirlo ini bukan sesuatu yang lumrah. Pep Guardiola saja kudu melewati Barcelona B dulu sebelum diberi kewenangan mengatur Xavi Hernandez cs. Setali tiga uang dengan Zinedine Zidane yang juga melalui jenjang karier kepelatihan di Real Madrid B sebelum ke tim utama.

Tapi 'kan orientasi dan kebutuhan setiap klub berbeda-beda. Juventus tak perlu meniru plek apa yang dilakukan oleh Barcelona dan Madrid, meski garis besarnya sama: Mengangkat eks pemain sebagai nakhoda tim.

Chairman Juventus, Andrea Agnelli, pernah membeberkan alsannya memilih Pirlo adalah demi mengembalikan spirit para pemain Juventus. Menurut Agnelli, problem itulah yang dialami para pemainnya di rezim Maurizio Sarri.

Urgensinya makin meningkat seiring dengan progres yang dialami rival-rival Juventus. Inter makin padu dengan bantuan Antoino Conte, begitu juga dengan Atalanta bersama Gian Piero Gasperini , dan Simone Inzaghi bersama Lazio. Pada musim lalu, Biancocelesti bahkan sukses mengalahkan Juventus dua kali dari tiga perjumpaan, termasuk di Supercoppa Italia 2019.

Kalau bicara soal penurunan performa, Juventus sebenarnya sudah mengalaminya sejak Massimiliano Allegri angkat kaki. Betul bahwa Sarri mampu meneruskan hegemoni dengan merengkuh Scudetto. Namun, tetap saja, sulit dimungkiri bahwa Juventus sudah makin gampang disaingi.

Pada 2019/20, Sarri mengantar Juventus menjadi kampiun Serie A dengan akumulasi poin 83. Sebagai komparasi, jumlah itu menjadi yang terendah dalam 8 musim ke belakang, termasuk saat mereka pertama kali menjadi juara bersama Conte.

Margin Juventus dengan para kompetitornya kian menipis. Mereka cuma unggul satu angka atas Inter Milan pada akhir musim. Disusul Atalanta dan Lazio yang hanya berada 5 angka di belakang mereka.

Bandingkan dengan musim 2018/19, periode terakhir Allegri sebagai pelatih. Juventus mengemas 90 poin dan unggul jauh atas Napoli yang menoleksi 79 angka pada musim itu.


Mengangkat Pirlo, buat Agnelli, adalah bagian dari visinya mengubah wajah Juventus. Salah satu yang ia sasar adalah peremajaan skuat. Toh, pengorbitan pemain muda nantinya bakal memudahkan Juventus dalam merealisasikan proyek jangka panjang.

“Saya terus mendengar anggapan bahwa kami memiliki skuat dengan usia tertua di Eropa, jadi itu adalah sesuatu yang perlu kami perhatikan,” terang Agnelli.

Pada awal musim 2020/21, La Gazzetta dello Sport melaporkan Juventus mengalami penyusutan rata-rata usia skuat dari 29 ke 27 tahun. Masuk akal, sih, bila menilik siasat transfer mereka pada musim panas kemarin.

Sebagai gambaran, Juventus melepas para personel "berkepala tiga" macam Miralem Pjanic (30), Blaise Matuidi (33), Gonzalo Higuain (33), dan Douglas Costa (30). Mereka menggantikannya dengan para pemain yang usianya tak lebih dari 25 tahun. Ada Dejan Kulusevski (20), Weston McKennie (22), Arthur (24), dan Federico Chiesa (23). Cuma Alvaro Morata yang tergolong "tua". Umurnya 27 tahun ketika resmi dipinjam dari Atletico Madrid pada September lalu.

Jangan lupa juga kalau Pirlo cukup bermurah hari kepada para pemain akademi. Tercatat, dia sudah memainkan 6 eks personel Juventus U-23, termasuk Gianluca Frabotta yang sudah mengecap 14 penampilan di Serie A.

Meski demikian, memainkan para pemain muda ini bukannya tanpa konsekuensi. Mereka masih minim pengalaman dan setidaknya butuh waktu lebih buat menyerap keinginan Pirlo. Itulah mengapa Juventus memulai musim dengan lambat.

Mengacu Understat, ekspektasi poin (xPTS) Juventus menyentuh 52,88. Namun, realitasnya mereka baru mengumpulkan 51 angka. Bandingkan dengan Inter dan Milan yang mengemas 8 poin lebih banyak dari xPTS mereka.

Pada akhirnya, young guns Juventus memang mulai menunjukkan tajinya. McKennie dan Kulusevski bila dikalkulasi berhasil menyumbangkan 7 gol dan 3 assist di Serie A. Sementara itu, Chiesa lagi bagus-bagusnya. Dia selalu mencetak gol/assist pada tiga laga terakhir. 

Satu-satunya sisi negatif dari kesabaran menunggu para pemain muda ini klik adalah ketertinggalan dari duo Milan. Namun, Pirlo dan Juventus mestinya juga paham bahwa konsekuensinya memang seperti itu. 


Persoalan Pirlo sendiri bukan hanya sebatas menggeber potensi para pemain mudanya, tetapi juga meredam ego Cristiano Ronaldo. Menekan hasrat superstar seperti dirinya bukan perkara mudah.

Bobo TV, sebuah program milik Christian Vieri, pernah menganalisis alasan di balik anjloknya performa Juventus. Komentar menarik datang dari Antonio Cassano. Dia menyebut Ronaldo-lah yang jadi penghambat proyek Juventus di tangan Pirlo sekarang.

“Dia mencetak 800 gol, tidak ada yang bisa membantahnya. Namun, dia sudah berusia 35 tahun. Faktanya, Juventus tengah memulai siklus baru [dengan para pemain muda],” ucap Cassano.

Misi utama Juventus mendatangkan Ronaldo pada musim 2018/19 adalah demi kejayaan di Liga Champions. Untuk saat itu tujuannya memang masih relevan, tapi tidak untuk sekarang. Nyatanya. Juventus sudah dua kali gagal lolos dari perempat final.

Kombinasi Ronaldo dengan para pemain muda mereka justru saling mengerdilkan, bukan sebaliknya —khususnya untuk yang beroperasi di area serang. Sulit memaksimalkan potensi pemain lain saat Juventus masih menganut paham Ronaldosentris.

Hingga pekan ke-26 Serie A, Ronaldo rata-rata melepaskan 5,1 tembakan per laga. Paulo Dybala yang berada di peringkat kedua cuma mengumpulkan nyaris setengahnya (2,6). Jumlah itu masih unggul jauh atas Chiesa yang hanya mengemas 1,8 shot pada tiap pertandingan.

Kulusevski lebih memprihatinkan lagi, rata-rata tembakannya cuma 0,9 per laga. FYI, pemain Swedia itu mencatatkan rata-rata 1,7 tembakan semasa di Parma musim lalu. Oleh karena itu, dia berhasil mengemas 10 gol di sana atau 7 gol lebih banyak dibanding sekarang.

Lalu, apakah Juventus masih bisa berlari tanpa Ronaldo? Jawabannya, iya.

Laga melawan Lazio (7/3/2021) bisa menjadi buktinya. Pirlo melakukan langkah revolusioner dengan memasang Morata dan mencadangkan Ronaldo. Suami Giorgina Rodriguez itu baru dimasukkan pada menit ke-70. 

Hasilnya oun impresif. Juventus menang 3-1 dan Morata berkontribusi atas seluruh lesakan mereka (2 gol dan 1 assist).

Sebetulnya, bukan kali itu saja Morata menjadi penyelamat Juventus. Kredibilitasnya juga sudah terbukti di Liga Champions musim ini. Eks Chelsea itu berhasil mengover lini depan Juventus saat Ronaldo absen gara-gara terjangkit COVID-19. Bila ditotal, sudah 6 gol dibuatnya di Liga Champions—terbanyak kedua setelah Erling Halaand.

***

Selalu ada yang dikorbankan dari perubahan. Tak terkecuali pada apa yang terjadi dengan Juventus sekarang. 

Mereka berada dalam transisi menuju siklus baru yang sudah diproyeksikan Agnelli. Namun, mereka tak boleh serakah. Harus ada yang dipilih: Ronaldo atau Pirlo dengan para pemain mudanya