Orang-orang Samaria di Lapangan Bola

Ilustrasi: Arif Utama

Mulai dari Socrates, Zvonimir Boban, Claudio Marchisio, Juan Mata, Hector Bellerin, Megan Rapinoe, Leon Goretzka, sampai Marcus Rashford, mereka percaya bahwa selalu ada yang lebih penting daripada pertandingan dan gelar juara.

Ketika lampu-lampu stadion dimatikan dan lapangan ditutup temaram, segelintir pesepak bola menjawab pertanyaan “Siapakah sesamaku manusia?” dengan bergerak melepaskan orang lain dari jerat yang membelit hidup.

Mulai dari Socrates, Zvonimir Boban, Claudio Marchisio, Hector Bellerin, Megan Rapinoe, Leon Goretzka, sampai Marcus Rashford, mereka percaya bahwa selalu ada yang lebih penting daripada pertandingan dan gelar juara. Persetan dengan julukan aktivis atau pahlawan kesiangan. Di balik gemuruh gol dan selebrasi, tangan besi mencengkeram nasib orang tak berdaya.

Socrates memang sudah wafat pada 2011, tetapi kelewat sulit untuk melupakan kegigihannya menentang rezim diktator militer Brasil yang saat itu didukung Amerika Serikat. Socrates menggunakan yang ada di tangannya untuk mewujudkan apa yang bersemayam di dalam kepalanya. Ia memulai perjuangannya dari lingkaran terkecil alias timnya sendiri, Corinthians.

Orang-orang Brasil mengenal apa yang dilakukan Socrates dan kawan-kawannya sebagai 'Corinthians' Democracy'. Pergerakan ini tidak hanya bertujuan untuk membuat manajemen mengelola klub secara lebih terbuka, tetapi juga ajakan untuk tidak cuci tangan pada persoalan politis.

Keputusan para pemain Corinthians untuk menggunakan jersi bernama punggung 'Democracia' dan 'Dia 15 Vote' bukan buat gaya-gayaan, apalagi iseng belaka. Itu adalah ajakan kepada rakyat Brasil untuk berpartisipasi dalam pemilu multi-partai pertama sejak rezim militer 1964.

Socrates bukan satu-satunya pesepak bola yang masuk dalam aktivisme. Di Kroasia sana, pernah ada Zvonimir Boban yang melepas tendangan ke dada polisi. Peristiwa yang selamanya membekas dalam ingatan orang-orang Kroasia itu terjadi dalam laga Dinamo Zagreb melawan Red Star Belgrade.

Laga derbi ini berlangsung dalam tensi tinggi karena bukan hanya bicara tentang dua seteru di lapangan bola. Pada 1990 Kroasia dan Serbia ada dalam gejolak. Ketika itu Kroasia melepaskan diri dari Yugoslavia. Di lain pihak, banyak etnis Serbia yang tinggal di Kroasia, yang didukung oleh Serbia, menentang pemisahan diri.

Sebagian besar orang Serbia secara efektif mencari negara baru dengan menaklukkan wilayah-wilayah dalam federasi Yugoslavia, termasuk Kroasia serta Bosnia dan Herzegovina.

Kroasia mendeklarasikan kemerdekaan pada 25 Juni 1991, tetapi setuju untuk menundanya dengan Perjanjian Brioni dan memutuskan semua ikatan yang tersisa dengan Yugoslavia pada 8 Oktober 1991.

Sebelum kemerdekaan itu direngkuh, isu politis menjalar sampai ke lapangan bola. Para suporter turun ke lapangan dan terlibat baku hantam. Apa boleh buat, polisi mesti turun tangan. Namun, Boban menemukan ketidakadilan karena yang ditangkap dan dipukuli polisi Serbia cuma suporter Zagreb.

Boban tak terima. Darah mudanya mendidih. Beberapa detik setelahnya, dunia terbelalak menyaksikan Boban menendang dada seorang polisi.

Mudah bagi kita untuk mengepalkan tinju untuk berkoar-koar soal perlawanan dan percaya bahwa tendangan kungfu Boban tersebut merupakan awal meletusnya Perang Kroasia pada 1991 hingga 1995.

Di pelataran Stadion Maksimir yang merupakan lokasi insiden tersebut dan kandang Zagreb berdiri patung menyerupai suporter yang terlibat dalam bentrokan itu. Pada permukaan patung itu pula ditulis kalimat “Untuk suporter klub ini yang memulai perang melawan Serbia di stadion ini pada 13 Mei 1990.”

Namun, klaim demikian keliru. Yang memulai Perang Kroasia bukan Boban, tetapi para politisi. Kalaupun nama Boban disebut-sebut, ia bukan pencetus, tetapi tunggangan.

Benar bahwa Boban adalah seorang romantis dan nasionalis. Namun, gejolak politik di Yugoslavia sudah dimulai pada 4 Mei 1980, tepat di hari kematian Presiden Republik Rakyat Federal Yugoslavia, Josip Broz Tito.

Kroasia, Serbia, Montenegro, dan Slovenia yang bernaung di bawah satu bendera menuntut kemerdekaan masing-masing. Beberapa pekan sebelum pertandingan Zagreb vs Red Star tadi, partai yang mendukung kemerdekaan Kroasia memenangi pemilihan umum.

Setelah ribut-ribut itu Boban masih berlaga membela Timnas Yugoslavia, termasuk di final leg kedua Piala Eropa U-21. Polisi yang ditendangnya, Refik Ahmetović, ternyata juga bukan orang Serbia, tetapi Bosnia.

Boban tidak mungkin tidak menyadari apa yang sedang terjadi di negara-negara Balkan, termasuk Kroasia. Pada 1990 ketika Log Revolution berlangsung, dua orang polisi Kroasia tewas tertembak. 

Barangkali kabar itu membayang-bayangi Boban. Di hadapannya seorang pemuda Kroasia bisa saja bernasib serupa dengan dua polisi tadi, maka Boban melepas tendangan.

Orang-orang yang "terbakar" menganggap manuver itu sebagai cikal-bakal perang. Namun, tendangan Boban bukan tendangan yang memulai perang. Tendangan Boban adalah tendangan yang melindungi nyawa orang lain.

Boban sah-sah saja untuk menutup mata dan bersembunyi ke ruang ganti ketika peristiwa itu terjadi. Akan tetapi, Boban yang menghabiskan masa kecilnya di dekat kamp pengungsian sudah terbiasa menyaksikan orang-orang bertahan hidup dengan apa yang mereka punya. 

Bagi Boban hidup jauh lebih penting ketimbang sepak bola sehingga sepak bola tidak boleh menghancurkan kehidupan. Nama besar, kekayaan, prestasi, remeh-temeh figur publik, privilese yang didapatnya dari sepak bola tidak boleh menjadi cangkang yang membuatnya menutup diri saat orang lain hampir kehilangan nyawa.

Keyakinan bahwa hidup lebih penting daripada sepak bola adalah bahan bakar yang juga membuat perlawanan Socrates tidak dilepaskan dalam satu atau dua pukul saja.

Rezim militer Brasil bukan kisah yang didengar Socrates dari mulut ke mulut atau dengan membaca surat kabar. Ketika berusia 10 tahun, ia melihat dengan mata kepala sendiri ayahnya membakar buku-buku. Peristiwa itu pada 1964, saat kudeta militer menghantam Brasil.

Kobaran api yang melahap buku-buku dari perpustakaan sang ayah membekas dalam ingatannya. Langkah ayahnya yang tergopoh-gopoh adalah penanda bahwa di balik hiruk pikuk ekstravaganza Brasil ada tangan-tangan tak berotak yang memaksa rakyat hidup dalam ketakutan.

Sepak bola tidak hanya membebaskan Socrates untuk melupakan sejenak perkara rumit mengenai tulang dan otot manusia. Permainan ini juga membawanya pada keistimewaan yang tidak pernah ia bayangkan. Rasa-rasanya pemain yang dikontrak klub tanpa kewajiban ikut latihan di dunia ini cuma Socrates.

Ia menggunakan pengaruh yang didapatnya dari sepak bola itu untuk memastikan orang-orang Brasil diperlakukan sebagai manusia. Lewat dorongan kepada klub untuk memperbaiki tata kelola, Socrates memastikan para pemain diperlakukan sebagai manusia yang bisa berpikir, berargumen, dan memutuskan. Pemain bukan hewan sirkus yang bebas disuruh ini dan itu hanya untuk memantik tawa.

Dengan demokrasi, Socrates melawan kekuasaan yang memaksa rakyat meringkuk di hadapan ketakutan. Socrates tahu benar bahwa sepak bola merupakan nyawa yang membuat Brasil tetap bertahan hidup di tengah segala ketidakbecusan. 

Berangkat dari situ, ia menggunakan sepak bola sebagai medium perlawanan untuk mematahkan cengkeraman tangan besi. Sepak bola sebagai permainan dan olahraga rakyat adalah sepak bola yang memberikan ruang bagi rakyat untuk bersuara dan mempertahankan hidup.

****

Upaya untuk memanusiakan manusia lewat sepak bola tidak berhenti di Socrates dan Boban. Di era sepak bola yang lebih modern, Mata, Marchisio, Bellerin, Rapinoe, Goretzka, dan Rashford tampil sebagai bintang yang menolak hidup di langit ketujuh.

Bellerin aktif mengampanyekan hak-hak LGBTQ+, Mata mengumpulkan dana lewat Common Goal, Goretzka meminta para suporter untuk tak melupakan sejarah hitam Auschwitz, Marchisio menyuarakan hak-hak pengungsi, Rapinoe memperjuangkan kesetaraan gender, dan Rashford bergerilya memberi makan anak-anak ekonomi rentan selama pandemi.

Serupa risiko yang ditanggung Socrates dan Boban, jangan tanya konsekuensi yang mesti dihadapi para penggawa yang terlibat aktivisme. Marchisio, misalnya, sampai dimusuhi oleh suporter timnya sendiri, Juventus. 

Tak perlu kaget dengan suara-suara sumbang yang menyebut Rapinoe dan Tim Nasional Perempuan Amerika Serikat sebagai komplotan mata duitan dan tak tahu diuntung. Tak perlu susah-susah menghitung cemooh yang didapat Bellerin karena terang-terangan mendukung hak LGBTQ+.

Pun dengan Rashford yang melakoni pergerakannya saat Inggris dihantam dua badai sekaligus, pandemi dan gejolak politik. Bahkan dalam surat terbukanya, sang penggawa Manchester United harus menegaskan bahwa sikapnya itu adalah sikap non-partisan. 

Pergerakan Rashford tak bisa dipisahkan dari cerita hidupnya sendiri. Semasa kecilnya dulu dia harus bergantung pada makanan gratis yang didapatkan di sekolah.

Berkat kontribusinya menyelamatkan anak-anak dari kelaparan Rashford mendapat bejibun penghargaan, mulai dari High Sheriff of Manchester, gelar doktor kehormatan dari The University of Manchester, gelar kebangsawanan MBE dari Ratu Inggris, hingga BBC Sports Personality.

****

Yang membuat pergerakan-pergerakan itu manusiawi bukan hanya karena dilakukan untuk memanusiakan manusia, tetapi dilakukan oleh manusia biasa. Tidak semua pemain yang bergerak sedang dalam keadaan baik-baik saja dan sedang membela tim yang berada di puncak.

Bellerin berlaga untuk Arsenal yang bolak-balik gagal merengkuh trofi. Itu belum ditambah dengan permainannya yang membikin suporter pening sendiri. 

Rashford tak perlu ditanya. Ketika memperjuangkan hidup anak-anak dan tunawisma, United yang dibelanya bergelut dengan inkonsistensi. Pekan ini menang, pekan depan babak belur. Pekan kemarin menang atas tim besar, pekan selanjutnya mesti bergantung pada penalti menit-menit akhir untuk sekadar mendapat hasil seri.

Bahkan sehebat apa pun Socrates, ia tidak pernah bisa membawa Timnas Brasil yang dipimpinnya menjadi kampiun. Socrates pernah menjabat sebagai kapten Selecao pada Piala Dunia 1982. 

Dongeng sepak bola yang beranak cucu di Brasil selalu menyebut bahwa tim yang dipimpinnya itu sebagai satu dari tiga tim terhebat sepanjang masa. Dua lainnya adalah Hungaria di Piala Dunia 1954 dan Belanda di Piala Dunia 1974. Entah kutukan atau sedang apes saja, ketiga tim itu gagal menjadi juara.

Brasil adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Masalahnya, mereka cuma bisa memiliki tanpa bisa mengelola. Brasil tak becus memanfaatkan apa yang mereka punya untuk membuat negeri mereka jadi lebih baik.

Di antara segala banyak hal yang berasal dari rahim tanah Brasil, hanya ada dua yang sanggup mereka rawat dengan begitu hebat: Kesenangan akan pesta dan sepak bola. Maka ketika Socrates tak bisa mempersembahkan trofi juara kepada negaranya, tetapi ikut memperjuangkan hidup orang banyak, itu adalah ironi di Brasil sana. 

Di tanah yang memuja kemenangan, ironi tidak akan membuat langkah terasa ringan dan perjalanan menjadi lempeng. Mereka yang menggilai sepak bola membenci dan menganggap kekalahan sebagai perkara najis. Bukan tak mungkin orang-orang seperti ini ada di antara mereka yang hidupnya diperjuangkan oleh pesepak bola yang berlutut menyuarakan Black Lives Matter.

Kegigihan ini memang tidak bakal bisa membuat mereka menjadi juru selamat yang sempurna. Namun, persis ketika berbicara tentang perumpaan orang Samaria, Tuhan barangkali akan bercerita tentang Socrates, Rashford, dan mereka yang menolak hidup di menara gading saat berjumpa dengan seorang ultras.