"Out of Possession"

Via @fcstpauli

Cobalah fokus pada out of possession dalam sebuah laga, saya jamin pengalamanmu menonton sepak bola akan berubah.

Pep Guardiola pernah bilang bahwa ia menginginkan timnya untuk memiliki penguasaan bola 100%. Ia mengatakan bahwa semakin lama sebuah tim menguasai bola, semakin besar pula kemungkinan tim tersebut untuk menang.

Tentu saja, dalam pertandingan 90 menit, menguasai bola 100% adalah hal yang mustahil dan apa yang dikatakan Guardiola juga tak sepenuhnya benar. Musim lalu, ia meraih treble bersama Manchester City setelah mengurangi intensitas penguasaan bola

Pada Premier League musim lalu, catatan rerata penguasaan bola City turun ke 64,7% dari catatan 67,9% di musim 2021/22. Di Liga Champions, angka 59,8% musim lalu adalah catatan terendah penguasaan bola City sejak 2017/18.

Penguasaan bola memang masih penting buatnya, tapi bukan segalanya. Guardiola juga sadar bahwa ada satu hal penting lain yang sama–atau bahkan lebih–krusialnya. Itu adalah fase tanpa penguasaan bola, atau yang biasa orang sebut dengan fase out of possession.

Pada awal tahun ini, saat ia mulai lebih “pragmatis” ketimbang sebelumnya, Guardiola bilang, “Ada pemain yang sangat cerdas dengan bola di kaki. … Dan ada juga pemain yang pintar membaca apa yang sedang (dan akan) terjadi. … Semakin banyak punya pemain seperti itu, semakin mudah hidupmu.”

Lewat pernyataan itu, Guardiola secara jelas menyoroti pentingnya momen tanpa penguasaan bola. Soal apa yang akan pemain-pemainnya lakukan ketika tanpa bola dan bagaimana mereka bereaksi. Di mana Rodri harus menempatkan diri, apakah struktur lini belakang harus menjadi empat atau tetap tiga bek saat diserang balik, dst? Hal-hal ini jadi amat penting.

Sebab, ia tahu betul bagaimana City-nya sering kebobolan dari situasi serangan balik atau transisi. Kondisi itu menunjukkan bahwa struktur atau fase out of possession mereka mudah ditembus alias tak ideal. Karena itu, sejak musim lalu, ia mulai memperhatikan masalah ini. Guardiola sadar bahwa sepak bola tak hanya soal mengkhatamkan satu fase saja.

Perbincangan seputar out of possession kemudian menjadi marak di jagat football twitter. Jon Mackenzie, analis Tifo, jadi salah satu sosok yang acap menyuarakan pentingnya fase ini. Saya kemudian jadi salah satu yang sepakat bahwa fokus kepada fase out of possession dalam sebuah pertandingan memang sebuah hal yang mengasyikkan.

Sebab, dengan fokus ke fase tersebut, saya merasa bahwa kita akan lebih mudah untuk mengetahui perubahan-perubahan apa yang dilakukan sebuah tim dari satu laga ke laga lai, yang mungkin luput kita lihat jika hanya membaca momen dengan bola.

Lewat fase out of possession, kita dapat mengetahui bagaimana tim yang kita dukung mampu mengantisipasi serangan lawan yang tentunya berganti tiap pekan. Dan sebaliknya: dari fase out of possession lawan, kita bisa mengetahui variasi serangan yang tim kita lakukan untuk menghadapi struktur yang berbeda tiap pekannya.

Saya melakukan ini tiap pekan saat menonton St. Pauli bertanding, terutama saat berada di stadion. Menonton dari tribune memang memudahkan proses pengamatan dan analisis fase out of possession, karena kita bisa melihat struktur penuh sebuah tim (artinya pergerakan 11 pemain).

Dari laga ke laga, saya bisa mengetahui perubahan-perubahan apa yang dilakukan Fabian Hürzeler, pelatih St. Pauli. Soal variasi serangan, soal bagaimana timnya mengantisipasi serangan lawan. Juga dengan bagaimana tim lawan bereaksi saat St. Pauli menguasai bola. Struktur mereka, blok apa yang mereka pakai, apakah pressing akan dilakukan secara kolektif atau tidak, dst.

Saya bisa melihat saat tim lawan bermain dengan struktur out of possession yang buruk, juga saat memiliki sistem yang sangat bagus. Poin terakhir saya lihat dari Karlsruher SC akhir pekan kemarin. Tim yang menurut saya memiliki struktur out of possession terbaik saat menghadapi St. Pauli.

Dalam laga itu, Karlsruher memiliki shape 4-3-3 saat out of possession. Terdengar simpel, tapi 4-3-3 ini amat fleksibel. Pemain bisa bergerak ke kanan atau kiri dengan cepat, bisa mengunci area tengah, dan bisa melakukan overload di sisi tepi dengan baik. Itu menyulitkan St. Pauli yang jalur build-up utamanya melewati tengah, untuk kemudian menyerang di sayap saat sampai sepertiga akhir lawan.

Struktur out of possession itu membuat St. Pauli tertinggal 0-1 hingga menit 80, sebelum mencetak dua gol untuk menang 2-1. Fabian sendiri bereaksi terhadap struktur lawan dengan memasukkan dua pemain depan tambahan untuk memadatkan area tengah, agar opsi umpan bertambah dan sirkulasi bola lebih cepat plus cair.

Secara objektif, St. Pauli sebenarnya juga bukan tim dengan out of possession terbaik di 2. Bundesliga. Namun, mereka adalah tim dengan adjustment in/out possession terbaik di liga. Mereka paham betul harus bereaksi seperti apa terhadap strategi lawan. Itulah mengapa saat ini Jackson Irvine dkk. memimpin klasemen dan masih belum terkalahkan.

Catatan-catatan seperti itu tak akan saya dapatkan jika tak memperhatikan out of possession sebuah tim. Analisis-analisis yang saya lakukan mungkin tak memiliki banyak sudut pandang jika saya hanya fokus pada pergerakan atau struktur dengan bola saja. Saya jadi sepakat dengan perkataan pelatih Bournemouth, Andoni Iraola, bahwa fondasi solid dari sebuah tim akan terlihat dari fase ini.

Guardiola juga sudah menunjukkan betapa krusialnya fase ini. Ia memperlihatkan bahwa fase ini menjadi kunci untuk meraih gelar Liga Champions sekali lagi. Menguasai fase ini juga membuat St. Pauli berada di posisi mereka sekarang. Buruknya struktur di fase ini menjelaskan mengapa Manchester United amat payah musim ini.

Sepak bola berkembang, variasi taktik makin beragam. Lantas, cobalah fokus pada out of possession dalam sebuah laga, dan saya jamin pengalamanmu menonton sepak bola akan berubah jadi lebih komplet.