Pelatih Progresif, Penonton Obsesif

Foto: Man. City, St. Pauli, Brighton

Saya punya kesimpulan bahwa pelatih-pelatih yang namanya mencuat sekarang lahir dari kebiasaan menonton pertandingan-pertandingan, menganalisis lawan dengan mata sendiri.

Lagi-lagi saya harus memulai tulisan dengan Pep Guardiola. Bagaimana lagi, dia adalah salah satu (jika bukan nomor satu) pelatih terbaik dan paling progresif di sepak bola saat ini, karenanya mudah menjadikannya contoh ketika menulis soal (ke)pelatih(an).

Guardiola berkembang, dan perkembangan taktik atau strateginya itu membawa Manchester City meraih treble musim lalu. Perkembangan itu, buat saya, adalah sebuah perjalanan: Perjalanan Guardiola menonton satu pertandingan ke pertandingan lain.

Guardiola adalah football freak, football addict. Untuk pelatih sekaliber dirinya, dengan posisi di salah satu klub terbesar di dunia saat ini, Guardiola jelas memiliki asisten yang bertugas khusus untuk menganalisis (pertandingan) lawan, juga pertandingan timnya sendiri.

Dia punya dua asisten dan beberapa orang analis di City. Ada nama Craig Nosworthy yang punya tugas spesifik untuk menganalisis lawan, lalu Charles Planchart yang merupakan video analis jagoan Guardiola, juga Juanma Lillo yang juga memiliki tugas untuk menganalisis pertandingan untuk memberikan sudut pandang kedua, beserta saran atau solusi.

Namun, Guardiola masih menonton pertandingan sendiri. “Yang saya lakukan adalah melihat rekaman pertandingan lawan dan kemudian mencoba mencari cara untuk menghancurkan mereka,” ujar Pep Guardiola menanggapi pujian terhadapnya (saat itu ia disebut seorang inovator).

Rutinitasnya begini. Tim analisnya akan menganalisis pertandingan-pertandingan lawan. Khusus untuk pertandingan biasa, akan diambil lima sampai enam pertandingan terakhir. Jiika itu pertandingan besar (seperti final Liga Champions, misalnya), akan ada 12 laga yang diambil. Lalu, dari laga-laga itu, akan dibuat laporan atau presentasi yang akan menjadi basis strategi untuk pertandingan berikutnya.

Dari situ, menu latihan akan dibuat. Namun, Guardiola tak akan berhenti di situ. Ia tak akan puas hanya dengan laporan dari timnya. “Pep suka mengulas pertandingan sendiri dan membuat analisisnya sendiri,” ujar Planchart. Analisisnya akan mendetail. Seberapa tinggi garis pertahanan, berapa jarak antarlini, bagaimana pemain harus menempatkan posisi, dst.

Bahkan, Guardiola memiliki tiga “team talk” sebelum pertandingan, yang tiga-tiganya menyertakan video analisis lawan. Jadi, bisa dibayangkan mengapa tim-tim Guardiola hampir selalu bisa mendominasi lawan: Itu bukan hanya karena fondasi penguasaan bola, tapi juga hasil dari analisis mendetail. Ia telah mengetahui seluruh kelemahan lawan.

Saya tau setidaknya ada dua pelatih (kepala) yang masih melakukan hal sama: Roberto de Zerbi dan Fabian Hürzeler. Namun, sebelum membahas keduanya, saya juga curiga ada satu nama lain yang melakukan hal sama: Mikel Arteta. Sebab, saat masih berstatus asisten Guardiola di City, Arteta memiliki tugas menganalisis pertandingan.

Iya, sama seperti apa yang Lillo lakukan saat ini. Guardiola selalu ingin memiliki sudut pandang kedua perihal taktik lawan, dan strategi apa yang akan diterapkan. Arteta, dulu, adalah orang yang melakukannya. Dan mengingat ia pernah mengaku memiliki rutinitas pra-pertandingan yang sama dengan Guardiola, dan bagaimana para pemainnya bilang bahwa ia sangat detail perihal lawan, saya yakin Arteta masih melakukan hal serupa.

Lalu, ada nama De Zerbi dan Fabian. Keduanya, sama seperti Guardiola, adalah football freak/addict. Saya juga pernah menulis bagaimana taktik atau strategi ketiga orang ini beririsan. City, Brighton, dan Pauli memiliki beberapa persamaan perihal gaya main.

Soal De Zerbi, ia mengaku sendiri bahwa ada 2 hal di dunia ini yang membuatnya ketagihan: Pertama sepak bola, kedua rokok. De Zerbi amat terobsesi, dan diakui orang-orang sekitarnya, dengan sepak bola. Jika ada kegiatan yang akan pria Italia ini lakukan di luar kegiatan melatihnya adalah menonton sepak bola. “Problem datang ketika tak ada pertandingan,” katanya.

Tak heran kalau output yang De Zerbi hasilkan sama: Detail dalam latihan dan instruksi terhadap pemain, juga sepak bola yang progresif. Saya ingat bagaimana Kevin-Prince Boateng bercerita bahwa De Zerbi akan memarahi pemainnya jika posisi pemain tersebut bergeser beberapa sentimeter dari posisi yang De Zerbi inginkan.

Musim ini bisa dengan mudah terlihat bahwa De Zerbi juga mampu mengganti taktik di tengah pertandingan dengan baik. Laga ikonik vs Manchester United di Old Trafford bisa jadi contohnya. Memang De Zerbi masih acap naif, tapi di luar itu ia memberikan warna baru buat sepak bola. Guardiola memujinya Brighton-nya sebagai “tim dengan build-up terbaik”.

Terakhir ada Fabian Hürzeler. Buat yang sebelumnya belum pernah membaca tulisan saya: Ia adalah pelatih St. Pauli. Sejak ditangani Fabian (mulai Desember 2022), St. Pauli hanya kalah dua kali dalam 28 pertandingan. Sisanya 19 menang dan tujuh kali imbang. Dalam periode yang sama, St. Pauli juga mencetak 54 gol dan cuma kebobolan 23 gol (0,8 gol per laga).

Buat yang pernah membaca analisis atau tulisan saya perihal St. Pauli, rasanya mungkin bosan melihat saya memuji betapa bagusnya penyesuaian Fabian terhadap lawan, baik sejak awal laga maupun di tengah pertandingan. Salah satu kunci sukses St. Pauli adalah kemampuan merespons apa pun strategi lawan, dengan senjata yang tepat.

Apa yang harus dilakukan jika menghadapi high-press, apa yang harus dilakukan jika menghadapi lawan yang bermain narrow, bagaimana cara membongkar low-block, bagaimana jika lawan memutuskan untuk tak terpancing melakukan pressing terhadap build-up tim? Semua ada solusinya.

Laga DFB Pokal tengah pekan kemarin kembali jadi contoh. St. Pauli tertinggal lebih dulu, kesulitan membongkar Schalke yang bermain dengan garis pertahanan rendah, dan kemudian berhasil menang 2-1 melalui babak tambahan lewat beberapa penyesuaian: Meng-overload lini tengah, melakukan switch via bola-bola pendek, dan menyerang via half-space.

Dan sebabnya adalah karena Fabian merupakan penonton sepak bola yang baik (dan telaten, tentu). Kebetulan, sebelum diangkat jadi pelatih kepala, ia merupakan asisten pelatih yang memiliki tugas khusus untuk menganalisis pertandingan lawan. Dari situ ia akan membuat laporan untuk pelatih kepala (saat itu Timo Schultz) dan mempersiapkan strategi dari laporan tersebut.

Kini, ketika ia sudah berstatus sebagai pelatih kepala, Fabian bilang kepada saya bahwa ia masih melakukan tugas yang sama. Tentu, ia juga memiliki tim analis–meski St. Pauli notabene merupakan klub divisi dua. Namun, ia masih menonton pertandingan-pertandingan lawan dengan matanya sendiri. Menganalisisnya sendiri. Itu ia lakukan di tengah tugasnya sebagai pelatih.

Melihat kebiasaan-kebiasaan mereka, dan bagaimana progresifnya permainan tim-tim yang mereka latih, saya punya kesimpulan bahwa pelatih-pelatih yang namanya mencuat sekarang lahir dari kebiasaan menonton pertandingan-pertandingan, menganalisis lawan dengan mata sendiri. Pelatih yang hebat adalah penonton sepak bola yang taat.