Pembuktian Gignac

Foto: @10APG

Ini kisah striker Timnas Prancis yang Menemukan “Rumahnya” di Meksiko

Sepasang suami istri etnis Gypsies menjalani hidup nomad, lalu melahirkan bocah ajib di kota kecil bagian selatan Prancis, Martigues, 5 Desember 1985. Gypsie merupakan sekelompok suku berdarah Asia Selatan yang telah lama menetap di Eropa.

Pasangan ini pun memberi nama bayinya, Andre Pierre Gignac. Sebuah nama yang membawanya menjadi salah satu penyerang jangkung berbahaya di daratan Eropa.

Kampung halaman Gignac, Martigues, dikenal sebagai kota romantis laiknya Venice, Italia. Pemandangan yang indah, dan jiwa seni yang tinggi dari warganya, menjadikan kota kecil sebagai destinasi wisata yang ikonik.

Gignac memulai karier sepak bola dari tim lokal amatir FC Fos selama empat tahun, dan FC Martigues tujuh tahun. Setelah 11 tahun menjadi pemain amatir di kampung halamannya, ia merasa perlu meningkatkan kekuatan fisik agar bisa bersaing di level profesional. Namun, saat itu banyak tim menolaknya karena fisiknya kurang “berisi”.

Neneknya meminta agar ia banyak minum susu supaya bentuk badan lebih berotot. Gignac sebenarnya diberkahi Tuhan lahir dari keluarga pesepak bola. Pamannya, Jacques Abardonado, adalah pemin belakang yang telah malang melintang bersama tim Liga I Prancis.

Pada usia 17 tahun, Gignac memutuskan hijrah jauh dari Martigues. Ia terbang lebih dari 1.000 km untuk bergabung tim akademi FC Lorient yang berbasis di kota Brittany, sekitar 5 jam dari pusat kota Paris.

Ia tahu betul fasilitas latihan yang ditawarkan FC Lorient jauh lebih baik. Bermain di tim profesional, selain membuat fisiknya semakin bugar, pengalaman bermain di level kompetitif lebih banyak. Sebab, persaingan di sepak bola profesional sangat ketat sehingga membutuhkan kekuatan fisik yang selalu prima.

Lahir dari keluarga berjiwa petualang yang mandiri nampaknya mempengaruhi gaya bermain Gignac yang agresif dan mengandalkan fisiknya.

Cukup dua tahun bagi pria dengan tinggi 187 cm itu untuk memikat pelatih senior yang saat itu dipegang oleh Christian Gourcuff. Cristian pun membawanya dalam skuad senior FC Lorient untuk mengarungi musim 2004–2005 Liga 2 Prancis.

Debut Gol Indah

“Saya pikir, saya seperti Ronaldo (Brazil),” —

— ucap Gignac usai menjalani debut sempurna seraya mencetak gol indah ke gawang Chateauroux, 13 Agustus 2004.

Ia menjalani debut laiknya wonderkid. Masuk pada menit 78' saat FC Lorient ditahan imbang 1–1 oleh tim tamu, Gignac hanya butuh 30 detik untuk menjebol jala Vincent Fernandez.

Wasit memberikan free kick dari jarak sekitar 30 meter. Gignac mengambil bola dan meletakkan di depannya. Ia mundur beberapa langkah, bola ditendang ke arah pojok kanan atas menggunakan kaki dalam. Gol kemenagan untuk tuan tumah. 

Namun, debut manis itu tak lantas memberinya banyak keberuntungan. Sepanjang musim 2004–2007, ia hanya mencetak 11 gol buat FC Lorient. Cedera serius—patah engkel dua kali—membuat performanya menurun drastis selama berseragam Lorient.

Hingga akhirnya ia dipinjamkan ke FC Pau, tim divisi tiga Liga Prancis, pada transfer musim dingin 2005–2006. Di sana, “Mr. Liguilla”, panggilan Gignac, mencoba untuk mengembalikan kebugarannya.

Suatu ketika Manajer Prancis saat itu, Raymond Domenech, menonton pertandingan antara FC Pau melawan Nantes. Gignac mencetak hattrick dalam debut pertamanya di FC Pau.

Setengah musim bersama FC Pau ia mecatatkan 8 gol dari 18 pertandingan. Ia pun kembali ke FC Lorient pada musim panas Juli 2006 seiring performanya yang semakin membaik. Di musim terakhirnya bersama Lorient, ia mencatatkan 11 gol dan 6 assist.

Usai kontraknya habis musim 2007–2008, dua tim divisi tertinggi Prancis menawarinya kontrak. Lille dan Toulose. Gignac kemudian memutuskan untuk menandatangani tawaran dari Touluse dengan kesepakatan harga 5 juta euro selama tiga tahun.

Frustrasi

Awal musim yang berat bagi striker berpostur jangkung itu. Ia harus bersaing dengan rekan setimnya, Johan Elmander asal Swedia, yang musim itu bermain gemilang sehingga sang pelatih Elie Baup harus mengubah posisi Gignac menjadi penyerang luar.

Perubahan posisi ini membuatnya kecewa, dan stres. “Saya menjadi kacau saat latihan, saya bertengkar dengan rekan satu tim, dan saya tahu orang bertanya-tanya apakah mereka membuat kesalahan besar dengan saya,” kata Gignac kepada The Guardian.

Pola makannya menjadi tidak karuan. Badannya membesar. Ia terlalu banyak makan pizza dan jarang minum susu. Bahkan, rekan satu timnya sampai membelikannya banyak pil pelangsing.

Hari-hari ia lalui dengan penuh kekesalan. Gignac mencoba keluar dari fase paling sulit dalam kariernya dengan cara menghambur-hamburkan uang untuk melupakan sepak bola. Ia kehilangan banyak uang akibat bermain kasino. Ia pun tak memikirkan tentang kebugaran fisiknya lagi.

Ia mencoba melampiaskan kekesalannya dengan terus menghabiskan uangnya. Ia memperbaiki rumahnya, dan membeli mobil sport Bentley baru. “Ketika segala sesuatunya tidak berjalan baik dalam sepak bola, Anda akhirnya menghabiskan waktu dan uang di tempat lain,” keluhnya saat itu.

Ia menjalani musim perdana yang buruk dengan mencatatkan hanya 3 gol dari 37 pertandingan di semua kompetisi.

Ajang Pembuktian

Bak mujizat di siang bolong, Manager Bolton Wanderers Gerry Megson tertarik memboyong Elmander, pesaing utama Gignac. Kesepakatan pun terjadi. Elmander meninggalkan Toulose untuk bermain di Premier League.

Pos striker yang kosong menjadi ajang pembuktian bagi Gignac. Apalagi saat itu Alain Casanova yang saat itu menjadi pelatih baru Toulose memberikan kepercayaan penuh kepadanya.

“Anda mengatakan ingin menjadi striker No 1 kami, sekarang buktikan!” Gignac menirukan ucapan Casanova. “Ketika orang-orang seperti itu baik padaku, aku akan membalasnya 100 kali lipat,” lanjut Gignac.

Musim kedua berseragam ungu putih, dia langsung mencuri perhatian publik. Banyak orang menilai permainan Toulose musim itu kotor. Anjing menggonggong khafilah berlalu.

Musim 2008–2009, Gignac (23) menjadi top scorer Liga I Prancis dengan mengemas 24 gol. Ia mengalahkan legenda Real Madrid Karim Benzema (21) yang kala itu berseragam Lyon—dengan 17 gol. Benar-benar pembuktian yang sempurna.

Melihat prestasi yang menjanjikan itu, ia dipanggil Timnas Prancis dan melakoni debut melawan Lithuania pada April 2009. Selama tiga musim berseragam Touluse, ia memberikan kontribusi 42 gol, dan 11 assist dari total 119 laga.

Musim 2010–2011, Marseille tertarik menawari kontrak lima tahun kepada pemain yang saat itu harganya naik tajam menjadi 15 juta euro, dari 5 juta euro saat diboyong Toulose.

Bersama Olympique Marseille ia mencetak 77 gol dalam 186 pertandingan di semua kompetisi. Ia turut mengantarkan Marseille memenangkan dua gelar Coupe de la Ligue berturut-turut dan Trophée des Champions 2011.

Kendati demikian, bersama Timnas Pranci Gignac tidak banyak merasakan memori indah. Setidaknya ia membantu timnas Prancis lolos Piala Dunia 2010. Ia juga sempat membawa Prancis lolos ke Pial Eropa 2016.

Ia merasakan 36 pertandingan bersama Les Bleus, mengemas 7 gol dan 4 asisst. Kompetisi elite terakhir yang dilakoninya bersama timnas yaitu Olimpiade Tokyo 2020. Ia sempat menampilkan performa apik dengan mencetak hattrick. Namun, Tim Ayam Jantan harus puas angkat koper dari fase grup setelah hanya bertengger di posisi ketiga.

Menjadi Legenda El Tri

Usianya yang segera menyentuh kepala tiga membuatnya berpikir untuk menutup karier secara sempurna. Gignac sangat berambisi menjadi seorang legenda meski di sebuah tim raksasa “kecil” yang jauh dari ingar bingar kompetisi Eropa.

Ia menolak Inter dan Lyon yang saat itu masih tertarik untuk menerima jasanya. Baginya, ia hanya ingin bahagia di akhir perjalanan karirnya. Meski tak munafik, uang adalah salah satu alasan di balik keputusannya pergi dari Eropa.

“Itu menunjukkan bahwa tidak terlalu buruk untuk mengasingkan diri saya sedikit, 10.000 kilometer jauhnya dari Perancis,” kata Gignac soal keputusannya bermain di Meksiko, dikutip dari ESPN.

Ia pun menemukan “rumah” itu di tim profesional divisi teratas Liga Meksiko Tigres UANL pada 18 Juni 2015. Setelah menandatangani kontrak, Gignac mengatakan akan membawa Los Tigres, julukan Tigres memenangkan liga domestik dan membantu mencapai final Copa Libertadores.

Kehadiran Gignac seketika membius pendukung Tigres. Mereka berharap tuah instan dari sang pangeran. Los Tigres tak pernah membawa trofi paling bergengsi di jagat Amerika Latin, Copa Libertadores. Tim berlambang harimau itu, sejak berdiri pada 1960, baru memenangi 6 trofi domestik.

Debut awal musim yang begitu manis bagi Gignac. Ia menjadi mesin gol dengan catatan 29 gol serta 5 assist dari 44 pertandingan bersama Los Tigres. Pada musim yang sama, Gignac membawa Tigres menuju laga final Piala Libertadores.

Bertemu wakil dari Argentina, River Plate, pertandingan leg pertama digelar di stadion Tigres, Estadio Universitario de Nuevo León pada 30 Juli 2015. Sebanyak 42.000 penonton menguning memadati stadion.

Meski banyak peluang tercipta, tetapi pertandingan hanya berakhir imbang 0–0. Leg kedua pun dihelat pada 6 Agustus 2015 di stadion Estadio Monumental.

Kali ini 85.000 penonton tuan rumah telah memadati laga penentuan itu. Kali ini Gignac cs gagal membawa kado istimewa ke Meksiko. Tigres dicukur habis 3–0 lewat gol dari R. Funes Mori, C. Sánchez, dan L. Alario.

Namun, kegagalan di partai final tak membuat pendukung kecewa dengannya. ia dijuluki sebagai El Más Chingón (yang paling mengagumkan). Gignac telah sukses membuktikan kepada rakyat Meksiko bahwa kedatangannya adalah keajaiban yang pernah ada.

Ia pun telah memberikan 11 trofi tambahan sejak datang pada 2015 silam. Sejauh ini, ia telah mencatatkan total 192 gol dengan 46 assist selama 344 pertandingan. Sungguh-sungguh kenangan indah di usianya yang kini telah mencapai 37 tahun.

Potensi Cerah MX League

Liga Meksiko (MX League) sendiri saat ini menjadi top 10 liga terbaik di dunia berdasarkan teamform.com per Agustus 2023. MX League berada di peringkat 10, masih di bawah Serie A (Brazil) posisi 5, dan Primera Division (Argentina) yang berada di peringkat 9.

“Mereka berkembang, tapi saya masih mengatakan bahwa klub Meksiko masih belum cukup bagi kami,” kata Gignac mengutip Marca.

Ia mengakui, secara kualitas, kompetisi liga yang dimainkan sebanyak 17 kali dalam satu musim ini lebih baik ketimbang Major League Soccer (MLS). Namun, secara pemasaran, MX League masih dalam tahap berkembang dibanding MLS yang lebih populer.

Sekitar 76,8 juta orang menonton MX League lewat televisi pada 2021 silam. Jumlahnya diperkirakan makin tumbuh dalam beberapa tahun ke depan seiring masuknya sponsor langganan seperti Banco Bilbao Vizcaya Argentaria (BBVA), perusahaan keuangan asal Spanyol.

Liga yang diklaim paling seru di regional Amerika Utara ini juga terus memperbaiki sistem kompetisi. Seperti pada tahun 2020 manajemen liga menambah adanya sistem tim promosi dan tim degradasi.

Tentu saja, kedatangan Gignac pada 2015 memberikan dampak yang positif bagi MX League, baik dari segi pemasaran maupun kualitas liga. Tim Meksiko kini memiliki level kompetitif yang ketat seiring dengan prestasi di Copa Libertadores.

Sebelum kedatangannya, belum ada tim dari regional Amerika Utara mampu menembus final di turnamen piala dunia antar klub tahun 2021. Adapun bintang-bintang eropa yang pernah menyambagi MX League antara lain: Pep Guardiola, Luis Garcia, hingga Florian Thauvin.

“Mudah-mudahan mereka [MX League] terus berkembang, karena ini kompetisi yang bagus untuk kami juga. Jadi hari ini saya memilih Meksiko,” imbuhnya.

Apakah Gignac akan berhasil memberikan Copa Libertadores tahun depan? Mungkin saja.