Pep and The City

Foto: Wikimedia Commons.

Sepanjang kariernya sebagai pelatih, Pep Guardiola telah membuktikan bahwa dia bisa menemukan solusi dengan cepat. Tidak terkecuali dengan apa yang ia lakukan terhadap Manchester City musim ini.

Ada banyak hal yang bisa kita bicarakan ketika menyebut nama Pep Guardiola, dan tidak semuanya berkaitan dengan sepak bola.

Pertama-tama, kita bisa mengomentari cara dia berpakaian. Salah satu perbincangan panjang saya dengan salah seorang rekan—yang kebetulan melibatkan percakapan soal Pep—bukan berawal dari taktik yang ia terapkan, melainkan dari sebuah asumsi: “Kayaknya, suits Pep itu custom semua, sih.”

Asumsi rekan saya itu bukan tanpa alasan. Setelah memperhatikan Pep dengan seksama, ia bisa menyimpulkan bahwa pria kelahiran Santpedor, Catalunya, tersebut punya potongan jas yang paling pas. Tidak kebesaran, tidak kekecilan. Pas.

Apakah ini berkaitan dengan sifat Pep yang teliti dan amat memperhatikan detail? Bisa jadi. Yang jelas, amat jarang kita melihat Pep berpakaian sembarangan di pinggir lapangan. Perkara pakai jins dan kemeja kotak-kotak pun jadi, tapi, ya, tetap saja terlihat apik.

Malah, rasa-rasanya tidak ada manajer yang lebih cocok mengenakan sweater horizontal warna-warni selain Pep. Saya belum pernah melihat pria berkepala plontos begitu cocok mengenakan sweater semenjak Billy Corgan dan turtle-neck hitamnya.

Andai saya menempatkan Guardiola di cover Nylon atau Popeye dan menyuruhnya mengenakan sweater JW Anderson, sepertinya bakal pas-pas saja.

Memang begitulah Pep. Kalau perkara taktik saja bisa menjadi urusan yang njlimet dan mendetail, mengapa tidak cara berpakaian? Toh, juego de posicion yang ia terapkan memang begitu: Membutuhkan kreativitas tetapi tetap terproses.

Semuanya mesti tertata rapi; pemain mesti tahu di mana mereka berdiri pada fase tertentu dan ruang mana yang mesti diincar. Pep, menurut buku “Another Way of Winning” yang ditulis oleh Guillem Balague, adalah orang yang bisa pusing bukan kepalang hanya karena timnya kebobolan satu gol saja.

Balague menceritakan bagaimana pada suatu hari, Pep kedapatan berjalan mondar-mandir sendirian di lapangan latihan Barcelona ketika seluruh pemain dan staf sudah beranjak pergi. Di kepalanya, ia memikirkan beragam solusi supaya Barcelona tak kebobolan dengan cara yang sama lagi.

Bab lain dalam buku tersebut juga menceritakan bagaimana Pep menghadapi sidang kasus doping yang menyandungnya ketika bermain di Italia. Semalam suntuk, ia membaca berbagai macam pasal untuk mencari pembelaan terhadap dirinya sendiri.

Kita selalu bisa melabeli Pep sebagai orang yang acap overthinking. Namun, kebiasaannya mencari solusi dalam waktu singkat adalah salah satu highlight dari kariernya yang disesaki oleh banyak trofi.

Dani Alves pernah bersaksi bahwa Pep pernah mengurut-urut kepala botaknya di ruang ganti Barcelona, seolah-olah dengan begitu ruang-ruang kecil di dalam otaknya bakal mengeluarkan cairan ajaib dan El Barca bakal mendapatkan solusi untuk membongkar pertahanan lawan.

Yang terjadi kemudian memang seperti itu. Pada babak kedua, Barcelona mencetak gol dengan cara yang sudah dituntunkan oleh Pep, tak lama setelah ia mengurut-urut kepala botaknya itu.

Maka, ketika City sempat terseok-seok di awal musim, yang perlu ditunggu adalah bagaimana Pep mencari solusinya. Waktu kemudian menjawab bahwa setelah sempat meraih tiga hasil imbang dan dua kekalahan dalam delapan pertandingan pertama Premier League musim ini, City kini justru berada di garis terdepan perburuan gelar juara.

Laju mereka terbilang konsisten. Semenjak November, mereka melalui 10 pertandingan dengan delapan kemenangan. Sisa dua laga lainnya—melawan Manchester United dan West Bromwich Albion—berakhir imbang.

Foto: Twitter @FCBayern.

Kita mungkin sudah pernah mendengar ucapan klise bahwa sebuah kompetisi liga bukanlah adu sprint, melainkan lomba maraton. Ini bukan perkara cepat-cepatan, tetapi siapa yang paling konsisten sampai akhir.

Tersandung pada satu-dua laga bukanlah kiamat asalkan pada pertandingan berikutnya kamu bangkit. Pelatih United, Ole Gunnar Solskjaer, pernah mengatakan bahwa hasil imbang timnya di Anfield—melawan Liverpool—cuma bisa berarti positif apabila ‘Iblis Merah’ memenangi laga berikutnya. Maka, begitulah yang United lakukan ketika menghadapi Fulham.

Pep, di sisi lain, belajar bahwa kemenangan yang baik tidak selamanya berwujud kemenangan yang cantik. Maka, kita belakangan acap melihat timnya bermain cukup berhati-hati ketika menghadapi lawan yang sepadan.

Orang-orang boleh menertawai keputusan Pep bermain dengan dua pivot dalam formasi 4-2-3-1 pada pertandingan penting sebagai kemunduran. Namun, dalam sudut pandang berbeda, kita juga bisa melihatnya sebagai sebuah kedewasaan. Pep akhirnya tahu bagaimana beradaptasi dengan keadaan.

Toh, mengubah formasi ke 4-2-3-1 saja sudah menunjukkan bahwa Pep emoh tunduk pada persoalan dan mengubahnya menjadi beban. Kepergian David Silva, membuatnya acap bermain dengan formasi tersebut dengan Kevin de Bruyne sebagai gelandang serang dan ditopang oleh dua gelandang poros.

Pada lain kesempatan, ia mengubah formasi timnya menjadi 4-3-3—dengan De Bruyne masih sebagai gelandang serang—atau 4-1-4-1, kali ini dengan De Bruyne sebagai seorang striker.

Problem lain yang dibenahi Guardiola adalah bagaimana timnya melakukan progresi serangan. Ia menyadari bahwa pada pemain-pemainnya terlalu banyak berlari sehingga City malah kesulitan membongkar pertahanan lawan.

Pep cuma perlu mengingatkan kepada timnya bahwa dengan disiplin pada posisi dan mengoper bola pada saat yang tepat, mereka bakal lebih sedikit berlari dan serangan bakal efektif dengan sendirinya.

Laga melawan Chelsea di Stamford Bridge, 3 Januari 2021, juga memperlihatkan bagaimana Pep beradaptasi tanpa kehadiran striker murni. Dua bombernya, Gabriel Jesus dan Sergio Aguero, absen karena positif COVID-19 dan masalah kebugaran—Aguero kemudian mengabarkan bahwa ia juga terjangkit COVID-19 baru-baru ini.

Dengan menempatkan De Bruyne sebagai striker, dan diapit oleh Raheem Sterling dan Phil Foden, City bermain dengan keseimbangan. Ketika kehilangan bola, De Bruyne bakal turun untuk membuat City unggul jumlah di lini tengah, sementara ketika bertransisi dari bertahan ke menyerang, ia bakal menjadi pusat serangan.

Dengan Foden dan Sterling di kedua sisinya, De Bruyne dengan mudah bisa mendistribusikan bola kepada kedua pemain yang amat paham ruang-ruang mana saja yang mesti dieksploitasi.

City menang 3-1 pada pertandingan tersebut dengan De Bruyne dan Foden masing-masing mencetak satu gol. Pertandingan itu pula menjadi penanda terakhir kalinya gawang City kebobolan di Premier League. Tiga laga berikutnya—melawan Brighton and Hove Albion, Crystal Palace, dan Aston Villa—mereka akhiri dengan clean sheet.

Banyak yang menyebut bahwa kebangkitan City juga tidak lepas dari bagaimana performa bek-bek tengah mereka, terutama John Stones, mulai membaik. Namun, begitu juga dengan Ruben Dias. Per catatan WhoScored, baik Stones maupun Dias rata-rata membuat 1 dan 1,1 intersep per laga plus 3,1 dan 2,2 clearance per laga.

Pada lain kesempatan, giliran full-back-full-back City yang unjuk gigi. Kini, melihat para bek di sisi lapangan itu menjadi playmaker bukanlah pemandangan ajaib. Malah, menurut WhoScored, rata-rata serangan City musim ini justru lebih banyak dari sayap (dari kiri 37% dan dari kanan 34%).

Maka, ketika orang-orang kaget bahwa City kini berada di posisi kedua dengan koleksi 38 poin—tertinggal dua angka dari United, tetapi masih menyimpan satu laga tersisa—, sesungguhnya mereka belum melihat lekat-lekat apa yang terjadi dengan Pep dan City.

Kini, ketika De Bruyne harus menepi empat sampai enam pekan gara-gara cedera hamstring, Pep pun ditantang untuk menemukan solusi lagi: Tanpa gelandang asal Belgia itu, siapa yang bakal memimpin lini depan City?