Pertanyaan, Pertanyaan

Foto: FC St. Pauli

Saya bertanya-tanya mengapa St. Pauli (dan Liverpool) gagal menang akhir pekan kemarin. Agaknya, pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tak akan terjawab.

“Ahh.. umm.. Itu sulit dijelaskan.” Jackson Irvine membuka kalimatnya saat saya tanya perihal kegagalan St. Pauli meraih kemenangan atas Wehen Wiesbaden akhir pekan lalu.

Setelahnya Irvine, saya, dan beberapa rekan wartawan lain berbincang selama tujuh menit 20 detik soal pertandingan. Itu barangkali adalah salah satu perbincangan paling lama yang pernah kami lakukan di Mixed Zone Millerntor.

Buruknya, perbincangan itu tak berisi hal-hal menggembirakan. Sore itu kami berbincang soal rasa frustrasi, soal kebingungan, soal kaset kusut yang terus menerus terputar.

Sebab bagaimana rasanya ketika kita tak mampu menemukan jawaban-jawaban atas pelbagai hal buruk yang telah terjadi belakangan?

Saya jadi sepakat dengan orang-orang yang menyebut bahwa tak semua pertanyaan ada jawabnya. Bahwa ada “kenapa” atau “bagaimana” yang memang terlalu rumit dan sulit untuk dijawab.

Sepak bola memang berkelindan dengan angka-angka, yang harusnya membuatnya lebih mudah untuk diurai. Namun, bagaimana ketika angka-angka yang ada juga tak mampu membantu mempermudah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan?

Dalam konteks laga St. Pauli, situasinya begini: Mereka tampil dominan selama 90 menit atas Wiesbaden sore itu. St. Pauli melepas 26 tembakan, dengan 5 di antaranya tepat sasaran. Angka ekspektasi gol (xG) menyentuh 2.17, catatan yang membuat mereka seharusnya mampu mencetak dua gol.

Sepanjang laga St. Pauli memegang kendali atas 71% penguasaan bola. Wiesbaden hanya mampu melepas lima tembakan dan cuma menyentuh bola lima kali di dalam kotak penalti St. Pauli. Namun, itu sudah cukup membuat mereka cetak sebiji gol untuk membawa pulang poin.

Angka-angka, seperti yang saya tulis sebelumnya, memang tak mampu memprediksi hasil akhir. Dan itulah yang terjadi pada pertandingan kemarin. Selepas mendengar konferensi pers Fabian Hürzeler yang sama kecewanya, saya kembali ke tribune yang sudah kosong, melihat ke langit Millerntor yang tengah berwarna ungu.

Saya coba memutar-mutar lagi memori saya soal laga tadi, mengingat-ingat analisis yang sudah saya tulis, dan kemudian muncul banyak pertanyaan.

Apakah ini memang soal keberuntungan, atau memang penyelesaian St. Pauli saja yang buruk sore itu?

Well, saya berpikir bahwa dua-duanya benar. Sebab St. Pauli mendapat enam peluang emas sore itu, tapi hanya satu yang mampu menjadi gol. Mereka mendapat banyak sekali peluang yang di atas kertas bisa diselesaikan dengan mudah, tapi nyatanya tidak. Pergerakan pemain fluid, ide menyerang variatif, jarak rapat, kombinasi bagus, tapi tetap hanya satu gol.

Pada hari-hari lain, saya percaya dua peluang emas yang didapat Irvine harusnya masuk ke dalam gawang lawan. Namun, Florian Stritzel, kiper Wiesbaden, tampil gemilang sore itu. Irvine sampai bilang bahwa penampilan Stritzel adalah salah satu penampilan kiper paling memukau yang pernah ia saksikan sepanjang kariernya di Jerman. Saya sepakat, itu juga salah satu penampilan kiper terbaik yang pernah saya lihat di Millerntor.

Lalu, apa memang pertahanan St. Pauli buruk? Apakah ada problem dalam mengantisipasi serangan balik lawan?

Well, saya merasa pertahanan St. Pauli membaik di laga itu. Pemosisian pemain dalam fase out of possession cukup rapi dan fleksibel (tahu kapan harus renggang, kapan harus commpact). Fakta bahwa Wiesbaden hanya melepas 74 umpan di area lapangan St. Pauli selama 90 menit bisa jadi bukti lainnya, setelah hanya lima sentuhan dalam kotak.

Lantas, kalau begini, apa memang Wiesbaden-nya yang efektif (dan, umm, beruntung)?

Satu gol dari satu tembakan tepat sasaran dan dari xG yang hanya 0,07 jelas menunjukkan betapa efektifnya Wiesbaden. Soal keberuntungan, saya tak ingin naif untuk bilang mereka tidak beruntung. Namun, saya juga tak ingin mendiskreditkan upaya yang mereka lakukan untuk menyerang balik sekali dua meski terus tertekan sepanjang laga. Dan nyatanya itu berbuah hasil.

Bahwa Wiesbaden, tim dengan catatan gol paling sedikit keempat di 2. Bundesliga, mampu mencetak gol ke gawang tim dengan pertahanan terbaik itu merupakan pencapaian yang layak diberi aplaus.

Terus, apa yang salah dengan St. Pauli? Apa memang ini soal kualitas pemain saja?

Bahwa jika tendangan bebas diambil oleh Trent Alexander-Arnold dan bukan Marcel Hartel, apakah Stritzel akan mampu menepisnya? Bahwa yang mendapat dua peluang emas bukan Irvine, tapi Dominik Szoboszlai, apakah ceritanya akan berbeda? Dan jika yang mendapat peluang emas di menit-menit akhir adalah Luis Diaz dan bukan Conor Metcalfe, apakah tiga poin yang akan didapat?

Iya, St. Pauli memang tim di divisi dua Jerman yang memiliki skuad terbatas. Namun, malam itu, selepas dari Millerntor, saya menonton laga Liverpool vs Manchester United untuk kemudian menemukan-menemukan pertanyaan yang sama.

Liverpool amat dominan, memiliki banyak peluang, memiliki xG lebih besar, dan tak menang juga. Mereka bahkan tak mampu mencetak gol dengan lini depan yang berisikan Mohamed Salah, Darwin Nunez, Luis Diaz, dan Cody Gakpo, yang ditopang oleh kreator macam Trent Alexander-Arnold, Dominik Szoboszlai, atau Harvey Elliott.

Liverpool punya kualitas dan superioritas untuk menang, tapi nyatanya mereka tidak mampu. 34 tembakan, 8 tepat sasaran, terbuang sia-sia. Catatan 2.38 xG tak ada artinya. Tak ada yang bisa diselesaikan oleh pemain-pemain Liverpool malam itu. Kesempatan-kesempatan yang ada mengambang ke udara. Namun, kenapa?

“Keberuntungan?” Bisa jadi. “Penyelesaian akhir yang buruk?” Masuk juga. “Minim ide dalam menyerang?” Tak sepenuhnya benar, tapi layak masuk dalam catatan. “Lawan bertahan dengan baik?” Dalam konteks tidak kebobolan usai mendapat 34 tembakan, jawabannya iya.

Akan tetapi, baik dari laga St. Pauli maupun Liverpool, saya tidak (atau mungkin belum) menemukan jawaban yang tepat. Saya terus bertanya-tanya, masih berhitung, sampai kemudian saya membaca ulang kumpulan cerpen Murakami untuk diingatkan bahwa kita tak bisa selamanya terus menghitung.

Bahwa kadang penjelasan soal keberuntungan, nasib buruk, atau hal-hal serupa adalah sesuatu yang harus kita telan ketika pertanyaan “kenapa” atau “bagaimana” tak kunjung menemukan jawab. Bahwa tak semua hal membutuhkan penjelasan. It is what it is.

Well, itu terdengar sebagai alasannya orang malas, para pesimis. Namun, ini juga bisa dipahami sebagai pilihan orang realistis. Bahwa lebih baik move on, bersiap menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama di masa depan. Itu juga yang saya dengar dari Irvine.

Sebab, seperti yang ditulis–lagi-lagi saya harus mengutipnya–Murakami: "I just silently accept everything as it is. That's my basic problem, really.