Pleidoi Gareth Bale

Foto: Instagram @fawales.

Dengan menyigi rangkaian wawancaranya, kita dapat menemukan bahwa cerita tentang Bale adalah perjalanan seseorang yang telah memberikan (hampir) seluruh hidupnya untuk sepak bola.

Gareth Bale, yang tumbuh menjadi pesepak bola liar sehingga satu-satunya tangan yang dapat mencengkeramnya adalah cedera, tahu bahwa mimpi terliar orang dewasa adalah hidup bagi diri sendiri.

I

Beban bermain di klub sebesar Real Madrid sangat besar. Semua pemain yang ada di tim tersebut menyadari sedekat apa kalimat itu dengan kehidupan sehari-hari mereka. Sekali kau tampil buruk, bersiaplah untuk menerima hujatan. Kau tak pantas ada di klub seagung Madrid. Hargamu selangit, kualitasmu murahan, dan sebagainya. 

Bale menanggung beban yang lebih besar. Ia pernah tercatat sebagai pemain termahal. Dari situ, wajar jika orang-orang berharap lebih. Berangkat dari guyuran duit euro tersebut orang-orang meletakkan separuh beban hidup mereka ke pundak Bale. Kau tidak boleh bermain buruk. Kau harus selalu mencetak gol. Masa depan dan kelangsungan klub ini terletak pada kedua kakimu. Segala macam ekspektasi itu menguar, menjadi hantu yang membayang-bayangi permainan Bale hampir di setiap pertandingan.

Namun, Bale bersikap profesional. Ia mengesampingkan segala gangguan dan mempersembahkan empat gelar juara pada musim perdananya di Madrid, tepatnya pada 2013/14 di bawah asuhan Carlo Ancelotti. Beruntunglah Bale dan seluruh pemain Madrid saat itu karena dilatih oleh Ancelotti. Ia bukan pelatih banyak omong, ekspresinya nyari selalu datar. Paling hebat adalah ketika alisnya dinaikkan sebelah. 

Dengan watak dan taktik pragmatisnya Ancelotti membuktikan bahwa bintang-bintang Madrid bisa bermain dalam satu tim yang sama, termasuk Bale dan Cristiano Ronaldo. Dengan ketenangannya yang ganjil, Ancelotti membuktikan bahwa bek sebengal Pepe sanggup hanya meraih empat kartu kuning dalam semusim.

Pada lima musim pertamanya, Bale menyumbangkan rerata 14 gol sekaligus membantu Madrid dua kali menjadi kampiun La Liga. Aksinya pada final Liga Champions 2018 tak akan mungkin pudar dari ingatan. Jika bukan karenanya, Madrid bisa saja gigit jari di laga puncak tersebut. Alumnus Southampton itu mencetak 2 dari 3 gol El Real ke gawang Liverpool sehingga dianugerahi Man of the Match.

Bale nyaris pergi dari Madrid pasca-musim panas 2019/20. Adalah klub asal China, Jiangsu Suning, yang mencoba meminangnya. Akan tetapi, transaksi itu batal pada menit-menit akhir. 

Dari situ friksi mulai meletup. Madrid makin sering mencadangkannya. Bale tak mau kalah. Dia mengekspresikan ketidaksukaannya di bench. Salah satunya adalah tidur dengan masker yang ditarik sampai ke mata. Belum lagi kontroversi spanduk 'Wales. Golf. Madrid. In That Order' di Kualifikasi Piala Eropa 2020 dan heboh-heboh main golfnya saat Madrid tak ikut memboyongnya ke laga melawan Manchester City di babak 16 besar Liga Champions 2019/20.

Hubungan Bale dan Zinedine Zidane ibarat air dan api. Keduanya acap terlibat perseteruan. Bahkan, konon, akar keputusan Zidane pergi dari Madrid pada 2018 adalah Bale. Ketika itu, Presiden Madrid, Florentino Perez, bermaksud menjadikan Bale sebagai Ronaldo baru. 

Zidane enggan dengan niatan tersebut hingga akhirnya hengkang dari Madrid. Barangkali riwayat cedera Bale menjadi alasan keberatan Zidane. Toh, hanya membutuhkan waktu dua atau tiga menit dengan mesin pencari internet untuk menemukan daftar panjang cedera Bale. Meski demikian, 10 bulan setelahnya Zidane kembali Santiago Bernabeu. Dalam masa kepelatihan itu pula, Bale semakin sering dibangkucadangkan, bahkan saat sedang fit.

Perseteruan Bale dan Zidane sering dipandang sebagai permainan media. Tidak terlihat akur sedikit, langsung dibesar-besarkan. Saling melemparkan pandangan dingin, langsung digodok. Namun, bukan tidak mungkin perseteruan itu lebih dari sekadar akal-akalan media. 

Akar masalah Bale dan Zidane terletak pada narasi si jahat dan si baik, si kekanak-kanakan dan si dewasa, si pembangkang dan si teladan, dalam sepak bola masa kini. Baik Bale dan Zidane tidak memilih untuk menjadi si jahat dan si baik. Namun, dunia, termasuk dunia sepak bola, harus menetapkan siapa yang berdiri di titik hitam dan putih.

Narasi Bale sebagai pemberontak muncul dari perbandingan sepak bola Madrid yang entah bagaimana caranya erat dengan tradisionalis. Jenderal Franco, sang diktator, bukan seorang penggemar sepak bola. Ia hanya tahu bahwa sepak bola dengan begitu banyak pencintanya adalah kendaraan yang dapat ditunggangi. 

Dari situ kita mengenal cerita bahwa Madrid adalah kendaraan kebesaran Franco. Ia bukan hanya klub sepak bola yang mengejar kemenangan, tetapi juga mengabdi kepada sang diktator. Asumsi itu sebenarnya lucu karena pada dasarnya, Madrid adalah klub yang begitu giat menyerap hal-hal asing. 

Mereka mempelajari peraturan sepak bola dari buku yang diimpor langsung dari Manchester. Warna putih jersi mereka sampai saat ini terinspirasi dari warna jersi klub amatir yang berbasis di London, Corinthian.

Terlepas dari bumbu-bumbu tradisionalis yang entah dari mana datangnya itu, Bale dengan segala pemberontakannya di Madrid membuatnya menjadi orang yang berbeda di Bernabeu. Kita semua tahu bahwa Zidane adalah si anak baik yang bahkan rela kehilangan tempat di final Piala Dunia untuk mempertahankan harga diri dan martabat keluarganya dengan menanduk Marco Materazzi.

II

Dengan menyigi rangkaian wawancaranya, kita dapat menemukan bahwa cerita tentang Bale adalah perjalanan seseorang yang telah memberikan (hampir) seluruh hidupnya untuk sepak bola. Bagi para pesepak bola seperti Bale, lapangan adalah satu-satunya tempat yang didamba. Untuk mendapatkan ruang di tempat itu, Bale dan para pesepak bola lainnya tidak boleh lagi hidup untuk diri sendiri. 

Sebagian besar hidup harus diberikan untuk klub. Tidak ada lagi alasan untuk bersepak bola demi kesenangan. Semuanya harus didasarkan atas nama profesionalitas. Suka atau tidak suka dengan taktik, pelatih, klub, manajemen, atau apa pun, mereka harus dapat bermain dengan sebaik-baiknya, dengan sekuat-kuatnya.

Barangkali setelah memberi seluruh hidupnya lalu dicampakkan, Bale berusaha mencari tempat yang mengizinkannya untuk hidup bagi diri sendiri. Bagi Bale tempat itu adalah lapangan golf. Di sanalah ia dapat bermain untuk kesenangan. Di sanalah ia dapat mempersetankan segala tuntutan untuk menjadi yang terbaik dan bersikap sebagai yang termahal. 

Namun, tidak semua orang menyukai keputusan tersebut. Bale semakin terasing. Syukurlah pada akhirnya ia menemukan tempat yang bersedia memberikan ruang. Tempat itu bernama Tottenham Hotspur.

Bale dan Madrid layak berterima kasih pada Daniel Levy atas terealisasinya transaksi pada musim panas 2020 tersebut. Sang bos Tottenham bersedia turun gunung untuk bernegosiasi dengan agen Bale, Jonathan Barnett. Lantas, pulanglah Bale ke Tottenham setelah tujuh tahun bermain di Spanyol.

Meski transaksi itu hanya peminjaman, Tottenham mesti menanggung setidaknya 40% dari gaji Bale di Madrid yang berkisar 260 ribu poundsterling per pekan. Jose Mourinho memantik kembali api Bale dengan menjadikannya sebagai salah satu penyerang menjanjikan di Inggris.

Ketika semuanya terasa mulai membaik, Bale kembali ke Madrid dalam kondisi cedera. Lagi-lagi cedera menjadi penghalang Bale untuk menunjukkan taringnya. Cedera itu didapat ketika membela Timnas Wales di Kualifikasi Piala Dunia 2022 pada pertengahan November 2021. Kondisi itu cukup ironis karena Bale sudah absen membela Madrid sejak akhir Agustus 2021. Sayangnya, keputusan Ancelotti mengizinkan Bale membela Wales justru berbuah celaka.

Terlepas dari cedera yang sering menyerang, Bale tengah fokus untuk mengantarkan Wales ke Piala Dunia 2022. Kabarnya, keputusan untuk tetap merumput atau malah pensiun dini juga bergantung pada berhasil tidaknya Wales berlaga di Qatar. Jika Wales gagal, Bale memilih untuk pensiun walau usianya baru akan menginjak 33 tahun. 

Bale sebenarnya punya pilihan lain. Karena kontraknya di Madrid akan selesai pada 30 Juni 2022, Bale dikabarkan mulai mempertimbangkan untuk berlaga bersama Cardiff City atau Swansea di Championship. Turun kasta. 

Namun, bagi orang seperti Bale, yang hampir selalu memberontak di atas lapangan bola, kasta atas atau bawah barangkali hanya masalah sepele. Selama ia memiliki tempat, berlaga di Championship bisa saja ditempuh. Jika Zidane dan Madrid saja dilawan, masa ia ogah melawan stigma dan persepsi? 

Lagi pula, kalaupun benar-benar pensiun, bukan mustahil Bale justru menemukan tempat yang menerimanya dengan semringah. Lapangan golf, mungkin?