Pressing dan Kolektivitas

Foto: FC St. Pauli

Tim yang secara kolektif mampu berpikir lebih cepat, dalam urusan pressing, dari lawannya akan memiliki kans lebih besar untuk menang.

Saya tergelitik ketika membaca sebuah postingan media sosial yang menyebut bahwa sepak bola saat ini kekurangan pemain-pemain teknikal, pemain-pemain yang hobi melakukan dribel (tepatnya take-ons, sebuah upaya melewati lawan). Bahwa sepak bola telah kehilangan kecairan. Sepak bola kini semakin kaku, dengan pemain memiliki waktu makin sedikit dalam urusan menguasai bola.

Menonton pertandingan sepak bola sekarang, mudah melihat bahwa ruang buat para pemain semakin sempit. Waktu mereka untuk berpikir sebelum mengambil keputusan semakin singkat. Salah satu penyebabnya adalah pressing yang semakin variatif; Bukan hanya dengan pendekatan man-to-man, tapi juga dengan overload sebuah sisi/koridor, dengan mengurung beberapa pemain lawan dengan skema pressing yang seperti box, pressing diagonal atau horizontal alih-alih vertikal, dan sebagainya.

Pemain dituntut bisa menjaga penguasaan bola di tengah kepungan lawan: bisa bergerak dan mengalirkan bola di ruang sempit. Karena itu, mereka tak punya banyak waktu untuk meliak-liuk melewati lawan. Untuk bisa mengumpan dengan bebas saja adalah sebuah kemewahan.

Lantas tim-tim yang menonjol dalam sepak bola dewasa ini adalah tim-tim yang: 1) Punya sistem pressing yang bagus. 2) Punya kemampuan melepaskan diri dari pressing dengan baik. Karena itu pula muncul istilah pemain “press-resistance”—untuk menjuluki pemain-pemain yang mampu melepaskan diri dari pressing dengan baik.

Tim yang secara kolektif mampu berpikir lebih cepat dari lawannya—dalam melakukan pressing maupun lepas dari pressing itu sendiri—akan memiliki kans lebih besar untuk menang. Arsenal dalam laga vs Liverpool dini hari tadi adalah contohnya. Secara kolektif mereka mampu mengatur dan mengontrol pressing untuk membuat plan build-up Liverpool yang direct dan vertikal tak bekerja.

Saat menguasai bola, mereka berbalik menggunakan permainan direct untuk melepaskan diri dari pressing kolektif dan intens yang para pemain Liverpool lakukan. Progres tim menjadi jauh lebih vertikal. Arsenal melepas 19 umpan panjang akurat di laga itu, jumlah terbanyak dibanding empat laga liga terakhir mereka sebelum menjamu Liverpool.

Akhir pekan kemarin saya juga menyaksikan situasi yang mirip. Bagaimana sebuah tim yang mampu tampil lebih cerdik dalam melancarkan pressing dan melepaskan diri dari pressing lawan berhasil memenangkan pertandingan. Tim itu adalah St. Pauli, dan mereka melakukannya ketika menang 3-2 atas Greuther Fürth.

Sejak awal laga, Fürth fokus untuk menutup koridor kiri serangan St. Pauli dengan overload. Tiap tuan rumah mengarahkan serangan mereka ke sana, Fürth akan melancarkan pressing. St. Pauli kemudian kesulitan menggunakan sisi kiri untuk melancarkan serangan. Namun, rumus di atas masih berlaku: Tim yang mampu berpikir lebih cepat dari lawan dalam melepaskan diri dari pressing akan punya peluang lebih besar.

St. Pauli melakukannya. Mereka mengubah ketidakunggulan di sisi kiri menjadi keunggulan di sisi kanan. Serangan dipindahkan ke sisi tersebut dengan umpan-umpan cepat. Hasilnya, pemain sisi kanan mereka acap berada dalam situasi unggul jumlah dari penggawa Fürth. Dan dua gol pertama St. Pauli diawali dari situasi tersebut.

Fürth kemudian merespons cepat. Mereka merespons dengan tetap konsisten melakukan overload dalam aspek ofensif maupun defensif. Overload menjadi kunci karena dua tim ini merupakan tim yang begitu baik dalam hal mengalirkan bola ke depan, atau memindahkan bola dari satu sisi ke sisi lain. Menggunakan overload untuk memampatkan aliran bola itu adalah ide yang bagus dan Fürth mendapatkan dua gol berkatnya.

Namun, St. Pauli kembali merespons dengan baik. Overload dan pressing yang dilakukan Fürth membuat mereka menguasai bola lebih banyak. Dan inilah yang dimanfaatkan St. Pauli. Dan rumusnya masih soal pressing tadi. St. Pauli kini yang melancarkan pressing intens buat Fürth. Mereka juga yang lebih cerdik dalam situasi ini.

Situasi pressing kolektif yang akhirnya membuat Fürth kehilangan bola dalam situasi yang berbahaya. St. Pauli kemudian berhasil mendapatkan gol ketiga dari situasi tersebut. Dan selepas laga sang pelatih Fabian Hürzeler menyebut bahwa situasi Fürth yang memegang kendali bola memang menjadi keuntungan ketika St. Pauli melakukan pressing, sebab dalam situasi itu kans St. Pauli untuk melakukan turnover dan mendapatkan kans berbahaya semakin besar.

Buat saya, St. Pauli juga diuntungkan dengan komposisi pemain mereka dalam konteks memenangi duel pressing ini. Pertama, sebagai tim paling dominan di liga, pemain-pemain mereka sudah terbiasa menghadapi lawan yang melakukan pressing tinggi dan intens buat mereka. Kedua, lagi-lagi sebagai tim yang paling dominan di liga, mereka tahu betul bahwa lawan-lawan yang mereka hadapi lebih inferior saat memegang kendali bola—karenanya melancarkan pressing ke lawan adalah ide yang tepat.

Namun, saya juga paham bahwa pressing memang tricky. Seorang Jürgen Klopp yang terkenal dengan pressing-nya saja bisa keok saat menghadapi tim yang mampu menggunakan pressing secara kolektif dengan lebih baik—entah dalam hal ofensif maupun defensif. Padahal pemain-pemain yang Klopp miliki sudah sangat fasih dalam menerapkan, maupun lepas dari, pressing. Akan tetapi, apa boleh buat, kolektivitas Arsenal lebih baik.

Dan inilah sepak bola sekarang. Tim yang memiliki kolektivitas lebih baik kan menang. Karena itu, ketika banyak yang protes bahwa sepak bola sekarang makin kekurangan pemain-pemain teknikal yang acap melakukan aksi-aksi individu, ketahuilah bahwa justru saat ini pemain-pemain yang punya pemahaman kolektif yang makin bagus semakin banyak.

Ketika mengingat bahwa Messi memenangi Liga Champions terakhirnya di tengah sokongan Luis Suarez, Neymar, Ivan Rakitic, Sergio Busquets, dan sisa-sisa tenaga dari Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, harusnya kita sadar bahwa kolektivitas lebih penting ketimbang individu. Dan pressing-nya tim Klopp, press-resistance timnya Pep Guardiola, serta pragmatis dan efektifnya tim Carlo Ancelotti makin menebalkan itu semua.