Q&A: Segala Hal tentang Ribut-ribut Messi dan Pochettino di PSG

Foto: @PSG_English.

Bukannya membuat PSG lebih menakutkan, keberadaan Lionel Messi malah menjadi pangkal dari friksi yang terjadi dalam tim saat ini. Kami membahas lebih jauh mengenai hal tersebut.

Untuk segala sesuatu yang ingin mereka capai di Paris Saint-Germain, Qatar Sports Investment (QSi) memberikan jalan keluar berupa uang.

Permulaannya adalah 2010 ketika PSG dalam situasi pelik. Musim itu mereka finis di urutan 13 Ligue 1. Menurut AFP, PSG juga kehilangan sebagian penghasilan karena adanya konflik antara dua kelompok suporter yang menyebabkan dihentikannya penjualan tiket stadion.

QSi yang dipimpin Nasser Al-Khelaifi datang di tengah-tengah kondisi itu. Pada 2011, mereka membeli PSG seharga 50 juta euro. Sejak masa inilah PSG bertransformasi menjadi klub yang sama sekali berbeda. Terlebih, QSi menunjukkan keseriusan besar dalam membangun PSG.

Tentu, uang jadi modal utama.

PSG lantas berupaya mendatangkan para pemain bintang berharga mahal. Pada lima musim pertama saja, mereka sudah menghabiskan 548 juta euro. Yang paling mencengangkan jelas saat mereka memecahkan rekor transfer dunia dengan mendatangkan Neymar dan Kylian Mbappe sekaligus.

Hal serupa terjadi musim ini. Di tengah peliknya masa depan Lionel Messi di Barcelona, PSG datang menawarkan diri. Pada akhirnya kita bisa melihat Neymar, Mbappe, dan Messi dalam tim yang sama. Bukan hal aneh jika banyak yang mengira PSG bakal begitu digdaya.

Namun, yang terjadi tidak demikian. Messi justru kesulitan membangun kemistri yang oke bersama tim barunya. Di sisi lain, belakangan ini malah muncul friksi di tubuh PSG, sebuah perpecahan yang konon bermula dari ego para pemain bintang mereka.

Friksi?

Yep! Menurut L’Equipe, suasana ruang ganti tim sedang tidak kondusif. Sebagian pemain sudah tidak yakin lagi dengan kualitas taktik Mauricio Pochettino selaku manajer. Mereka merasa bahwa Pochettino bukan orang yang tepat untuk membawa PSG ke level yang lebih jauh.

Memangnya PSG-nya Pochettino sejelek itu?


Susah menilainya karena, toh, PSG masih di puncak klasemen Ligue 1 musim ini. Musim lalu mereka bahkan lolos ke semifinal Liga Champions. Tapi, kalau melihat cara main mereka, memang tidak kelihatan superior sama sekali. Setidaknya tidak sebanding dengan kualitas skuad yang dimiliki.

Kasih contoh, dong!

Pada awal musim, misalnya, PSG kalah dari Lille di Piala Super Prancis. Di Liga Champions musim ini mereka juga tidak terlalu mulus. Selain satu kali kalah dari Manchester City, PSG kesulitan menghadapi Club Brugge dan RB Leipzig yang sebetulnya sedang tidak baik-baik saja.

Tidak ada agresivitas dalam permainan PSG. Simak saja rata-rata tembakan per laga mereka yang hanya 9,7 alias terendah ketiga di antara tim-tim lain yang melaju ke 16 besar Liga Champions. Kualitasnya juga cenderung standar karena hanya memiliki xG sebesar 11,8.

Lebih jauh, masih kata L’Equipe, masalah utamanya adalah ketidakmampuan Pochettino memaksimalkan potensi Neymar, Mbappe, dan Messi di lini depan, terutama dalam situasi serangan balik. Well, masuk akal karena WhoScored mencatat PSG baru bikin empat gol dari situasi itu musim ini.

Agak paradoks karena PSG termasuk salah satu tim yang pola bermainnya cenderung ‘menunggu’. Simak cakupan pressing-nya yang sebagian besar ada di sepertiga lapangan sendiri (330) alias tertinggi kelima di Liga Champions. Di lini tengah dan final third, sementara itu, PSG ada di urutan tiga terbawah.

Berarti perkara taktikal yang jadi penyebabnya?

Lebih dari itu. Kabarnya, Pochettino juga kurang disukai karena dia terlalu lunak dengan para pemain. Bahkan, pelatih asal Argentina itu tidak menegur atau mengkritik Messi dan kolega jika melakukan kesalahan. Tentu persona buruk bagi seorang juru taktik yang seharusnya punya kendali ruang ganti.

Pada akhirnya, sejumlah pemain kehilangan respek terhadap pelatih. Bahkan, sebagian di antaranya kerap mendiskusikan taktik sendiri di luar sepengatahuan Pochettino.

Siapa aja pemain yang bertanggung jawab atas friksi ini?

Salah satunya Lionel Messi.

Wow!

Enggak perlu ‘wow’ karena ini bukan kejutan-kejutan banget. Potensi adanya konflik karena Messi sudah terendus sejak dia terlibat konflik dengan Mauro Icardi. Konfliknya, sih, terjadi di Timnas Argentina, tetapi Messi membawanya sampai ke PSG.

Karena konflik itu, Messi kabarnya mengajukan permintaan khusus untuk mendepak Icardi dari PSG dan menggantikannya dengan Sergio Aguero. Isu ini bisa saja benar mengingat hanya sekali Icardi menjadi starter sejak masalahnya dengan Messi mengemuka.

Terkait Pochettino, tanda-tanda keretakannya sudah tercium sejak Messi ditarik keluar dalam laga kontra Lyon pada awal September. Kala itu Messi menolak berjabat tangan dengan Pochettino sekaligus memberi tatapan tajam setibanya di tepi lapangan.

Selain Messi, siapa lagi?

Media menyebutnya sebagai 'Messi Genk' yang terdiri dari para pemain Argentina dan beberapa teman lama eks Barcelona tersebut. Belakangan, Achraf Hakimi juga dikabarkan mengeluh. Ia tak senang dengan cara pelatih menangani lini belakang, terutama yang berkaitan dengan posisinya.

Rincinya?


Kuat dugaan Hakimi cenderung ingin bermain sebagai wing back, alih-alih fullback. Ia memang kerap bermain di pos tersebut sebelumnya karena Borussia Dortmund dan Inter sama-sama mengandalkan skema tiga bek. PSG, sementara itu, selalu bermain dengan skema empat bek musim ini.

Dengan begini, apakah nasib Pochettino sudah di ujung tanduk?

Belum ada omongan-omongan dari Leonardo selaku direktur olahraga PSG. Namun, mengingat tekanan yang ia terima dari para pemain, bisa saja ini jadi musim terakhir Pochettino di Paris. Lebih jauh, kami rasa eks Tottenham Hotspur ini memang bukan orang yang tepat buat PSG.

Terlepas dari perkara taktik, Pochettino bukan tipikal pelatih yang bisa membuat para pemain tunduk kepadanya. Lebih-lebih, PSG berisikan para pemain bintang dengan ego segudang. Butuh lebih dari sekadar taktik bagus untuk menyatukan semua hal tersebut.

Kamu tahu Thomas Tuchel? Bahkan pelatih keras kepala seperti dia saja mengaku kesulitan.

Tell me more about that!

Pada Oktober tahun ini di Festival dello Sports, Tuchel bercerita bahwa menangani pemain bintang PSG adalah perkara rumit karena sikap mereka. Beberapa kali di tengah pertandingan, mereka bisa saja mengubah taktik tanpa sepengetahuan dirinya.

Tuchel sampai bilang bahwa melatih Romelu Lukaku jauh lebih mudah daripada menangani Neymar dan Mbappe. “Di PSG, saya seperti menteri olahraga. Saya bahkan mengatur anggota keluarga hingga teman-teman para bintang. Di Chelsea jauh lebih tenang,” kata Tuchel.

Situasi-situasi seperti ini sudah terjadi jauh sejak sebelum masa Tuchel dan sekarang Pochettino, sih. Ada Laurent Blanc yang pernah konflik dengan Thiago Silva. Unai Emery juga mesti berhadapan dengan drama Neymar vs Edinson Cavani yang tak berkesudahan.

Sejak QSi mengambil alih, satu-satunya pelatih yang kelihatannya jauh dari isu-isu konflik para pemain bintang adalah Carlo Ancelotti. Namun, Ancelotti malah bersitegang dengan manajemen karena tidak puas dengan proyek masa depan yang dicanangkan.

Kalau Pochettino pergi, dan sepertinya begitu, siapa yang cocok untuk jadi pengganti?

PSG sudah mencoba banyak juru taktik dengan berbagai gaya melatih. Mulai dari yang ‘kebapakan’ seperti Ancelotti hingga yang keras kepala dan banyak menuntut seperti Tuchel. Hasilnya masih belum optimal. Jika sudah begini, barangkali yang mereka butuhkan adalah pelatih seperti Zinedine Zidane.

Terlepas dari rumor yang memang mengaitkan dirinya dengan PSG, Zidane rasanya cocok untuk mengendalikan ego dalam tim. Ia adalah pelatih yang mestinya bisa disegani karena apa yang sudah ia lakukan. Sebagai pemain, Zidane sudah memenangi segalanya. Sebagai pelatih pun begitu.

Pendekatan Zidane yang cenderung pragmatis dan main aman seharusnya juga cocok dengan keinginan manajemen PSG yang ingin serba cepat. Namun, jika hasilnya sama saja, barangkali masalahnya memang bukan sosok berjas yang berdiri di pinggir lapangan.