Regulasi yang Melindungi Atlet di Italia dari Henti Jantung Mendadak

Foto: Instagram @chriseriksen8

Spekulasi menyebut sangat sulit bagi Eriksen untuk kembali merumput. Ini ada kaitannya dengan regulasi yang dikeluarkan oleh Komite Kardiologi Olahraga (COCIS) di Italia. Regulasi ini membuat pemeriksaan jantung diwajibkan oleh hukum.

Tidak ada kemenangan dan gelar juara yang seharga kehidupan. Maka ketika Christian Eriksen kolaps, tidak ada lagi yang memedulikan siapa yang bakal menjadi pemenang dalam laga Denmark vs Finlandia. Rasa-rasanya siapa pun yang menonton pertandingan itu mengganti seluruh harapan mereka dengan: Eriksen selamat.

Eriksen tumbang di pengujung babak pertama karena sudden cardiac arrest atau henti jantung mendadak. Seseorang disebut mengalami sudden cardiac arrest ketika jantung berhenti berdetak secara tiba-tiba. Kondisi ini dapat ditandai dengan hilangnya kesadaran dan napas yang berhenti. Kondisi ini terjadi karena gangguan listrik di jantung yang mengakibatkan pompa jantung terhenti. Akibatnya, aliran darah ke seluruh tubuh juga terhenti.

Henti jantung mendadak berisiko menimbulkan kerusakan otak permanen hingga kematian. Oleh karena itu, kondisi ini perlu ditangani secepatnya. Pertolongan segera berupa CPR dan kejut jantung dapat membantu mencegah risiko tersebut.

Berbeda dengan serangan jantung yang disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah, henti jantung mendadak disebabkan oleh gangguan irama jantung, tepatnya penyakit ventrikel fibrilasi. Ini adalah gangguan irama jantung yang membuat ventrikel jantung hanya bergetar, bukan berdenyut untuk memompa darah, sehingga menyebabkan jantung berhenti secara mendadak.

Henti jantung mendadak lebih berisiko terjadi pada orang-orang yang memiliki gaya hidup sehat atau mereka yang sudah memiliki gangguan jantung. Masalahnya, Eriksen adalah seorang atlet. Profesional pula. Kecuali tidak cukup rebel seperti  Matt Le Tissier, tidak ada atlet profesional yang menjalani kariernya di liga top Eropa macam Premier League atau Serie A, sambil hidup sembarangan.

Dari situ tentu muncul pertanyaan, mengapa henti jantung bisa terjadi pada atlet seperti Eriksen? Pertanyaan ini tambah muram karena Eriksen bukan satu-satunya pesepak bola yang mengalami henti jantung.

Sayangnya, pertanyaan itu belum terjawab hingga sekarang. Kasus demikian memang tergolong langka. Selain itu, Eriksen masih harus menjalani pemeriksaan menyeluruh untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padanya.

Pertanyaan kedua adalah: Apakah Eriksen masih bisa melanjutkan karier sebagai pesepak bola? Cardiac arrest adalah kondisi serius, terlebih karena kondisi itu tidak datang dengan sendirinya alias memiliki pemicu. Serupa dengan pertanyaan pertama, belum ada yang bisa benar-benar menjawab pertanyaan ini.

Akan tetapi, spekulasi menyebut sangat sulit bagi Eriksen untuk kembali merumput. Ini ada kaitannya dengan regulasi yang dikeluarkan oleh Komite Kardiologi Olahraga (COCIS) di Italia. Regulasi ini membuat pemeriksaan medis terkait kardiologi (jantung) diwajibkan oleh hukum.

Undang-undang ini mengharuskan siapa saja yang sedang bersiap untuk memulai atau yang sudah mempraktikkan kegiatan olahraga kompetitif, untuk melakukan pemeriksaan kardiologi setiap satu atau dua tahun sekali, tergantung olahraganya. Pemeriksaannya tidak boleh sembarangan, tetapi mesti dilakukan oleh dokter spesialis.

Dari sudut pandang hukum medis, regulasi dapat melindungi atlet, terutama dari sudden cardiac arrest. Salah besar jika mengira regulasi ini baru dibuat 3 atau 5 tahun terakhir. Undang-undang ini sudah ada sejak 1982, bahkan berulang kali direvisi agar selalu relevan dengan situasi terkini, termasuk munculnya kasus-kasus kematian atlet akibat henti jantung mendadak saat bertanding atau berlatih.

Revisi teranyar dilakukan pada 2017. Pemutakhiran demi pemutakhiran dilakukan karena pada kenyataannya, sejumlah penyakit jantung dengan risiko kematian mendadak bisa saja terjadi pada orang-orang dengan kinerja fisik normal, bahkan sangat baik. Dalam hal ini, pesepak bola profesional di liga top Eropa seperti Eriksen bisa menjadi contoh.

Dalam kasus seperti Eriksen, pasien benar-benar berlomba dengan waktu. Konon, keterlambatan penanganan dalam mengurangi harapan hidup sebesar 10% per menit. Yang menjadi pekerjaan rumah terbesar di sini adalah sebisa mungkin meminimalkan risiko munculnya henti jantung mendadak tersebut. Untuk itulah COCIS menerapkan protokol medis khusus sebagai langkah pencegahan. 

Inovasi yang dilakukan pada 2017 menyangkut skrining molekul-genetik, mekanisme patogenetik dan patofisiologi penyakit otot jantung, interpretasi perubahan EKG, pendekatan MRI jantung, cardiopulmonary exercise test (pemeriksaan yang dilakukan untuk mengevaluasi fungsi kerja jantung dan paru saat pasien istirahat serta beraktivitas fisik), dan holter monitoring (merekam aktivitas listrik jantung dan detak jantung secara terus-menerus). 

Prosedur-prosedur tersebut dilakukan sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis dengan benar. Regulasi ini juga mencakup strategi manajemen atlet untuk melindungi mereka dari gangguan jantung, terutama henti jantung mendadak.

Rangkaian pemeriksaan medis tersebut tidak hanya berlaku untuk mencegah kasus-kasus akut atau yang terjadi mendadak saat pertandingan, tetapi juga memperlebar sudut pandang dengan memperhitungkan apa yang terjadi pada jantung setelah seorang atlet menjalani rangkaian latihan.

Contohnya adalah pengaruh latihan pada curah jantung (cardiac volume) dan ketebalan dinding otot jantung.

Revisi yang dilakukan secara konstan bertujuan meminimalkan risiko sedapat mungkin. Pasalnya, henti jantung adalah muara dari gangguan jantung lain. 

Kondisi-kondisi tersebut mencakup aritmia (gangguan irama jantung), kardiomiopati (gangguan otot jantung), sindrom long QT (salah satu gangguan aktivitas listrik jantung), sindrom brugada (gangguan irama jantung akibat kelainan genetik), repolarisasi dini ganas (kondisi jantung yang berelaksasi lebih awal dari normal), kardiomiopati (penyakit akibat kelainan pada otot jantung), miokarditis (peradangan pada otot jantung), perikarditis (iritasi dan peradangan pada lapisan tipis berbentuk kantong yang melapisi jantung), penyakit jantung bawaan, valvulopati (penyakit katup jantung), penyakit jantung iskemik (penyakit jantung koroner), hipertensi, diabetes melitus. 

Pemeriksaan tersebut pada dasarnya dilakukan untuk memastikan ada atau tidaknya kondisi yang dapat berisiko henti jantung mendadak Protokol dengan metode yang lebih akurat. Seandainya ada, pemeriksaan lebih jauh dilakukan untuk menentukan bisa atau tidaknya sang atlet melanjutkan karier serta menentukan aktivitas olahraga apa yang bisa dan tidak bisa ia lakukan.