Reinkarnasi Tammy Abraham

Foto: @tammyabraham.

Di AS Roma, Tammy Abraham menemukan rumah dan menjelma sebagai manusia baru.

Satu yang dipikirkan oleh Tammy Abraham saat memilih AS Roma, enam bulan lalu, hanyalah menjaga agar karier sepak bolanya tidak tamat lebih cepat.

Abraham mengaku memilih Roma setelah frustrasi di Chelsea. Sebagai pemain yang rutin diturunkan di lini depan oleh Frank Lampard, nasibnya berubah 180 derajat ketika Thomas Tuchel, sang pelatih baru, datang. Jangankan tampil, melihat Abraham di bench pemain cadangan adalah suatu keajaiban.

Maka, ketika Roma menawarinya kesempatan, Abraham tidak pikir panjang. “Roma datang dan menunjukkan harapan mereka terhadap saya. Anda pasti tahu bedanya melihat orang-orang yang menginginkan Anda dengan yang tidak,” katanya.

“Saya punya mimpi yang ingin diwujudkan di sini. Namun, saya tidak mendapatkan banyak kesempatan karena Chelsea punya target besar yang rasanya tidak akan terjadi apabila saya yang bermain. Apabila saya hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, bisa saja karier saya selesai lebih cepat.” imbuhnya.

Abraham lahir di London dan tumbuh sebagai penggemar Chelsea. Masa kecilnya semakin lengkap setelah ia diterima di akademi Chelsea setelah ulang tahun ketujuh. Setelah namanya moncer di akademi, ia mendapatkan panggilan dari pelatih Guus Hiddink untuk bermain di tim utama pada usia ke-19.

Namun demikian, kesempatan tidak lagi tiba setelah itu. Abraham harus melalui masa peminjaman di Bristol City, Swansea City, dan Aston Villa untuk dinilai pantas. 53 gol dari 109 penampilan tiga klub tersebut dinilai sudah cukup membuat Abraham berada di tim utama Chelsea.

Saat Lampard ditunjuk sebagai pelatih pada awal musim 2019/20, Abraham jadi salah satu pemain yang disiapkan untuk menjadi tulang punggung tim. Misi Lampard yang ingin mengorbitkan pemain muda, dan kondisi tim yang dilarang mendaftarkan pemain baru adalah perpaduan sempurna untuk meningkatkan kualitas Abraham.

Abraham langsung moncer di musim perdananya sebagai juru gedor utama Chelsea. Bermain sebagai penyerang tengah, ia punya peran yang penting dalam setiap serangan yang dibangun oleh Chelsea. Entah sebagai pemantul bola ke gelandang serang dan sayap atau penyelesai bola di kotak penalti lawan.

Semua berubah saat Tuchel datang di awal setengah musim kedua. Tuchel tidak hanya mengubah pola 4-3-3 yang rutin digunakan oleh Lampard menjadi 3-4-2-1, tapi juga menurunkan Olivier Giroud, yang selama Chelsea dipimpin oleh Lampard berada di bawah bayang-bayang Abraham.

Abraham hanya bermain dalam tujuh pertandingan dengan total 232 menit selama periode tersebut. Angka tersebut jauh dibandingkan setengah musim pertama yang mencapai 1.983 menit. Tuchel tidak mau disalahkan. Ia punya alasan atas keputusan tersebut.

“Ia tidak mampu memenuhi ekspektasi yang kami bebankan kepadanya. Dua kali menggantinya di jeda babak justru membuat kami bermain lebih baik. Belum lagi ia sempat mengalami cedera yang membuat penampilannya menurun,” kata Tuchel.

Roma mengumumkan bahwa Abraham resmi jadi bagian mereka pada 17 Agustus 2021. 3 hari sebelumnya, mereka melepas Edin Dzeko ke Inter Milan. Perkara ini lantas membuat Abraham diberi beban untuk memberikan kontribusi setara yang dibuat oleh Dzeko.

"Apakah Anda ingin menikmati matahari atau tetap di berada tengah hujan?'" bujuk Mourinho saat itu.

Kini, lima bulan lebih sejak datang ke Roma, Abraham sudah boleh dinilai. Penampilannya memang tidak benar-benar spektakuler, tapi boleh jadi ia termasuk salah satu pembelian sukses di Serie A musim 2021/22.

Dari 22 pertandingan di Serie A, Abraham mampu berkontribusi lewat 10 gol dan tiga assist. Mengingat musim yang masih panjang, tidak perlu heran apabila di akhir nanti melihat kontribusinya jauh lebih besar.

Semula, Mourinho menggunakan pola 4-2-3-1 sebagai formasi utama Roma musim ini. Abraham yang tampil sebagai penyerang, didukung oleh trio Nicolo Zaniolo, Lorenzo Pellegrini, dan Henrikh Mkhitaryan di pos gelandang serang.

Namun, inkonsistensi yang ditunjukkan oleh Roma membuat Mourinho mengubah pendekatan tersebut. Pola 4-2-3-1 diganti dengan 3-5-2. Abraham yang sebelumnya sendirian di lini depan kini rutin diduetkan dengan Zaniolo.

Perubahan yang ditunjukkan oleh Roma sebetulnya tidak memengaruhi penampilan Abraham. Pasalnya, sejak awal musim, tugas yang ia jalankan di atas lapangan tidak hanya mencetak gol, tapi juga bisa saja turun menjemput bola hingga menyuplai pemain lain.

Abraham terhitung sebagai penyerang yang dinamis. Ia tidak hanya mampu mencetak gol melalui sepakan tapi juga sundulan. Bermodalkan kecepatan dan tinggi badan, ia mampu melakukan semua dengan sama baiknya.

Kecepatan Abraham lantas menjadi senjata Roma untuk membuka pertahanan lawan. Dari rata-rata 9,52 umpan terobosan yang berhasil dilepaskan oleh Roma musim ini, 5,89 di antaranya mampu diambil oleh Abraham.

Oleh Mourinho, Abraham kerap ditempatkan di antara bek tengah lawan. Dengan berada di area tersebut, ia tidak hanya sanggup merusak garis pertahanan lawan tapi juga menciptakan ruang kosong bagi pemain lain.

Dua dari tiga assist assist yang dibuat oleh Abraham musim ini kerap terjadi dari momen Abraham berada di tengah dua bek tengah lawan. Yang paling diingat tentu saja saat Roma membekuk Fiorentina di pekan perdana Serie A musim ini.

Selain menjadi momok di sepertiga akhir pertahanan lawan, Abraham juga cukup rajin untuk menjemput bola. Musim ini ia sudah menjemput 79 umpan di daerah permainan sendiri dan tidak ada pemain yang lebih rajin darinya.