Sengkarut Finansial Inter

Ilustrasi: Arif Utama.

Kejutan terbesar bagi Internazionale bukan gelar juara Serie A 2020/21, melainkan pandemi COVID-19 yang berimbas pada guncangan finansial.

Tidak semua bergembira di balik gegap gempita pesta. Internazionale menutup musim 2020/21 sebagai kampiun Serie A. Namun, siapa yang menyangka kabar ini diikuti dengan kepergian para jagoan? 

Antonio Conte, sang pelatih, menjadi orang pertama yang membuat suporter Inter gigit jari. Manajemen mengumumkan kepergian sang allenatore pada Mei 2021. Setelahnya, giliran dua penggawa, Romelu Lukaku dan Achraf Hakimi, yang angkat kaki dari Giuseppe Meazza. Bisakah dibayangkan, Lukaku, sang MVP, memutuskan untuk meninggalkan klub yang disebut-sebutnya sebagai juruselamat ketika ia dicampakkan oleh Manchester United?

Setelah Inter diakuisisi oleh Suning Group pada 2016, Zhang Kangyang didapuk sebagai presiden klub pada akhir Oktober 2018. Langkah ini diikuti dengan investasi mencapai 600 juta euro yang pada akhirnya mengubah wajah Inter dari klub biasa-biasa saja menjadi bertabur bintang. 

Tak hanya menggaet conte sebagai pelatih, Inter pun mengikat kesepakatan dengan Romelu Lukaku, Ashley Young, Achraf Hakimi, Nicolo Barella, Stefano Sensi, Christian Eriksen, dan Alexis Sánchez. Kejutan terbesar yang lahir setelah transfer-transfer itu ternyata bukan runner up, laga Liga Europa, ataupun scudetto 2020/21, tetapi pandemi COVID-19.

Suning bahkan dibikin kalang-kabut karena guncangan finansial yang berawal dari pandemi berimbas pada tutupnya bisnis non-retail mereka. Efek pandemi juga menyerang kepemilikan Suning akan klub China, Jiangsung. Beberapa bulan setelah Jiangsu merengkuh gelar juara, Suning terpaksa menjual saham mereka. Konon, kebijakan pemerintah China dalam merespons pandemi COVID-19 juga berperan penting dalam keputusan bisnis ini.

Mengacu laporan keuangan, Inter mengalami kerugian sekitar 102,4 juta pada musim 2019/20. Bandingkan dengan kerugian di musim 2018/19 yang hanya mencapai 48,4 juta euro. Selain itu, jumlah utang Nerrazzuri pun menggila. Per 30 Juni 2020, utang tersebut angkanya mencapai 871,3 juta euro atau meningkat sekitar 97,4 juta euro dari 30 Juni 2019. 

Jika komponen utang itu dibedah, ditemukan bahwa utang lancar Inter ada di angka 99,409 juta euro. Masalahnya, aset lancar Inter di periode tersebut hanya ada di nominal 107,588 juta euro. Tentu saja angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Inter masih memiliki dana cair kalaupun seluruh utang lancar harus dibayarkan. Namun, uang yang tersisa sekitar 8,179 juta euro seharusnya menjadi tanda waspada yang benar-benar harus diperhatikan Inter.


Bahkan per 31 Maret 2021 ditemukan bahwa utang lancar Inter meningkat menjadi 141,088 juta euro, sedangkan aset lancarnya ada di nominal 157,982 juta euro. Tentu rasio likuiditas perusahaan di periode ini sudah memberikan sinyal merah. 

Dari tabel utang berikut, peningkatan paling mencolok ada di komponen debiti verso enti settore specifico. Jika diterjemahkan secara harfiah, akun itu berarti utang kepada entitas sektor tertentu. Dalam laporan keuangan itu dijelaskan bahwa utang ini berkaitan dengan aktivitas Inter di bursa transfer yang mengalami peningkatan signifikan dalam 2 musim terakhir.

Kondisi finansial yang mulai mencemaskan itu pulalah yang disebut-sebut memotori keputusan Inter untuk ikut memprakarsai European Super League (ESL). Apa lagi tujuannya selain mendapatkan suntikan dana cepat?

Apes, pergerakan itu justru mendapat penolakan masif dari para suporter sendiri. Gaduh yang memaksa Inter mundur dari ESL pada akhirnya membuat manajemen mesti memikirkan rencana lain untuk menyelamatkan klub dari krisis. Sekoci bukan alat yang layak untuk melanjutkan hidup. Akan tetapi, sekoci adalah pertolongan pertama. Daripada mati karena tenggelam, lebih baik menyelamatkan diri dengan menumpang di perahu. Masalah bagaimana bertahan hidup ke depannya, itu urusan nanti.

Dari situ, Inter mengikat kerja sama dengan perusahaan investasi Oaktree Capital untuk mendapatkan pinjaman sebesar 275 jta euro yang harus dilunasi dan dibayarkan bunganya dalam 3 tahun. Jika tidak dapat dilunasi, kepemilikan Suning akan Inter harus diserahkan kepada Oaktree. Besar kemungkinan inilah yang memaksa Inter menjual sejumlah nama besar menjelang musim 2021/22.

Guncangan Finansial Tidak Hanya Terjadi di Inter

Sejak 2020, pemerintah China secara signifikan memperketat pengawasan terhadap kepemilikan modal perusahaan China di luar negeri. Ada tekanan untuk menarik banyak uang yang diinvestasikan di tim asing sehingga dialihkan untuk membiayai sepak bola di China. Konon kebijakan ini ditegakkan karena menurut evaluasi pemerintah, tidak ada keuntungan signifikan yang didapat China atas investasi di klub-klub luar negeri, termasuk Eropa, dan dalam hal ini Italia. 

Presiden Xi Jinping menegaskan bahwa seharusnya yang menjadi fokus adalah memastikan perekonomian dan merk-merk nasional tetap dapat bertahan, bahkan bertumbuh dengan sehat. Itulah sebabnya mereka begitu mempertanyakan keputusan entitas bisnis yang dianggap membuang-buang uang ke luar negeri. 

Sekitar 2017 atau 3 tahun sebelum pandemi COVID-19 menghantam dunia, ada 20 klub sepak bola asing yang dimiliki oleh perusahaan China. Sejak pandemi, jumlah itu berkurang menjadi 10. Salah satu yang terkenal tentu saja Inter.

Akankah tekanan itu akhirnya memengaruhi kepemilikan Suning terhadap Inter? Jawaban 'ya' tentu saja benar-benar memungkinkan, apalagi mengingat keterbatasan mereka sebagai sebuah perusahaan. Selain itu, kewajiban untuk mengembalikan pinjaman berikut bunganya berpotensi menimbulkan masalah baru jika tidak dapat dipenuhi. Dengan runtuhnya ESL, tampaknya tidak ada jalan yang lebih masuk akal untuk mengumpulkan uang bagi klub selain menjual pemain.

Keputusan untuk menjual para pemain memang membuat suporter geram. Namun, apa boleh buat, itu adalah langkah paling masuk akal untuk mendatangkan uang tunai dalam waktu cepat. Melepas Hakimi ke Paris Saint-Germain seharga 60 juta euro plus adds-on 11 juta euro merupakan langkah awal. Pun dengan 'memulangkan' Lukaku ke Chelsea yang nilai transfernya mencapai 115 juta euro. 

Suning menghadapi guncangan finansial akibat pandemi COVID-19. Tumpukan utang perusahaan induk pada akhirnya berimbas pada kondisi keuangan klub, baik Inter maupun Jiangsu. Jumlah kewajiban yang harus dibayar Suning dikabarkan meningkat, dari 25 miliar yuan pada 2010 menjadi 149,71 miliar yuan pada 2019. 

Dari situ, Jiangsu mengalami masalah finansial yang sistemik. Salah satunya penunggakan gaji pemain dan staf. Puncaknya, pada Maret 2021 Jiangsu dinyatakan didiskulifikasi dari Chinese Super League 2021 karena persoalan finansial. Ironis mengingat pada 2020 Jiangsu menjadi kampiun. Bagi para calon pembeli klub, persoalan utang tadilah yang membuat mereka mengurungkan niat.

Persoalan serupa kabarnya juga dialami oleh Inter. Sekitar Februari 2021 mulai berembus kabar bahwa Suning ingin menjual Inter. Salah satu calon pembeli potensial adalah BC Partners. Masalahnya, valuasi Inter yang mencapai 1 miliar euro melebih budget BC Partners yang ada di angka 750 juta euro.

Rangkaian permasalahan finansial pada akhirnya membuat Suning mesti berpikir ulang tentang bisnis mereka. Jika pada awalnya mereka bertujuan untuk membangun dinasti sepak bola baru, kini restrukrisasi bisnis demi bertahan hidup merupakan tujuan utama.