Sepak Bola China: Menjaga Gawang Mao Zedong

Jiangsu FC. Foto: Instagram @jiangsusuningfc.

Bagi China, keberhasilan menjadi kekuatan politik dan ekonomi dunia tak menjamin keberhasilan di sepak bola. Kabar Jiangsu FC ditinggal Suning Grup menguak tabir sepak bola di negeri tersebut.

Usai kesebelasan sepak bola Tentara Pembebasan Rakyat China takluk dari tim junior Yugoslavia pada 1956, pemimpin tertinggi China Mao Zedong berkelakar ke perwakilan negara Balkan yang datang menghadap. “Mungkin kami akan kalah terus-terusan dalam 12 tahun ke depan. Tapi di tahun berikutnya, kami yang menang,” ujar Mao.

Pucuk pimpinan Partai Komunis China itu punya cukup gairah terhadap sepak bola. Saat masih berkuliah di kampus para guru di Hunan, ia sering main bola dan berposisi sebagai penjaga gawang. Namun, selepas kuliah, Mao lebih banyak menghabiskan hidupnya di kamp-kamp gerilya, guna mewujudkan utopianya tentang masa depan China yang terinspirasi dari komunisme ala Soviet.

Sejak umur 18 tahun, Mao remaja sudah terpapar gerakan revolusi di China. Ia mengamati betul apa yang terjadi dalam peristiwa Revolusi 1911 yang menggulingkan monarki Dinasti Qing, sampai demonstrasi mahasiswa 4 Mei 1919. Koran ideologi kiri yang ia lahap semasa kuliah membuat Mao hanyut dalam pemikiran Marxisme-Leninisme. Mao mendambakan Revolusi Bolshevik di Soviet bakal terwujud di tanah airnya.

Selama 20 tahun lebih, kengototannya sebagai pemeluk komunisme membawanya ke momen antara hidup dan mati. Bersama ratusan ribu simpatisan yang ia kumpulkan, Mao menjalani perang gerilya. Kelompok komunis mengangkat senjata untuk menghalau invasi Jepang di Perang Dunia II, sampai perang sipil dengan kelompok nasionalis yang sukses ia menangkan.

Tahun 1949, Mao berhasil menghancurkan tentara nasional dan mendirikan Republik Rakyat China. Orang-orang kegirangan dengan janji kesetaraan serta heroisme Mao. Namun, Mao tidak semulia itu. Perjuangannya mencapai Beijing banyak menimbulkan kehancuran sampai kematian. Setahun sebelum kemenangannya, Mao mengepung Kota Changchun dan membiarkan 150 ribu penduduk sipil mati kelaparan.

Tangan besi Mao menjadi nyata begitu berkuasa. Kebijakan pertama Mao adalah menerapkan sistem politik yang menempatkan Partai Komunis sebagai penguasa tunggal. Dengan manis, Mao menggunakan kata “kediktatoran demokratis untuk rakyat” sebagai dalih kepemimpinan otoriternya. Partai Komunis mengontrol seluruh apparatus negara mulai dari militer, polisi, sistem hukum, pendidikan, hingga industri.

Sayang, kekuasaan yang begitu kuat malah membuat Mao tak punya kebijakan jelas hampir di semua bidang. Misal program reformasi agraria yang dicanangkan dalam Great Leap Forward mengalami gagal panen massal karena menggunakan perangkat teknologi yang belum teruji.

Apa yang dibangun Mao di eranya adalah apa yang kita lihat di China hari ini: Ambisius, ekspansif, dan tertutup. Itu semua berlaku di berbagai bidang, mulai dari politik, ekonomi, bahkan pretelan kecil seperti sepak bola.

Salah satu potret Mao Zedong. Foto: Wikimedia Commons.

***

Kelakar Mao ke delegasi Yugoslavia tak terbukti. Tak ada cerita keagungan sepak bola dalam tahun-tahun penuh kekerasan kepemimpinan Mao. Partai Komunis China banyak mengalami kegagalan untuk hal-hal yang sangat mendasar. Proyek pertanian yang gagal, menghasilkan kelaparan massal pada 1959 sampai 1961 dengan 10 juta korban. China malah melakukan pembantaian dalam insiden berdarah Revolusi Kebudayaan pada tahun 1969.

Usai Mao meninggal tahun 1976 dan kepemimpinan berganti ke Deng Xiaoping, sang penerus punya banyak pekerjaan rumah. China tak boleh lagi salah urus terhadap 800 juta jiwa penduduknya saat itu. Deng memilih cara berbeda dengan kebijakan Mao yang mengurus semuanya sendiri, dan membuat China lebih terbuka dengan ekonomi global.

China saat itu mulai berkenalan dengan industrialisasi. Untuk pertama kalinya izin investasi asing, tak peduli berasal dari negara mana pun, diterima dengan suka cita. Namun, kekuasaan Partai Komunis tak boleh tanggal. Usai modal masuk ke China, segala urusan operasional industri tetap dalam kontrol ketat Partai Komunis.

Masuknya modal serta kebijakan tangan besi yang membuat sirkulasi modal berjalan mulus, menjadikan China raksasa baru ekonomi. Pengangguran merosot, ekonomi tumbuh. Partai Komunis China mulai punya keleluasaan dan sumber daya untuk proyek-proyek yang mampu mengerek citra negaranya, salah satunya lewat olahraga.

Pemerintah menaruh mimpi untuk berprestasi di Olimpiade. Hasilnya instan. Saat tampil pertama kali di Olimpiade Los Angeles 1984, delegasi China langsung menggapai peringkat 4. China kemudian terus mendominasi 4 besar Olimpiade, yang puncaknya menyabet peringkat 1 saat menjadi tuan rumah Olimpiade di tahun 2008.

Nahas bagi sepak bola, cabang olahraga ternistakan. Anggaran olahraga hanya masuk ke cabang-cabang perseorangan pendulang medali. Belum lagi larangan untuk kerumunan lebih dari 10 orang membuat warga China kesulitan untuk sekadar membentuk 1 tim sepak bola.

Sejatinya, Deng juga sama-sama gila bola. Deng pernah menonton pertandingan sepak bola di Olimpiade 1924 semasa kuliah di Paris. Suatu hari, Deng mengunjungi pusat latihan Timnas Sepak Bola China. Saat itu, Deng meminta para pemainnya untuk mencapai papan atas Asia “sesegera mungkin”, tanpa memberi jaminan dukungan pemerintah. Akhirnya, timnas sepak bola adalah lelucon rakyat China.

Angin segar baru muncul dengan kemunculan Xi Jinping yang diam-diam menggemari sepak bola. Saat masih menjabat Wakil Presiden pada tahun 2011, Xi mengumbar janji bakal membangun kejayaan sepak bola China.

Obsesi dilandaskan pada kesenangan pribadi sekaligus kepentingan ekonomi. Sama seperti pemimpin pendahulunya, Xi pernah main sepak bola selama sekolah. Bahkan, Xi memasang fotonya saat menendang bola di Stadion Croke Park, Irlandia, di ruang kerjanya. Selain itu, Partai Komunis China melihat industri sepak bola sebagai pemasukan alternatif. FIFA merilis sebuah riset pada tahun 2007 yang mencatat seperlima penonton Piala Dunia 2010 berasal dari China.

Timnas Sepak Bola China pada 2011. Foto: Wikimedia Commons.

Tiga target ambisius dicanangkan oleh Xi. Pertama, lolos ke Piala Dunia. Kedua, menjadi tuan rumah Piala Dunia. Ketiga, memenangi Piala Dunia. Xi agaknya paham betul jika obesinya tak bakal bisa dicapai dalam waktu singkat. Timnas China yang saat itu tengah ringsek: Gagal lolos ke Piala Dunia 2010, bahkan tersingkir di fase grup Piala Asia 2011.

Saat berhasil merengkuh puncak kekuasaan China pada 2012, Xi tak ingin mengulang tabiat pendahulunya yang hanya mengumbar ambisi tanpa kebijakan konkret. Para pemangku kepentingan mulai dari pegiat sepak bola, petinggi partai, hingga taipan, dikumpulkan dalam satu meja. Obrolan lintas sektor itu mengkristal jadi sebuah kebijakan yang tertuang dalam Reformasi Sepak Bola 2015. Targetnya: China jadi kekuatan sepak bola dunia di tahun 2050.

Untuk meraih ambisinya, Partai Komunis China jelas tak punya banyak ongkos. Namun, mereka menikmati lonjakan ekonomi gila-gilaan sekaligus tumbuhnya konglomerat-konglomerat baru di China. Industri teknologi dan manufaktur punya kemampuan bersaing di industri global, membuat BUMN dan konglomerat punya sisa kekayaan lebih dari cukup untuk berinvestasi di sepak bola yang belum jelas apa keuntungannya.

Para taipan sadar, capaian menakjubkan mereka bukan sepenuhnya keringat sendiri. Mereka menikmati pasar domestik yang begitu besar yang diproteksi habis-habisan berkat kebijakan tertutup Partai Komunis China. Para konglomerat dengan sendirinya sadar bahwa mereka harus ambil bagian penting untuk memenuhi hasrat pemimpin baru China terhadap sepak bola.

Kemauan investasi para taipan lebih bernuansa politis. “Bukan sebuah kebetulan jika melihat 10 orang terkaya di China melakukan investasi ke bisnis sepak bola,” ujar Ruppet Hoogewerf dilansir Wall Street Journal. “Investasi ini bagus untuk kepentingan bisnis sebagai cara untuk menjaga hubungan dengan pemerintah. Ini seperti membangun jalur lobi khusus, tambah Hoogewerf.

Wang Jianglin, orang terkaya di China pemilik Dalian Wanda Group, menyumbang 80 juta dolar AS kepada Asosiasi Sepak Bola untuk program pembinaan usia dini pada 2011. Wanda Group menambahkan jumlah sumbangannya menjadi 200 juta dolar AS untuk program kerja selama 3 tahun. Pemilik Evergrande Real Estate Group, Xu Jiayin, menjadi konglomerat pertama yang mengantisipasi arah angin. Grup bisnis Evergrande menyumbang dana jutaan dolar AS untuk pembangunan lapangan bola dan akademi di pelosok negeri.

Para taipan juga nyebur langsung ke kompetisi CSL (Liga Super China) lewat akuisisi berbagai klub. Evergrande mengambil alih saham Guangzhou FC pada 2010, tak peduli seberapa mediokernya klub dengan riwayat keterlibatan dalam skandal judi dan pengaturan skor itu. Tahun 2014, Jack Ma membeli 50 persen Saham Guangzhou Evergrande.

Greenland Group membeli Shanghai FC, berbagi saham dengan perusahaan tambang pemerintah, Shenhua. Perusahaan elektronik, Suning, memiliki Jiangsu FC. Perusahaan real estate, Sinobo Land, memiliki 34 persen saham Beijing Guoan FC. Pada 2016, hampir seluruh klub CSL berganti nama sesuai perusahaan induk masing-masing.

Investasi jor joran para konglomerat membuat sepak bola China menjangkau lompatan baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Partai Komunis kemudian secara tidak langsung menginstruksikan para klub untuk menggaet pemain top dunia untuk datang bermain di China seperti tentara bayaran. Dengan dana melimpah, mudah saja para klub mendatangkan pemain-pemain internasional.

Arus kedatangan pemain Eropa diawali Didier Drogba dan Nicolas Anelka ke Shanghai SIPG pada tahun 2012. Kedatangan Drogba yang baru saja merengkuh Liga Champions 2012 bersama Chelsea membuat CSL mendadak jadi perbincangan seantero bumi. Namun, pengaruh transfer tidak instan. Drogba dan Anelka pergi setelah 6 bulan karena Shanghai Shenhua tak membayar upah sesuai janji.

Drogba (kiri) dan Anelka (kanan) pada sebuah pertandingan di Liga China. Foto: Wikimedia Commons.

Taipan baru mulai kalap menghabiskan pundi mereka untuk mendatangkan pemain Eropa pada 2016. Shanghai SIPG mendatangkan Hulk dari Zenit Saint Petersburg dengan banderol 55 juta euro. Guangzhou Evergrande memboyong Jackson Martinez dari Atletico Madrid dengan nilai transfer 42 juta euro dan Paulinho dari Tottenham Hotspurs senilai 42 juta euro.

Klub lain ikut kebakaran jenggot pada saat bersamaan. Jiangsu Suning memboyong Alex Teixeira yang banyak dilirik klub Eropa karena moncer bersama Shakhtar Donetsk, dengan mahar 48 juta Euro, bersamaan dengan Ramires dari Chelsea. Musim transfer 2016, klub-klub CSL menghabiskan 200 juta euro lebih hanya untuk belanja pemain Eropa.

China layaknya sebuah kabupaten untuk menyongsong pensiun dengan tenang, sekaligus tempat meraup pundi dibanding yang mereka raih selama mereka bermain di Eropa. Kapan lagi bisa dapat gaji sebesar itu tanpa diburu ambisi titel dan dicengkeram hujatan suporter?

Para pemain Eropa tertarik berlaga di CSL karena iming-iming gaji besar. Penyerang Italia Grazianno Pelle mendadak masuk daftar 5 besar pemain dengan gaji termahal usai pindah ke Shandong Luneng. Rekor pemain dengan gaji tertinggi pecah oleh kepindahan Carlos Tevez pindah ke Shanghai Shenhua pada 2017, dengan pendapatan 37 juta Euro per tahun. Belum lagi gaji Oscar dan Marko Arnautovic di Shanghai SIPG yang juga tak masuk akal.

Transfer jorjoran sempat memberi efek positif. Lewat belanja gila-gilaan, Guangzhou Evergrande jadi klub dengan valuasi tertinggi di dunia pada tahun 2016. Pada era gila-gilaan ini, China memiliki juara Liga Champions Asia berkat Guangzhou Evergrande di tahun 2015 (gelar kedua sepanjang sejarah klub itu). Bahkan klub papan tengah Beijing Sinobo Gouan FC punya valuasi lebih tinggi dibanding Atletico Madrid dan Inter Milan.

Seberapa jorjoran investasinya, bisnis akan selalu berhadapan dengan kalkulasi ekonomi. Jumlah penggila bola yang katanya begitu besar ternyata omong kosong para analis. Pada tahun 2019, rata-rata penjualan tiket pertandingan hanya mencapai 51 persen. CSL yang sempat terhenti akibat pandemi COVID-19 kembali dimulai pada September 2020 tanpa kehadiran penonton.

Ketiadaan pemasukan tiket membuat klub-klub CSL kedodoran. Belum lagi, pemodal klub ikut terdampak telak akibat pandemi. Bisnis manufaktur seperti Suning Group tertimpa musibah akibat lesunya pasar domestik dan ekspor.

Suning lantas mengambil langkah drastis. Mereka menutup segala unit usaha mereka yang tidak berkaitan dengan bisnis utama mereka, termasuk sepak bola. Alhasil, Jiangsu FC berhenti beroperasi. Suning sudah berusaha mencari pembeli baru, tetapi sejauh ini hasilnya masih nihil.

Tanpa kucuran dana, keikutsertaan mereka di kompetisi domestik dan Liga Champions Asia terancam. Banyak yang kemudian bertanya, bagaimana dengan nasib Internazionale Milan yang mayoritas sahamnya juga dimiliki grup Suning?

Namun, buat Jiangsu dan Suning sendiri, ada pertanyaan yang lebih penting: Dalam kondisi itu, mau ke mana lagi mereka mengadu?

Akhirnya, saat liga hendak mulai kembali tahun 2021, badai krisis finansial menghantam. 11 dari 64 klub sepak bola CSL dari berbagai divisi tidak lolos syarat administrasi karena laporan keuangan minus.

Presiden CSL, Chen Xunyuan, malah menyalahkan para klub yang berinvestasi tanpa memikirkan pemasukan. “Kami berharap klub dalam setiap jenjang kompetisi lebih memikirkan perencanaan jangka panjang, sehingga dapat memenuhi kewajiban terhadap pemain dan pelatih, demi mewujudkan keberlanjutan bisnis,” kata Chen seperti dilansir Xinhua.

Lho, yang menyuruh jorjoran siapa, yang disalahkan siapa?

Para taipan boleh saja berharap Pemerintah China bakal membantunya. Namun, watak pemerintah otoriter China tak mau disalahkan. Setiap protes dibungkam. Coba saja tengok bagaimana Huawei yang dituding jadi antek pemerintah China untuk melakukan spionase melalui produknya, dan menghilangnya Jack Ma selama tiga bulan usai mengkritik Partai Komunis.

Qi Peng, James Skinner, dan Barrie Houlihan lantas menulis demikian dalam jurnal akademik berjudul ‘An analysis of the Chinese Football Reform of 2015: why then and not earlier?’: “Secara khusus, sepak bola hanya digunakan sebagai usaha memenuhi hasrat politik dan ekonomi China, bukan sungguh-sungguh membangun kultur sepak bola di sana.”