Serba Nanggung ala Joachim Loew

Ilustrasi: Arif Utama.

Yang Joachim Loew ungkapkan usai kegagalan memalukan di Piala Dunia 2018 adalah perubahan. Kita melihat perubahan itu pada Euro 2020, tetapi perubahan yang serba nanggung.

Ada masa ketika Jerman begitu ditakuti. Masa-masa saat siapa saja bakal menyebut Jerman sebagai favorit, masa-masa saat banyak tim sudah merasa kalah bahkan sebelum laga bergulir, masa-masa saat semua turnamen bakal membuat Jerman melaju sampai jauh.

Sejak kegagalan memalukan di Euro 2004 hingga akhirnya menjuarai Piala Dunia 2014, tak sekalipun Jerman gagal menembus semifinal.

Semua tahu penyebabnya adalah perubahan total yang mereka usung. Karena kegagalan yang mendera, Jerman merombak sistem mereka. Dampaknya, bakat-bakat baru bermunculan. Mereka adalah generasi baru Jerman, para pemain yang didukung infrastruktur mumpuni dan para pelatih jempolan.

Saking konsistennya performa itu, orang-orang lebih sering menyimpulkannya secara sederhana namun sangat powerful: Karena mereka Jerman. Tapi yang terjadi tiga tahun lalu adalah kejutan. Pada Piala Dunia Rusia, mereka justru menanggung malu.

Usai dihajar Meksiko lewat satu serangan balik mematikan dan harus berdarah-darah menghadapi Swedia yang hingga 90 menit sulit sekali dikalahkan, Jerman juga terpaksa tertunduk lesu di hadapan puluhan ribu penonton Kazan. Kali ini dari Korea Selatan.

Mereka terpaksa pulang lebih dulu dengan hanya mampu meraih tiga poin. Rinciannya, satu kali menang, dua kali kalah, mencetak dua gol dan kebobolan tiga gol. Posisi mereka? Juru kunci. Sebuah cara tersingkir yang sangat pantas diolok-olok.

Kegagalan itu memicu rencana perubahan. Idenya, sebagaimana yang berulang kali diungkapkan pelatih Joachim Loew, adalah meremajakan skuad. Nama-nama belia bakal ia jadikan tumpuan, sedangkan mereka yang dianggap tua dan usang bakal ditinggallkan.

Lantas, kamu sering melihat nama-nama seperti Kai Havertz, Timo Werner, Antonio Ruediger, Leroy Sane, Serge Gnabry, dan sebagainya menghiasi skuad Jerman. Hanya sedikit pemain senior tersisa. Loew bahkan ‘memaksa’ Thomas Mueller, Mats Hummels, dan Jerome Boateng pensiun lebih cepat.

Perubahan lainnya: Loew ingin mengembalikan Jerman seperti sedia kala.

Ketika hancur lebur di Rusia, salah satu masalah Jerman adalah hilangnya kecepatan. Jerman terlalu fokus pada penguasaan bola, serangan mereka melambat, lini belakang rawan. Rata-rata penguasaan bola mereka mencapai 65,3%. Angka ini naik drastis ketimbang saat mereka jadi juara dunia.

Eks pemain Jerman, Hans Peter Briegel, menilai kondisi ini kala itu ada kaitannya dengan kedatangan Pep Guardiola di Bayern Muenchen. Sejak Pep melatih Bayern, ia menganggap Jerman yang memang didominasi para pemain Bayern terlalu obsesif pada penguasaan bola.

“Prinsip dasar sepakbola telah hilang dari cara pikir Jerman, bahwa di sepakbola, hasil akhir lebih penting ketimbang menguasai laga. Perubahan ini muncul setelah Guardiola datang ke Bayern,” kata Briegel.

“Dia menciptakan ilusi bahwa untuk memenangi laga, bola harus dikuasai selama mungkin. Akan tetapi, banyak menguasai bola tidak menjamin sebuah tim meraih kemenangan. Lihatlah Prancis. Di Piala Dunia 2018, meski tak banyak menguasai bola, mereka bisa menjadi juara.”

Boleh jadi anggapan Briegel benar. Namun, siapa Guardiola sampai-sampai bisa memengaruhi cara main Jerman?

Yang mestinya bertanggung jawab atas semua itu adalah peletak sistemnya dan dia adalah Loew. Lagi pula, pada 2015 Loew pernah berkata bahwa dia sengaja meniru beberapa hal dari sistem Guardiola. Jadi ini tak ujug-ujug muncul karena Guardiola menjadi pelatih Bayern.

Sistem itulah yang ingin Loew ubah pascakegagalan di Rusia. Dia ingin menghapus sistem sebelumnya dan mengembalikan kecepatan, determinasi, dan efektivitas Jerman. Nama-nama pemain yang dia panggil sekaligus yang dia tepikan semakin memperkuat keinginan tersebut.

Hasil yang mula-mula diraih tak memuaskan tetapi perubahan itu nyata adanya. Saat bermain imbang 2–2 dengan Belanda, misalnya, Jerman kerap menciptakan peluang terbuka lewat permainan yang cepat dan mematikan dengan trio Timo Werner, Leroy Sane, dan Serge Gnabry di lini depan.

Yang membuatnya terlihat buruk, Loew tampak setengah-setengah. Jerman memang berubah, tetapi semuanya terasa nanggung. Mereka bisa terlihat sangat cepat pada laga tertentu, tetapi tampak lamban di laga lain. Alih-alih wujud variasi, ini lebih seperti Loew yang tak terlalu yakin dengan ide-idenya.

Menurut Raphael Honigstein di The Athletic, Loew memang punya kecenderungan menganggap timnya lemah saat melawan tim-tim tertentu. Maka, alih-alih fokus pada apa yang dibawa, ia lebih sering menyesuaikan diri dengan lawan. Ini bahkan sudah terlihat sejak jauh sebelumnya.

Honigstein mengambil beberapa laga penting sebagai contoh. Kala melawan Italia di Euro 2012, Loew menggantikan Marco Reus dengan Toni Kroos untuk membayangi pergerakan Andrea Pirlo. Ini bikin serangan mereka tumpul. Di sisi lain, upaya mengantisipasi Pirlo juga tak berhasil.

Konon, usai laga yang berujung kekalahan tersebut, publik Jerman sudah tak yakin lagi kepada Loew. Ini diperkuat pada fakta bahwa Loew sudah menukangi Jerman selama enam tahun. Untung buat Loew, gelar Piala Konfederasi dan Piala Dunia 2018 membuat namanya kembali relevan.

Meski demikian, raihan gelar juara tersebut juga diiringi dengan bukti soal betapa tak yakinnya Loew pada diri sendiri. Salah satunya terlihat dari upaya Loew menurunkan empat bek tengah sekaligus dan ketika dia mengubah posisi Philip Lahm sebagai gelandang.

Keputusan Loew untuk kembali memanggil Mueller dan Hummels di Euro 2020 juga membuktikan hal tersebut. Tentu, pemanggilan ini sangat masuk akal mengingat performa yang keduanya tunjukkan musim lalu. Lagi pula Jerman memang membutuhkan mereka.

Namun, keputusan itu relatif terlambat. Nama Mueller dan Hummels baru masuk kurang dari sebulan sebelum Euro bergulir. Semakin jadi masalah karena Jerman sedang dalam fase "berubah". Terlebih, Mueller tak terbiasa bermain dalam 3–4–3, skema yang belakangan sering Jerman gunakan.

Kita akhirnya seperti melihat Jerman yang sama dengan Jerman yang hancur lebur di Rusia tiga tahun lalu. Laga perdana Euro 2020 jadi bukti. Melawan Perancis, Jerman dominan dalam penguasaan bola, tetapi sangat lamban dan memiliki lini belakang yang gampang ditembus. Jerman kalah 0–1.

Tentu, perjalanan mereka belum usai. Masih ada Portugal dan Hongaria yang bakal mereka hadapi. Namun, jika akhirnya tetap sama, rasa-rasanya kita tak perlu kaget lagi.