Soal Angka, Soal Kontrol

Dalam hidup dan sepak bola, kita tak pernah benar-benar bisa memprediksi hasil akhir dengan angka-angka, dengan kontrol yang kita punya.

Hidup tak bisa dihitung dan kita adalah pengukur yang buruk. Sekuat apa pun kau berlagak sebagai prediktor ulung, percaya pada angka-angka yang mengelilingimu, hidup selalu mengingatkan bahwa sebenarnya kita tak mampu mengontrol hasil akhir.

Saat kau percaya bahwa kau akan mendapat promosi setelah rapor-rapor di KPI-mu menunjukkan angka hijau, bulan depan kau bisa saja kena PHK.

Saat kau percaya bahwa dia adalah orangnya seiring dengan meningkatnya jumlah karakter pada pesan-pesan yang ia kirimkan padamu, minggu depan kau bisa tak mendengar kabar darinya lagi.

Saat kau percaya bahwa tabunganmu akan cukup untuk membawamu jalan-jalan ke luar negeri tahun depan, inflasi tiba-tiba menghujam dan kau harus mengencangkan ikat pinggang untuk bertahan.

Saat kau percaya bahwa kau bisa memenangkan pertandingan karena kau mendominasi penguasaan bola dan menciptakan peluang lebih banyak, peluit akhir laga bisa menunjukkan bahwa kau tak bisa membawa pulang poin.

Akhir pekan terakhir membuat saya bertanya-tanya: Bagaimana kalau kita sebenarnya tak benar-benar mengontrol sesuatu? Bahwa angka-angka yang kita catat, ukir, dan percayai mampu membawa kita terbang tinggi nyatanya tak membawa kita ke mana-mana?

Dan sepak bola selalu menjadi contoh paling baik, karena pertanyaan itu hadir setelah saya menyaksikan dua pertandingan yang benar-benar mengejawantahkan apa yang saya tulis pada paragraf-paragraf di atas.

Pertama, laga Aston Villa vs Arsenal. Di Villa Park malam itu, Arsenal unggul dalam berbagai hal kecuali satu: Jumlah gol. Mereka unggul dalam hal penguasaan bola, jumlah tembakan, xG, sampai penciptaan peluang. Namun, itu semua tak penting. Yang terpenting hanya satu: Hasil akhir.

Di linimasa Twitter (atau X, terserah), banyak yang bilang bahwa Arsenal hanya kalah beruntung saja. Sesuatu yang diamini oleh Mikel Arteta yang menyebut bahwa Arsenal-nya adalah tim yang lebih baik malam itu.

Kita acap kali menjadi Arteta: Hanya melihat apa yang kita miliki, percaya bahwa itu akan mengantarkan kita ke titik yang kita mau, tanpa melihat bahwa hal-hal di sekitar juga akan memengaruhi perjalanan tersebut.

Arteta dalam konferensi pers sebenarnya sudah menegasikan dirinya sendiri. Ia menyebut bahwa Arsenal menyerang ke arah yang tak seharusnya. Komentar itu, sejatinya, adalah bentuk bahwa Arteta juga bisa melihat ke sisi lain: Bahwa Villa-lah yang bermain lebih baik karena mampu membuat permainan Arsenal tak ke arah yang mereka mau.

Bahwa pada pertandingan tersebut Arsenal mencatatkan akurasi umpan ke kotak penalti terburuk dibanding lima pertandingan sebelumnya, mencatatkan jumlah sentuhan paling sedikit kedua dalam periode yang sama, juga mencatatkan tembakan paling sedikit dari dalam kotak penalti. Itu semua adalah fakta bahwa mereka bukan tim yang lebih baik.

Tim yang lebih baik selalu mampu mencetak gol lebih banyak karena mereka berhasil mengarahkan permainan lawan ke arah yang mereka inginkan, membuat lawan melakukan apa yang mereka mau. Dan Villa-lah yang melakukannya pada laga tersebut.

Pada hari berikutnya giliran pertandingan Barcelona vs Girona yang menunjukkan hal serupa. Angka-angka yang diukir Barcelona lebih banyak kecuali pada satu hal: Papan skor. Barcelona unggul dalam hal penguasaan bola, jumlah tembakan, xG, tapi hanya mampu mencetak dua gol berbanding empat miliki Girona.

Selepas laga, Xavi berkata bahwa pertandingan itu sejatinya berada di tangan Barcelona. Ia bilang bahwa Barcelona mengontrol lebih banyak hal ketimbang Girona, bermain baik, mencatatkan peluang yang banyak, tapi hanya tak mampu menyelesaikannya dengan efektif.

Xavi menunjukkan sisi manusianya. Seperti kebanyakan dari kita, ia adalah penghitung yang buruk. Bahwa angka-angka yang ia punya sejatinya tak berarti apa-apa. 31 tembakan yang dilepas Barcelona malam itu tak akan diingat siapa pun, kecuali dua yang akhirnya bersarang di gawang Girona.

Berbagai hal yang Barcelona ukir di malam itu sama sekali tak ada artinya, karena selain mencetak lebih banyak gol, Girona sejatinya melakukan apa yang mereka inginkan dari Barcelona. Pasukan Michel membuat anak-anak asuh Xavi terlena dengan penguasaan bola dan garis pertahanan tinggi, untuk kemudian memanfaatkan itu dengan serangan direct.

Tim yang lebih baik akan selalu tau bagaimana caranya memanfaatkan kelemahan lawan mereka, dan itu jelas bukan Barcelona. Justru Girona yang tau bagaimana caranya meloloskan diri dari pressing Barcelona, harus menyerang ke arah mana, harus menyelesaikan peluang-peluang mereka dengan cara seperti apa.

Dalam hidup dan sepak bola, kita tak pernah benar-benar bisa memprediksi hasil akhir dengan angka-angka yang kita punya. Persetan penguasaan bola, persetan jumlah xG, hasil akhir tak ada yang tau. Yang bisa kita lakukan mungkin hanyalah menjadi Pep Guardiola. Iya, Guardiola si “control freak itu”.

Bukan, ini bukan soal bagaimana ia selama bertahun-tahun menyesuaikan permainan timnya agar ia mampu mengontrol hal-hal yang sebelumnya gagal ia kontrol. Bukan soal inovasinya akan shape 2-3-5, inverted full-back, atau overlapping center-back. Bukan.

Ini soal komentarnya setelah laga vs Aston Villa. Bahwa Guardiola, yang selama lebih dari satu dekade terakhir menunjukkan filosofinya dominannya, memulai konferensi pers dengan dua kalimat ini.

“Tim yang lebih baik menang. Aston Villa mengontrol lebih banyak hal pada pertandingan ini daripada kami (City).”

Saya tahu bahwa ketika mengeluarkan dua kalimat itu City-nya memang tak hanya kalah secara skor, tapi juga soal jumlah tembakan dan xG. City di malam itu hanya dominan dalam hal penguasaan bola, dengan penciptaan peluang emas yang sama jumlahnya dengan apa yang ditorehkan Villa.

Namun, ini Guardiola. Orang yang bertahun-tahun percaya bahwa semakin tinggi angka penguasaan bola, maka semakin rendah peluang untuk kalah. Orang yang selalu membawa timnya dominan di berbagai tabel statistik, orang yang gila akan kontrol. Ia adalah pelatih yang punya hak untuk bertingkah atau berbicara lebih superior soal kontrol, tapi ia mulai paham kapan harus melupakan angka-angka di sekelilingnya.

Saya lantas terhentak mendengar itu. Sebab ini bukan hanya soal kita harus bisa mengakui kekalahan. Ini adalah soal bagaimana kita mampu menyadari bahwa angka-angka yang kita ukir adalah fana. Bagaimanapun jalan yang kita tempuh bersama angka-angka itu, sekuat apa pun kita mengukurnya, kita tak pernah bisa menebak hasil akhir.