Solusi dari Moise Kean

Foto: Twitter @Juventusfcen.

Juventus lebih memilih mendatangkan Moise Kean ketimbang gelandang kreatif pada deadline day bursa transfer musim panas. Mengapa?

Rumah adalah tempat untuk kita kembali, dan senyaman-nyamannya tempat adalah rumah kita sendiri. 'Rumah' dan 'kembali' jadi tajuk yang pas untuk bursa transfer musim panas 2021/22.

Beberapa pemain kembali ke "rumahnya" setelah sekian lama merantau. 'Romelu Lukaku Comes Home' begitu judul di situsweb resmi Chelsea untuk mengumumkan kembalinya Lukaku. Setelah tujuh tahun berkelana, Lukaku kembali membela Chelsea. Tak tanggung, The Blues harus mengeluarkan uang sebesar 115 juta euro untuk membawa Lukaku pulang dari Inter Milan.

Bukan cuma Lukaku saja yang kembali "pulang". Cristiano Ronaldo juga kembali ke Manchester United di bursa transfer musim panas ini. Lewat saga yang gila—karena sempat ditawarkan ke Man City—Ronaldo kembali akan mengenakan seragam merah khas Man United usai didatangkan dari Juventus.

"Saya memiliki sejarah yang fantastis dengan Manchester United. Tentu saja saya senang kembali ke rumah setelah 12 tahun. Saya benar-benar senang dan antusias bermain di laga pertama nanti," ucap Ronaldo dalam wawancara pertamanya usai diperkenalkan Man United.

Menariknya, Juventus juga memulangkan pemain untuk menggantikan posisi Ronaldo. Pada hari terakhir bursa transfer, Juventus meminjam Moise Kean dari Everton selama dua tahun dan memiliki kewajiban mempermanenkan pada 2023.

Juventus adalah rumah Moise Kean. Sejak usia 10 tahun, Kean menghabiskan waktu bermain sepak bola di tim akademi Juventus. Pada sebuah wawancara, awal tahun 2021, Kean mengaku tidak pernah menginginkan pergi dari Juventus sejak awal. Namun, jalan nasibnya berkata lain.

Ketika perantauannya tidak berjalan dengan mulus, tidak ada pilihan lain baginya untuk menerima pinangan dari rumah yang selalu ia cintai.

***

Kean kecil bukan seorang Juventini. Ia, ironisnya, malah lebih mengidolai Inter ketimbang 'Si Nyonya Tua'. Alasannya jelas, Kean ngefans dengan penyerang Inter kala itu, Obafemi Martins.

"Tim favorit anakku adalah Inter dan dia selalu memintaku untuk membelikannya jersi Inter dengan nama punggung Martins," Cerita Biorou Jean, ayah dari Moise Kean, kepada Radio Uno.

Yang bikin kisah Kean kecil makin menarik, ia mengawali karier sepak bolanya di level junior bersama Torino—rival sekota Juventus. Pada usia tujuh tahun Kean menjalani trial dan lolos untuk masuk akademi Torino.

Saat Kean harus mendapatkan kontrak baru dengan Torino, ia menolaknya. Menyeberang ke Juventus adalah jalan yang dipilih pemuda 21 tahun yang lahir pada 28 Februari tersebut. Pilihan yang berani mengingat usianya yang masing sangat muda ketika itu.

Setapak demi setapak, Kean menjalani karier bersama tim Juventus muda. Pencapaiannya memang cukup gemilang. Deretan gol demi gol ia bukukan hingga berhasil menjadi top skor Campionato Under 17 finals pada musim 2015/16.

Lewat kegemilangannya itu, Kean akhirnya mendapat kontrak profesional oleh Juventus pada tahun 2016 ketika ia baru berusia 16 tahun. Usai mendapatkan kontrak profesional, Kean memperoleh kesempatan debut bersama Juventus. Menghadapi Pescara di Allianz Stadium, 19 September 2016, Kean dimainkan Massimiliano Allegri pada menit ke-84 menggantikan Mario Mandzukic.

Tiga hari berselang Kean kembali dipercaya tampil. Kali ini ajangnya lebih besar, yakni Liga Champions. Pemain keturunan Pantai Gading itu gantian turun lapangan menggantikan Miralem Pjanic.

Bagi Kean, pengalaman-pengalaman pada musim perdana bersama tim senior itu begitu berharga meskipun sedikit. Ia tak memberikan banyak impak selain catatan 4 penampilan dari berbagai ajang dan sebuah gol. Maka, yang menjadi jalannya berikutnya adalah mengasah diri pada peminjaman di Hellas Verona.

Bersama Verona, Kean tampil dalam 19 pertandingan di Serie A dan mencetak 4 gol. Untuk ukuran pemain yang bahkan belum berusia 20 tahun, ini adalah pencapaian yang relatif bagus. 

Dengan performa semenjanjikan itu, Kean pulang ke Juventus hanya untuk satu musim. Setelah 17 pertandingan dan 7 gol dari berbagai ajang, Bianconeri melepasnya ke Everton. Bagi Kean, ini adalah awal dari sebuah bencana.

Bagi pemuda 19 tahun yang belum pernah pergi merantau dan jauh meninggalkan rumah, ini adalah persoalan sulit. Kean sendiri mengaku di kemudian hari bahwa ia tidak pernah ingin meniggalkan Juventus.

"Sejujurnya, saya agak kecewa. Juve memberikan saya segalanya; saya tumbuh di sana. Jika bukan karena mereka, saya tidak akan bisa seperti sekarang. Tapi, saya kemudian menyadari bahwa memang beginilah kehidupan seorang pemain sepak bola dan saya sudah berdamai dengan itu," kata Kean kepada La Gazzetta dello Sport pada awal 2021.

Juventus menjual Kean karena keterpaksaan. Setelah gagal meraih trofi Liga Champions pada musim sebelumnya, mereka mesti menyeimbangkan pembukuan. Gaji Ronaldo, plus kedatangan Matthijs de Ligt pada awal musim 2019/20 dengan banderol 75 juta euro, membuat Fabio Paratici, yang waktu itu masih menjabat sebagai Chief Football Officer Juventus, mesti menjual pemain. Kean sendiri laku dengan harga 27,5 juta euro.

Everton memang sempat berjanji untuk menjaga Kean. Sayang, yang terjadi pada kenyataannya tidak seperti itu. Setelah pemecatan pelatih The Toffees waktu itu, Marco Silva, situasi memburuk buat Kean. Pelatih interim pengganti Silva, Duncan Ferguson, sama sekali tidak berfokus pada pengembangan pemain, melainkan hasil. Kean, yang belum kerasan di Inggris, hidup dalam kebimbangan.

Karena cuma memikirkan hasil, Ferguson jarang memikirkan dampak dari keputusan-keputusannya terhadap pemain. Pada sebuah pertandingan, ia memasukkan Kean sebagai pemain pengganti pada babak kedua. Namun, sebelum pertandingan beres, ia sudah menarik Kean lagi. Alasannya? Hanya untuk membuang-buang waktu.

Bagi Ferguson, itu mungkin persoalan biasa. Namun, bagi Kean, itu membunuh kepercayaan dirinya. Setelah menjalani satu musim penuh bersama Everton, ia dipinjamkan ke Paris Saint-Germain pada 2021/22. Di sana, Kean menemukan hidupnya kembali.

Ia memang tidak menjadi protagonis di dalam skuad sang raksasa Paris. Namun, Kean memperlihatkan bahwa ia bisa menjadi salah satu opsi yang bagus di lini depan.  Kehadiran Kean seakan melengkapi keberadaan Neymar dan Kylian Mbappe.



"Saya bekerja dengan pemain-pemain hebat di PSG. Saya sudah belajar banyak dan akan memberikan penampilan yang maksimal bersama Juventus," ucap Kean kepada Rai Sport.

Di PSG, Kean menunjukkan bahwa ia bisa memaksimalkan peluang sejelek apa pun menjadi gol. Ini terlihat dari torehan 13 golnya di Ligue 1 dari xG yang "hanya" 10,7. Artinya, dari kualitas peluang yang dimiliki, Kean semestinya hanya mencetak sekitar 10 gol. Namun, nyatanya, ia melebihi itu.

Ada beberapa alasan mengapa Kean menjadi salah satu anggotas skuad yang cukup berharga untuk PSG pada musim kemarin. Pertama, ia cepat dan dinamis. Kedua, sebagai pemain depan, ia juga bisa mengisi pos winger.

Ketika bermain sebagai winger, Kean bisa mendapatkan ruang yang lebih untuk mengeksplor kemampuan dribelnya. Ini ia perlihatkan ketika memperkuat Italia pada laga melawan Lithuania di kualifikasi Piala Dunia 2022, 9 September 2021. Kean cuma lima kali menyentuh bola di dalam kotak penalti. Akan tetapi, ia berhasil membuat dua gol dari dalam kotak 16.

Kotak penalti memang bukan area yang akan sering ditempati Kean. Ia lebih memilih untuk turun menciptakan ruang dan memberikan opsi umpan untuk para gelandang. Pada musim lalu, Kean 281 kali menyentuh bola di sepertiga akhir pertahanan lawan. Dengan pergerakan ini, ia menciptakan ruang untuk Neymar atau Mbappe agar leluasa masuk ke kotak penalti lawan.

Jika bisa mempertahankan konsistensi permainan, Kean bisa menjadi aset yang sama berharganya untuk Juventus. Dalam pola 4-3-1-2 yang biasa dimainkan Allegri, Kean kemungkinan bakal digunakan sebagai penyerang pendamping Federico Chiesa atau Alvaro Morata. Mengingat Kean adalah pemain yang bisa bergerak secara dinamis, seperti halnya Chiesa atau Morata, semestinya lini depan Juventus bisa menjadi lebih cair.

Persoalan untuk Juventus tinggal perkara kreativitas. Salah satu solusi yang paling masuk akal adalah memberikan role Paulo Dybala sebagai trequartista. Lewat kemampuannya dalam melepaskan umpan, Dybala dipercaya mampu menjadi kreator serangan Juventus. Selain itu, ia juga bisa mengkreasikan peluang sendiri mengingat kemampuannya dalam melepaskan tembakan juga bagus.

Oleh karena itu, Dybala tak perlu lagi dibebani untuk berada di depan atau kotak penalti lawan. Ia akan bergerak bebas di tengah dan memberikan pasokan bola kepada Kean atau penyerang Juventus lainnya.