Sore itu, Weserstadion Jadi Milik Alonso dan Leverkusen

Foto: Twitter Bayer Leverkusen.

Mendengar Xabi Alonso berbicara soal taktik, melihat para pemainnya mengejawantahkan ide itu di atas lapangan: Leverkusen memang berbahaya.

Weserstadion adalah stadion yang cantik. Ia seperti berada di sebuah lembah, karena posisinya yang lebih rendah dari jalan raya. Perlu menuruni beberapa anak tangga untuk bisa masuk ke dalam areanya. Banyak area hijau di sekeliling, dan stadion ini juga berada di sebelah sungai Weser yang membelah Bremen.

Empat tower lampu yang berada di tiap sudut stadion lantas membuatnya terlihat begitu ikonik. Sebagaimana wilayah Bremen itu sendiri, stadion ini tak besar. Hanya berkapasitas 42 ribuan penonton saja. Namun, itu cukup membuat stadion ini terdengar berisik.

Weserstadion hampir selalu penuh tiap pekannya. Ultras yang berada di tribune berdiri belakang gawang tak pernah berhenti berjingkrak, bernyanyi. Saat anthem klub didengungkan, seluruh stadion kompak sumbang suara. Kapan saja dibutuhkan, suporter akan selalu siap untuk membuat stadion bergemuruh.

Sayangnya, Bremen sendiri tak selalu mampu membalas gemuruh suporter mereka dengan kemenangan. Setidaknya itu yang terjadi saat mereka menjamu Bayer Leverkusen akhir pekan kemarin.

***

Xabi Alonso adalah pelatih yang ekspresif di pinggir lapangan. 90 menit saya memerhatikan, ia sangat jarang duduk. Alonso lebih memilih berdiri, meneriaki pemainnya, memberi instruksi. Terkadang ia berteriak agar pemainnya cepat mengatur posisi, terkadang ia meminta pemainnya untuk menekan lawan, terkadang ia meminta pemainnya cepat melakukan switch.

Sore itu, ia terlihat jauh lebih ekspresif ketimbang Ole Werner yang berada di sisi sebelahnya. Padahal, sepanjang laga tim asuhan Alonso mendominasi. Terlihat tak perlu banyak perbaikan. Leverkusen sudah unggul 1-0 saat laga baru berjalan sembilan menit. Permainan mereka membuat tuan rumah sulit mengembangkan permainan.

Leverkusen akhirnya menang 3-0 dan, selepas laga, Alonso bicara soal kontrol itu di konferensi pers. Ia juga memberikan kredit karena anak asuhnya berhasil menjalankan instruksi dan bermain sesuai plan yang diinginkan.

Kontrol yang dimaksud tentu tercipta lewat pola 3-4-2-1 favoritnya. Pola yang jadi bahan perbincangan karena begitu cair, begitu direct, dan begitu mematikan. Pola yang membuat Alonso dipuji di mana-mana. Dan setelah melihat bagaimana Leverkusen bermain dengan mata kepala sendiri, rasanya saya sepakat dengan setiap pujian yang ada.

Leverkusen benar-benar terlihat seperti tim yang dilatih dengan amat baik. Semuanya on point, mendetail. Saya melihat bagaimana 10 pemain outfield Leverkusen menjaga jarak mereka agar selalu rapat satu sama lain supaya sirkulasi bola berjalan mulus. Saya melihat bagaimana pemain mereka konstan bergerak mengatur posisi agar berada di posisi yang bagus untuk menerima umpan.

Leverkusen tak segan untuk bermain di ruang sempit, karena tau mereka akan dengan mudah meloloskan diri lewat umpan cepat dan pergerakan dinamis. Mereka berani menyerang lewat tengah meski dikepung lawan. Mereka berani melakukan switch dari kiri ke kanan dengan cepat supaya mendapatkan bola di ruang kosong.

Saat tak menguasai bola, mereka berusaha untuk bisa tetap rapat untuk meminimalisir ruang buat lawan. Dalam laga vs Werder itu, saya juga melihat bagaimana Leverkusen mencoba menghentikan aliran bola tuan rumah dengan melakukan overload di tengah. Acap kali situasi 5 vs 2 tercipta buat keunggulan Leverkusen.

Saya bertanya kepada Alonso soal itu. Soal caranya menghentikan Bremen dengan kontrol yang sebelumnya ia sebutkan. “Bremen memiliki ide yang sangat jelas, mereka memiliki kualitas. Mereka punya kontrol dengan gerakan-gerakan mereka, bagaimana mereka mengalirkan bola ke dua strikernya lewat tiga gelandang mereka, bahkan terkadang Mitchell Weiser masuk (dari samping) ke dalam (area tengah),” buka Alonso.

“Kami tahu, terutama tentang bagaimana mereka mengumpan dengan bola pendek dalam jarak 30 meter, adalah sesuatu yang spesial dari Bremen. Dan kami tahu jika kami tidak menutup jalur tengah untuk mengarahkan (serangan Bremen) ke tepi, kami akan punya problem di antara dua sisi ini (tengah dan tepi).”

“Itu menjadi topik yang penting bagi kami dalam bertahan, dalam mendapatkan kontrol yang lebih baik. Jadi jika mereka menggeser bola ke tepi, kami bisa menggeser garis pertahanan dengan cepat dan membuatnya lebih tinggi (untuk menekan Bremen). Karena kualitas mereka itulah kami harus bisa beradaptasi, dan kami melakukannya dengan baik,” tutupnya.

Ya, Alonso menjawab satu pertanyaan saya soal taktik dengan sangat mendetail. Saya mendengar, langsung maupun via rekaman, banyak pelatih menjawab pertanyaan soal taktik dan tak semua mau menjawab dengan detail. Banyak yang lebih memilih menjawab dengan kalimat-kalimat normatif saja.

Namun, Alonso mau menjelaskan. Dan ini jelas menunjukkan bahwa ia memang merupakan sosok yang detail, juga sosok yang memiliki ide yang jelas. Ide yang kemudian berubah menjadi identitas tim. Identitas yang lantas membawa Leverkusen terbang tinggi, memimpin klasemen Bundesliga sampai saat ini.

***

Di atas lapangan sore itu, Granit Xhaka memimpin pasukan Leverkusen untuk mengejewantahkan ide-ide Alonso. Ide-ide yang diterapkan saat latihan, yang dibicarakan dalam meeting-meeting tim, menjadi aksi nyata dalam pertandingan. Ide yang membuat mereka membawa pulang tiga poin.

Xhaka jantung Leverkusen. Pusat permainan, penyambung lini belakang dengan lini depan. Ia harus berada di jalur manapun Leverkusen mau mengarahkan serangan. Xhaka menyentuh bola 130 kali di laga itu, meski ia ditarik keluar pada menit 89. Saya melihatnya selalu menempatkan diri untuk menjadi opsi umpan buat rekan-rekannya.

Padahal, sepanjang laga ia acap dijaga ketat oleh pemain Bremen, Jens Stage. Akan tetapi, Xhaka selalu mampu meloloskan diri. Ia juga mencatat 92% akurasi umpan sukses, dengan 100% untuk akurasi umpan panjang. Mantan pemain Arsenal ini juga mencatat sembilan recoveries, bukti bahwa ia juga bekerja keras untuk memastikan aliran bola Bremen menjadi pampat.

Saya lantas ingin mendengar dari mulut Xhaka, sebagai jantung permainan tim, soal bagaimana identitas Leverkusen ini dibentuk. Soal bagaimana para pemain menyerap ide Alonso dan kemudian mengejawantahkannya di atas lapangan.

“Inilah yang kami latih setiap hari. Kamu bisa melihat bagaimana struktur kami, kamu bisa melihat bagaimana (jelasnya) plan kami, bagaimana pentingnya struktur kami saat dengan bola, atau saat tanpa bola. (Bermain di bawah Xabi) membuat setiap pemain yang ada di lapangan tau apa yang harus mereka lakukan,” kata Xhaka kepada saya.

Ia juga berbicara soal pertandingan, bagaimana ia merasa satu hal yang penting dalam kemenangan atas Bremen adalah bagaimana Leverkusen bisa mencatatkan nirbobol, meminimalisir lawan untuk mencetak gol. “Selalu tidak mudah untuk bermain di sini, tentu kami sangat senang dengan hasil 3-0 ini,” tambahnya.

***

Bremen memang tak terlalu konsisten musim ini. Mereka tertahan di posisi 12 dan hanya meraih satu kemenangan dalam enam laga terakhir. Tiga laga kandang terakhir mereka tak berakhir dengan tiga poin. Ketajaman juga berkurang seiring dengan kepergian Niclas Füllkrug, top-skorer mereka musim lalu.

Namun, seperti yang dikatakan Alonso, Bremen memiliki ide yang jelas dan kualitas untuk bisa mendapatkan hasil yang lebih baik lagi di sisa musim ini. Sore itu mereka memang keok 0-3, tapi kekalahan itu ditelan melawan tim terbaik liga saat ini. Melawan tim yang punya sistem yang belum mampu dirusak dan dipecahkan oleh tim manapun musim ini.