Spirit Aliou Cisse

Foto: @footballsenegal.

Aliou Cisse bukan hanya berhasil menuntaskan dendam masa lalunya, tetapi juga membangun kesebelasan Senegal terbaik yang pernah ada.

Pria berambut gimbal itu menerima trofi dari Kalidou Koulibaly, melihatnya dengan seksama kemudian memutar-mutarnya. Setelahnya dia mempersilakan Koulibaly membawakan trofi itu ke rekan-rekan setimnya yang sudah berkumpul di podium. Yang dilakukan pria itu adalah memandang dari kejauhan, sambil mengenang betapa panjangnya penantian Senegal menjadi raja Afrika. Ialah nakhoda sekaligus kapten generasi emas pertama “Singa Teranga”, Aliou Cisse.

Jauh sebelum sekarang, Cisse sudah mencicipi betul rasanya menjadi gagal. Fragmen itu tercipta gelaran Piala Afrika 2002. Senegal, yang kala itu diperkuat El Hadji Diouf, Khalilou Fadiga, Henri Camara, Papa Bouba Diop, dan Salif Diao, kandas di babak final. Mereka keok dari Kamerun melalui babak adu penalti. Yang paling menyakitkan adalah kekalahan itu berasal dari Cisse. Dia gagal menyelesaikan tugasnya sebagai penendang kelima.

Ada raut kegugupan sebelum melakukan eksekusi. Cisse memutar badannya perlahan sambil melihat para penonton. Sama sekali tak menatap kiper Kamerun, Alioum Boukar. Boom! Sepakannya mengarah ke kaki Boukar. Papan skor menunjuk angka 2-3 untuk Kamerun. Mereka ditahbiskan sebagai juara tanpa perlu menunggu penendang kelimanya.

Sementara seluruh pemain Kamerun bersorak girang, Cisse menangis tersungkur di lapangan. Hampir seluruh pemain Senegal melakukan hal serupa. “Dia merasa gagal—seperti yang kami semua lakukan,” ucap Alassane N’Dour kepada The Athletic. “Seluruh Senegal hancur. Itu sangat sulit untuk dicerna, tetapi itulah sepak bola.”

Senegal tidak seperti Mesir, Kamerun, Ghana, atau Nigeria yang punya tradisi kuat. Cuma 6 kali mereka mentas dari total 33 edisi Piala Afrika. Periode 1965 menjadi yang pertama. Di sana Senegal hanya finis di urutan keempat. Well, bukan pencapaian yang buruk untuk negara yang baru berusia 5 tahun. Namun, pencapaian ini tak diiringi dengan progres. Senegal gagal tampil di delapan edisi beruntun.

Piala Afrika 1992 menjadi kesempatan besar buat Senegal. Mereka didaulat menjadi tuan rumah. Ini semestinya membuat tugas mereka sedikit lebih mudah. Namun, kenyataannya tidak. Senegal lagi-lagi finis di peringkat keempat. Sampai akhirnya Senegal bisa melaju jauh ke final edisi 2002 dan mereka menyia-nyiakannya. Itu adalah kegagalan yang teramat mahal. Kapan lagi mereka bisa begitu dekat dengan gelar juara?

Cerita haru itu sedikit terbayarkan tiga bulan setelah final Piala Afrika itu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Senegal mentas di Piala Dunia dan muncul sebagai tim kejutan. Prancis sang juara bertahan mereka jungkalkan. Denmark dan Uruguay ditahan imbang. Di klasemen akhir Grup A, Senegal finis sebagai runner-up dan lolos ke babak 16 besar—sekaligus menjadi satu-satunya utusan Afrika yang lolos.

Di fase gugur, giliran Swedia korbannya. Camara menyumbang gol kemenangan Senegal. Satu di babak pertama, dan sisanya di menit tambahan. FYI, waktu itu Piala Dunia masih menggunakan format golden goal. Sialnya, golden goal pula yang menghentikan langkah Senegal di gelaran Korea-Jepang itu. Lewat lesakan Ilhan Mansiz, Turki menyingkirkan mereka di babak perempat final.

Walaupun begitu, Senegal pulang dengan kepala tegak. Buat tim debutan, keberhasilan melaju ke perempat final adalah kemewahan. Pun untuk negara Afrika. Sebelum itu hanya Kamerun yang mampu menembus babak delapan besar.

“Piala Dunia 2002 seperti hal gila bagi kami. Aku tidak berpikir ada orang yang akan melupakan edisi 2002 sampai sekarang. Turnamen itu seperti keajaiban bagi tim-tim Afrika. Kami dulu bermain dengan gembira, kami bermain keras, kami bermain untuk membuat Afrika bangga,” ujar Diouf seperti dilansir Africanews.


Muncul pro-kontra ketika Federasi Sepak Bola Senegal (FSF) menunjuk Cisse sebagai pengganti Alan Giresse. Dia dianggap terlalu dini untuk duduk di kursi pelatih. Baru 38 tahun umur Cisse, dengan pengalaman yang minim pula.

Dalam perspektif lain, Cisse adalah figur yang pas untuk menularkan spirit generasi emas. Selain menjabat sebagai kapten tim, mantan gelandang bertahan ini juga dibekali pengalaman manggung di liga top Eropa.

Cisse ini lahir di Ziguinchor, sebuah kota di sebelah barat daya Senegal. Namun, pada usia sembilan tahun dia hijrah ke Prancis bersama keluarganya. Karier sepak bolanya dimulai di Lille kemudian Sedan. Sampai akhirnya bergabung ke Paris Saint-Germain (PSG) di musim 1998/99. Setelah moncer bersama Senegal di Piala Dunia 2002, Birmingham City meminangnya. Ini berbarengan dengan kepindahan Diouf dan Diao yang kala itu direkrut Liverpool.

Di aras klub, Cisse memang tak banyak meraup gelar juara. Mentok cuma Piala Intertoto yang diraih bersama PSG. Namun, trofi bukan tolok ukur utama kualitas seorang pemain yang beralih menjadi pelatih. Jiwa kepemimpinan adalah aspek vital lainnya. Bagaimana menyelaraskan isi kepala belasan pemain dan menggabungkan mereka menjadi tim yang padu. Dan Cisse, sudah membuktikannya semasa menjadi kapten Senegal.

Toh, soal kepelatihan, Cisse juga tak buta-buta amat. Di medio 2012-2013 dia pernah mengemban peran asisten pelatih tim Senegal U-23. Selanjutnya dia naik pangkat menjadi pelatih utama hingga 2015.

“Aku memiliki banyak ambisi untuk Senegal, tetapi sebagian besar dapat diringkas dalam satu kata: Menang dan menang,” kata Cisse usai pengangkatannya sebagai arsitek Senegal.

“Memang benar, generasi kami gagal juara, tetapi para pelatih, pemain yang menjadi bagian dari itu mampu memberikan kebahagiaan kepada semua orang. Kami tidak akan pernah bisa menghapusnya.”

Cisse bukan satu-satunya senior yang menyalurkan spirit dari generasinya. Dia dibantu Tony Sylva diangkat menjadi pelatih kiper pada tahun 2015. Kemudian Lamine Diatta bertugas sebagai manajer tim. Perlahan, kombinasi ini menunjukan hasil. Cisse membawa Senegal ke perempat final Piala Afrika 2017. Dua tahun setelahnya, Cheikhou Kouyate dkk. diantarnya menjadi runner-up sekaligus menyamai pencapaian terbaiknya dulu.

Piala Dunia 2018 juga tak terlewatkan. Di sana Cisse bukan hanya menjadi pelatih termuda, tetapi juga pelatih kulit hitam satu-satunya. “Saya percaya bahwa sepak bola adalah sesuatu yang universal. Saya pikir, warna kulit semestinya tidak jadi sepenting itu di permainan ini,” ucapnya.

Senegal tampil cukup impresif pada turnamen yang digelar di Rusia itu. Polandia mereka hajar 2-1. Kemudian imbang versus Jepang. Satu-satunya kekalahan datang dari Kolombia. Itu pun dengan skor tipis 0-1.

Sayang, Senegal harus angkat koper lebih cepat. Mereka tersingkir di babak penyisihan gara-gara kalkulasi kartu. Poin dan agregat Senegal sama persis dengan Jepang. Bedanya, mereka telah mengantongi enam kartu kuning, dua lebih banyak dari Jepang. Terlepas dari itu, Senegal telah mengalami progres dibanding era Giresse. Pencapaian mereka di tiga kompetisi terakhir bisa dijadikan sampel.

Satu hal yang paling kentara adalah bagaimana Cisse menyinergikan anak asuhnya. Itulah yang kurang dimiliki Senegal di eranya. Dalam film dokumenter berjudul “Why Have Senegal Never Won An Africa Cup Of Nations?”, Camara menyinggung soal hubungan antarpemain. Dia menjelaskan bahwa para pemain Senegal tak banyak berkomunikasi di luar lapangan. Suka tidak suka, hal semacam ini memengaruhi permainan tim di pertandingan.

Beruntung, Senegal di era ini mempunyai Sadio Mane, sang jagoan dengan karakter good boy yang kental. Coba bandingkan dengan Diouf yang menjadi kebalikannya. Tengok juga betapa segannya para personel Senegal dengan para pendahulunya. Sehabis mencetak gol ke gawang Guinea Khatulistiwa di perempat final, Famara Diedhiou melakukan selebrasi khas mendiang Diop. Kebetulan Diedhiou mewarisi nomor punggung 19 miliknya.

“Aku terkejut, karena mereka tidak memberi tahuku sebelumnya melakukan tarian Bouba Diop ini,” ucap Cisse. Dia menambahkan, “Para junior ini memberi penghormatan kepadanya dan semua orang bahwa generasi 2002 adalah referensi bagi mereka. Sangat mengharukan bahwa mereka memiliki inisiatif untuk melakukannya. Itu membauatku tersentuh”.


Ribuan pendukung di Dakar bersorak setelah tendangan penalti Mane meluncur ke gawang Mohamed Abou Gabal “Gabaski”. Para suporter itu telah berkumpul di alun-alun dekat istana presiden. Suara klakson mobil, vuvuzela, dan petasan mengiringi pesta yang dinanti-nanti 60 tahun lamanya. Saking sakralnya, Presiden Macky Sall sampai menetapkan hari itu sebagai hari libur nasional. Karena bagi seluruh rakyat Senegal, keberhasilan menggamit trofi Piala Afrika adalah segalanya.

Untuk ini, Senegal harus berterima kasih kepada Cisse. Ialah sosok yang bukan hanya mampu menuntaskan dendam masa lalunya, tetapi juga membangun kesebelasan Senegal terbaik yang pernah ada.