Stop Kekerasan terhadap Perempuan!

Roger Ibanez dan Nicolo Zaniolo dengan goresan merah di pipinya dalam rangka kampanye anti-kekerasan terhadap perempuan. (Twitter/@AsRomaEN)

Industri olahraga, termasuk sepak bola, adalah bagian dari masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan masyarakat. Kita semua, termasuk di dalamnya industri olahraga, punya tanggung jawab melawan endemi ini.

Mason Greenwood bukan pesepak bola laki-laki pertama yang melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan dan, celakanya, kemungkinan besar dia takkan jadi yang terakhir pula. Suka tidak suka, beginilah situasi dunia tempat kita tinggal sekarang.

Harriet Robson, perempuan muda berusia 21 tahun, pada Senin (30/1/2022) waktu Indonesia mengunggah serangkaian bukti kekerasan yang dilakukan Greenwood kepada dirinya. Robson adalah mantan pacar pemain depan Manchester United itu.

Kejadiannya sebetulnya sudah lama, yaitu pada 2020 lalu. Robson dipukuli sampai berdarah karena menolak diajak berhubungan badan. Menurut kesaksian sang ayah, Robson sebetulnya tidak mau video dan rekaman suara kekerasan yang dia alami itu tersebar. Namun, konon, ponsel Robson diretas orang dan akhirnya tersebarluaslah bukti-bukti tadi.

Semua pihak bergerak cepat. Manchester United dengan segera mengumumkan bahwa mereka menyadari keberadaan barang bukti di akun media sosial Robson. Tak lama kemudian, United juga menyampaikan pada publik bahwa Greenwood takkan ikut berlatih dan bermain sampai batas waktu yang belum ditentukan.

Kepolisian Greater Manchester juga bergerak cepat. Sepasang detektif dikirimkan ke rumah Robson untuk meminta keterangan lebih lanjut. Tak lama, mereka juga memberitakan bahwa "seorang laki-laki berusia 20-an telah ditangkap". Tak disebutkan nama Greenwood tetapi publik tak kesulitan menerka.

Terang saja, Greenwood dilaknat habis oleh banyak sekali orang. Tak perlu diulang kata-kata yang digunakan, tetapi Anda pasti bisa menebaknya. Karier Greenwood di Manchester United divonis habis. Tak ada lagi tempat untuk orang seperti dirinya.

Ini adalah respons yang bagus, tentu saja. Akan tetapi, Greenwood bukanlah satu-satunya pemain Manchester United yang punya riwayat kekerasan seksual. Legenda, pahlawan, dan pemain terpopuler United, Cristiano Ronaldo, punya rekam jejak tak kalah buram.

Tuduhan terhadap Ronaldo pertama kali muncul pada 2017, lewat sebuah artikel panjang yang diterbitkan majalah Jerman, Der Spiegel. Artikel tersebut menceritakan bahwa, pada tahun 2009, Ronaldo melakukan perkosaan terhadap seorang perempuan. Namun, di artikel 2017 itu, belum disebutkan secara gamblang siapa perempuan yang dimaksud.

Melompat setahun berselang, perempuan itu muncul ke permukaan. Namanya Kathryn Mayorga. Dia seorang guru berkebangsaan Amerika Serikat. Mayorga mengaku diperkosa oleh Ronaldo di sebuah hotel di Las Vegas, Amerika Serikat, beberapa waktu sebelum si pemain pindah ke Real Madrid.

Setelah kejadian itu, Mayorga melapor ke kantor polisi dan menjalani pemeriksaan di rumah sakit. Dari pemeriksaan itu, ditemukan bahwa Mayorga mengalami bengkak, memar, dan lecet di tubuhnya. Namun, saat itu Mayorga tidak menyebut nama Ronaldo sehingga kepolisian setempat tak bisa memprosesnya.

Pada 2010, kasus Mayorga dan Ronaldo ini sebetulnya sudah diselesaikan di luar persidangan. Ada uang tutup mulut sebesar 375 ribu dolar AS yang terlibat di sana. Akan tetapi, seiring dengan meluasnya gerakan #MeToo pada 2018—yang sasaran utamanya adalah mogul film Harvey Weinstein, Mayorga memberanikan diri. Kasus ini pun secara resmi dibuka oleh Kepolisian Las Vegas.

Namun, sulitnya mendapatkan barang bukti lanjutan memaksa Kepolisian Las Vegas untuk kembali menutup kasus perkosaan ini. Otoritas terkait menyatakan bahwa mereka tidak bisa membuktikan kasus ini lebih dari sekadar praduga.

Mayorga, meski begitu, tak menyerah. Dia tahu betapa sulitnya mencari bukti untuk mendakwa Ronaldo di jalur pidana. Maka, dia pun mengubah taktik dengan menuntut Ronaldo di jalur perdata. Sampai detik ini, kasus perdata ini masih aktif di level federal. Namun, sampai detik ini pula, tanggal persidangan belum ditentukan.

Sejak masih bermain untuk Juventus di Italia, Ronaldo disebut-sebut mendapat banyak proteksi. Juventus bahkan sengaja tidak melakukan tur pramusim ke Amerika Serikat supaya Ronaldo tidak bisa ditangkap oleh aparat terkait. Meski begitu, perlu diingat bahwa klaim ini hanya berdasarkan rumor yang beredar di dunia maya.

Dan berbicara soal proteksi, nama Ole Gunnar Solskjaer juga harus diseret ke sini. Pasalnya, saat masih menangani Molde, Solskjaer disebut membantu seorang pemain yang melakukan kekerasan seksual lolos dari jerat hukum. Pemain itu bernama Babacar Sarr.

Solskjaer dan agen Sarr, Jim Solbakken, adalah kawan dekat. Solskjaer sendiri pernah menjadi salah satu pemilik di agensi milik Solbakken, Dynamic Solution. Lewat koneksi ini, Solskjaer membangun tim Molde-nya dengan mencomot pemain-pemain terbaik dari klub-klub Liga Norwegia lainnya. Sarr adalah salah satu pemain itu.

Sarr direkrut Molde pada 2015 dan pada waktu itu dia sudah pernah dilaporkan ke polisi dengan tuduhan perkosaan. Setahun kemudian, ada empat perempuan lain yang mengaku telah diperkosa oleh pemain asal Senegal tersebut. Salah satu perempuan tersebut bahkan hamil dan telah melahirkan anak hasil perkosaan tadi.

Tekanan publik sebetulnya sangat besar. Sarr dihujat suporter lawan dan spanduk-spanduk anti perkosaan dibawa ke stadion Molde. Namun, Solskjaer terus melindungi Sarr. Malah, beberapa kali Sarr ditunjuk sebagai kapten tim. Meski demikian, proses hukum di pengadilan Norwegia tetap berlanjut.

Sampai akhirnya, satu bulan sebelum persidangan, Sarr tiba-tiba dilepas oleh Molde dengan sisa kontrak dua tahun. Sarr pun ditetapkan sebagai buron oleh pengadilan karena tidak menghadiri persidangan. Oleh sang agen, Sarr dipindahkan ke klub Rusia, Yenisey Krasnoyark. Rusia sendiri tidak punya perjanjian ekstradisi dengan Norwegia sehingga Sarr bisa terus bebas.

Interpol lalu bergerak dengan menerbitkan red notice atas nama Sarr. Solbakken lantas bergerak cepat dengan memindahkan si pemain ke Arab Saudi, negara yang tidak bisa disentuh oleh Interpol. Cerita ini sendiri belum bisa diketahui akhirnya karena status Sarr saat ini tidak diketahui. Dia sudah menghilang dari Arab Saudi dan tak lagi bisa dikontak.

Kembali ke Solskjaer, ada rumor—sekali lagi, rumor—yang menyebut bahwa dia sebetulnya sudah tahu soal kejahatan Greenwood kepada Robson. Akan tetapi, dia dan para petinggi Manchester United dengan cepat menutupi kasus ini sehingga tidak tercium oleh publik. Satu-satunya hal yang diketahui masyarakat waktu itu adalah kesaksian seorang kawan Robson yang berkata "hubungan mereka tidak baik-baik saja dan Robson lega karena sudah putus dari Greenwood".

Apa yang terjadi dengan Greenwood, Ronaldo, Sarr, dan Solskjaer ini, sayangnya, bukan hal langka. Mengapa? Karena kekerasan terhadap perempuan pun, sialnya, masih merupakan hal yang sangat sering terjadi. Dengan kata lain, kekerasan terhadap perempuan ini bukan persoalan sepak bola, melainkan persoalan masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah endemi.

Kekerasan sendiri bisa terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari fisik, verbal, sampai emosional. Belum lama ini, ada berita bahwa seorang persona AFTV bernama panggung DT dicokok polisi karena melakukan penguntitan dan penculikan terhadap mantan istrinya.

Ada kekerasan fisik di sana karena DT mencoba menculik mantan istrinya. Namun, ada pula kekerasan emosional di mana DT mengancam bakal bunuh diri jika mantan istrinya itu tidak mau diajak berhubungan kembali. Tak lupa, kekerasan verbal juga dilakukan oleh DT ketika menculik mantan istrinya tersebut.

Memang, laki-laki bukanlah pelaku tunggal kekerasan seperti itu. Pada 2014, mantan kiper Timnas Perempuan Amerika Serikat, Hope Solo, pernah ditahan polisi karena melakukan kekerasan domestik kepada saudara perempuan dan keponakan laki-lakinya. Solo bersikeras bahwa dirinya adalah korban alih-alih pelaku. Dia berdalih cuma melindungi diri dari serangan keponakannya.

Meski begitu, harus diakui bahwa sebagian besar tindak kekerasan, utamanya kekerasan domestik, dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Perkosaan pun begitu. Lebih banyak dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Artinya, ada pola serta kecenderungan yang tak terbantahkan dan ini adalah persoalan masyarakat; persoalan kita semua.

Memaksakan kehendak terhadap perempuan adalah hal yang sering dilakukan oleh laki-laki. Hal ini terjadi karena ada superioritas yang disematkan laki-laki kepada diri mereka sendiri. Mereka merasa bahwa mereka adalah pencari nafkah, lebih kuat secara fisik, dan maka dari itu berhak mendapatkan segala yang mereka inginkan.

Maka, memandang perempuan dengan sebelah mata pun jadi sebuah norma. Perempuan cuma dipandang sebagai sosok yang ada untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perempuan cuma dilihat sebagai perhiasan, sebagai objek, sebagai properti. Cara pandang seperti ini, bedebahnya, masih jamak ditemukan meski peradaban manusia sudah berusia kurang lebih enam ribu tahun.

Akibatnya, perempuan-perempuan yang sudah membuktikan kemampuan mereka saja masih terus-terusan dipaksa untuk bungkam. Lihat bagaimana sebagian suporter sepak bola memperlakukan sepak bola perempuan. Lihat bagaimana penggemar komik memperlakukan penulis komik perempuan. Lihat bagaimana dunia akademik memperlakukan akademisi perempuan.

Entah sampai kapan ini akan terjadi. Meski gerakan untuk emansipasi perempuan sudah muncul sejak lama, harus diakui pula, efeknya belum menyentuh semua lapisan. Ini adalah pekerjaan besar bagi umat manusia. Bagi saya, Anda, dan kita semua. Bisa jadi sampai kita mati pun tugas ini belum akan rampung. Akan tetapi, mau jadi seperti apa dunia ini jika kita berhenti mencoba?

Sekali lagi, kasus Greenwood, Ronaldo, Sarr, dan Solskjaer bukanlah hal langka. Di dunia olahraga, banyak sekali kasus serupa ditemukan. Kobe Bryant, Mike Tyson, Floyd Mayweather Jr., War Machine, Robinho, Benjamin Mendy, Adam Johnson, Patrick Kluivert, Ryan Giggs semua pernah melakukan, atau dituduh melakukan, kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk.

Inilah mengapa dunia olaharga secara khusus juga mesti secara aktif mengampanyekan penolakan dan melakukan edukasi untuk mencegah tindak kekerasan. Namun, lebih dari itu, mereka juga mesti punya protokol penindakan bagi individu-individu yang melakukan pelanggaran.

Serie A punya kampanye "Un Rosso Alla Violenza" atau "Kartu Merah untuk Kekerasan" yang dilakukan setiap tahun untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kekerasan domestik. Namun, mereka tak berbuat apa-apa soal Ronaldo. Ronaldo sendiri pernah menjadi bagian dari kampanye ini dan, sejujurnya, optiknya sangat tidak bagus.

Klub juga punya tanggung jawab besar karena selama ini mereka jadi pelindung utama para pelanggar, terutama jika si pelanggar punya profil besar seperti Bryant atau Ronaldo. Tentu akan ada kerugian finansial jika pemain seperti Bryant atau Ronaldo terbukti bersalah di pengadilan lalu masuk penjara. Namun, tak semua harga bisa diukur dengan uang semata. Bagaimana dengan para korban? Bagaimana dengan nurani mereka sendiri? Bagaimana dengan persepsi publik?

Industri olahraga mesti sadar bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat. Mereka tidak hidup dalam gelembung meski, barangkali, mereka merasa seperti itu. Lagipula, dewasa ini ada pergeseran cara pandang dalam masyarakat. Menurut catatan PricewaterhouseCoopers, dalam satu dekade ke depan, perusahaan yang punya tanggung jawab sosial akan lebih maju ketimbang yang tidak.

Perlahan, orang-orang mulai sadar meski masih banyak pula yang belum. Dengan posisi unik yang memungkinkan mereka untuk berbuat lebih banyak dengan cakupan luas, sudah sepantasnya industri olahraga mulai membenahi cara pandang mereka dan membuktikannya dengan aksi nyata. Jangan lagi berikan tempat bagi manusia-manusia yang tidak pantas berada di sana, sehebat apa pun mereka, sekaya apa pun mereka. No means no.