Taman Bermain Kun Aguero

Ilustrasi: Arif Utama.

Jika fantasista adalah sebuah seni untuk mengundang decak kagum, Sergio Aguero terang-terangan sudah termasuk ke dalamnya.

Sergio Aguero hidup di lapangan seperti manusia bebas. Ia berkehendak atas dirinya sendiri. Ke mana pun ia ingin pergi, ke situ ia bergerak.

Katanya, mereka yang paling berkuasa bukanlah yang menduduki takhta, melainkan mereka yang memeluk kebebasan. Apa pun yang mereka inginkan, manakala mereka suka, itulah yang akan mereka kerjakan.

Oleh karena itulah kebebasan mewah. Tak semua bisa menerima kebebasan dengan tangan terbuka. Sebagian lain malah bingung karena tak tahu mesti berbuat apa ketika mendapatkan kebebasan. Brooks Hatlen dalam ‘The Shawshank Redemption’ malah menyerahkan nyawanya sendiri karena tak tahu harus berbuat apa dengan kebebasan setelah setengah abad terkungkung dan terinstitusikan di dalam penjara.

Marco Quore dalam ‘Fantasista’ berbeda lagi. Baginya, menginjakkan kaki di lapangan seperti berhadapan dengan kanvas. Satu-satunya yang ada di dalam benaknya ketika hendak menyepak bola adalah sederet imajinasi mengenai apa lagi yang akan ia lukis hari ini.

Marco dalam manga 'Fantasista'.

Oleh Michiteru Kusaba, mangaka pengarang ‘Fantasista’, Marco digambarkan sebagai sosok yang langka, selangka para fantasista itu sendiri. Kata Kusaba, para fantasista itu lahir setelah dewa mengetukkan tongkat ke kepala tiap-tiap bocah terpilih. Mereka yang menerima berkah itu mendapatkan bakat. Bakat itulah yang kelak membuat mereka bisa mewujudkan imajinasi di atas lapangan.

Kusaba menyebut bahwa bagi para fantasista, bermain sepak bola tidak ubahnya bermain-main dan mewujudkan kesenangan. Para pemain semestinya berlaku seperti bocah yang baru pertama kali mengecap sesuatu. Ada perasaan berdebar-debar di situ, dan sudah semestinya mereka memeluknya dengan erat.

Marco, yang dikisahkan sebagai salah satu bakat terbaik yang pernah dilahirkan di Italia, tidak sendiri. Protagonis utama manga tersebut, Teppei Sakamoto, juga digambarkan sebagai seorang fantasista.

Teppei digambarkan sebagai bocah periang yang saban hari tahunya cuma bermain sepak bola. Ia punya bakat mentah dan sang kakaklah yang membantu mengasahnya. Bakat itu makin terasah seiring dengan pertemuan dengan berbagai kenyataan; mulai dari pertandingan, kompetisi, rival, hingga tantangan. Teppei yang tadinya bocah biasa berubah menjadi bakat terbaik yang dihasilkan Jepang.

Salah satu fragmen dalam ‘Fantasista’ lantas mengisahkan bagaimana pemain-pemain di tim junior AC Milan—tim yang akhirnya Teppei bela—masing-masing menerima sepucuk surat dari pelatih mereka yang sudah sekarat. Tiap-tiap surat berisikan pesan soal apa yang mesti pemain-pemain muda itu lakukan untuk memperbaiki kemampuan mereka.

Teppei dalam manga 'Fantasista'.

Buat Teppei, surat yang ia terima lebih mirip teka-teki. Alih-alih pesan, yang ia dapatkan justru kertas kosong tanpa ada satu huruf pun di dalamnya.

Namun, justru di situlah pesannya. Ketiadaan kata-kata ataupun kalimat di dalam surat itu mengingatkan Teppei untuk tidak terkekang. Ia adalah sang fantasista tim. Tidak ada gunanya menjadi fantasista jika ia terkungkung dan terkekang.

Bagi sang pelatih, Teppei mestinya menjadikan lapangan sebagai taman bermain. Ia tidak hadir di situ untuk membeo atau mengikuti arus. Sebaliknya, ia hadir di lapangan untuk mencipta.

Lapangan itu, bagi para fantasista, adalah kanvas dan kertas kosong. Mereka bebas mewujudkan apa yang ada di dalam imajinasi mereka. Buat Teppei, lapangan adalah semacam kitab yang semestinya ia isi dengan bait-bait yang ia mau. Ia adalah tuhannya, yang lainnya mengikuti.

Sedemikian luas dan dalamnya makna fantasista sampai-sampai untuk mengelompokkannya ke dalam istilah-istilah posisi atau peran dalam sepak bola pun sulit. Fantasista bukanlah posisi ataupun peran, ia adalah arketipe. Pemain-pemain yang menjadi fantasista tidak melulu terpaku pada satu posisi atau peran tertentu.

Jika didefinisikan, fantasista adalah pemain yang tidak hanya mendapatkan bakat berupa teknik kelas satu, tetapi juga kreatif, memiliki imajinasi, kepandaian, dan visi sekaligus. Para fantasista ini biasanya menjadi pusat, entah pusat permainan tim ataupun pusat perhatian penonton.

Diego Maradona layak disebut fantasista, begitu juga dengan Lionel Messi. Juan Roman Riquelme juga demikian, begitu juga dengan Roberto Baggio. Seringnya, fantasista dimonopoli oleh para pemain depan atau gelandang serang, tetapi tak jarang juga ia menaungi gelandang tengah seperti Luka Modric, Xavi Hernandez, atau Andres Iniesta.

Karena tak terkungkung dengan posisi, tidak menutup kemungkinan juga seorang striker bisa mendapatkan label fantasista. Salah satunya Aguero.

Aguero tumbuh dekat dengan kakek-neneknya. Ketika kecil, ia menyenangi anime Jepang, ‘Kum-Kum’, dan merasa dirinya mirip dengan karakter utama pada anime itu, Kum-Kum, seorang bocah berambut gondrong yang hidup pada masa prasejarah.

Kakek dan neneknya juga merasa ia mirip dengan Kum-Kum sehingga memanggil Aguero dengan nama sang tokoh animasi itu. Aguero kemudian menyebut dirinya sendiri sebagai ‘Kun’, olah kata dari nama Kum-Kum dan honorifik yang biasa disematkan orang Jepang untuk anak laki-laki atau panggilan untuk teman laki-laki yang hubungannya sudah amat erat. Maka, jadilah Aguero menggunakan nama punggung ‘Kun Aguero’ di kostumnya.

Selayaknya bocah, Aguero memperlakukan lapangan seperti taman bermain. Ia bergerak bebas dan lincah. Para gelandang tidak perlu memberinya pasokan bola karena Aguero bisa menciptakan peluang sendiri, entah lewat dribel atau sepakan dari luar kotak penalti. Pokoknya, dari mana pun yang ia suka.

Aguero tidak hanya tajam dan punya ketenangan di depan gawang, tetapi juga cerdas, peka akan ruang, dan disiplin dalam penempatan posisi. Dengan kemampuan seperti itu, area jelajah Aguero pun luas, meski kebanyakan masih di sepertiga akhir lapangan.

Melihat luasnya daya jelajah Aguero, ia tak ubahnya sebuah prototipe dari striker modern yang tak lagi berdiri statis di dalam kotak penalti. Para penyerang seperti Harry Kane atau Romelu Lukaku terbiasa bergerak ke sisi sayap ataupun turun ke lini kedua dan lebih terlibat dalam pembangunan serangan, demikian pula dengan Aguero.

Tetap saja Aguero memiliki kekhasan tersendiri. Meski berposisi sebagai striker, Aguero acap bergerak seperti seorang gelandang serang. Tak jarang ia menerima bola tepat di luar kotak penalti lawan atau muncul tiba-tiba dari lini kedua. Dengan cara bermain seperti ini, Aguero menjadi salah satu striker yang boleh jadi bakal kamu harapkan tidak pernah bermain melawan tim kesayanganmu.

Sedemikian kompletnya kemampuan Aguero sampai-sampai caranya mencetak gol pun beragam: Sepakan di depan gawang, sontekan, tendangan dari luar kotak penalti, hingga lesakan dari sudut sempit. Kalau fantasista adalah seni untuk mengundang decak kagum, Aguero terang-terangan masuk dalam kategori ini.

Orang-orang boleh saja menyebut sederet nama, dari Thierry Henry, Luis Suarez, Dennis Bergkamp, hingga Ruud van Nistelrooy, dalam daftar striker terbaik Premier League menurut versi mereka. Namun, jika melewatkan nama Aguero dalam daftar tersebut, buru-burulah meminta maaf dan berharap pengampunan.

Setelah hampir satu dekade memberkati rumput Premier League, Aguero akhirnya pamit. Musim ini adalah musim terakhirnya di Manchester City. Sepuluh tahun ia lewati dengan kejayaan: Empat trofi Premier League, satu trofi Piala FA, dan lima trofi Piala Liga; koleksi ini masih amat mungkin bertambah.

City, seperti halnya Aguero, ingin terus bergerak. Laju Aguero, yang dalam semusim belakangan tersendat oleh COVID-19 dan cedera, membuat City memutuskan untuk berpisah baik-baik. Seperti halnya Vincent Kompany, Yaya Toure, dan David Silva, cepat atau lambat City akan berjabat tangan dan mengucapkan terima kasih.

Bagi Aguero, boleh jadi ini bukanlah akhir. Satu halaman penuh, masih ada halaman-halaman kosong lain untuk ia tulisi.