Teknologi Garis Gawang, Bisakah Melenyapkan Kontroversi?

Ilustrasi: Arif Utama.

Goal-line Techonology alias Teknologi Garis Gawang dianggap seperti sihir yang bisa melenyapkan kontroversi. Namun, drama dan kontroversi tak akan pernah enyah selama sepak bola dijalankan oleh manusia.

Selama masih melibatkan manusia, drama dan kontroversi tak pernah lepas dari pertandingan sepak bola. Ada juga yang berpendapat bahwa keputusan ajaib wasit hingga aksi-aksi menawan dari para seniman di atas lapangan menambah daya tarik pertandingan sepak bola.

Pemain AC Milan, Sulley Ali Muntari, pernah mengalami pahitnya keputusan wasit. Pada pentas Serie A, Februari 2012, golnya ke gawang Juventus tak disahkan oleh wasit Paolo Tagliavento.

Sergapan Muntari memang berhasil ditangkis oleh Gianluigi Buffon. Namun, dalam tayangan ulang, bola sudah masuk ke dalam gawang. Kalau disahkan, Milan unggul 2-0.

Wasit berkata lain. Milan gagal menambah gol pada laga tersebut. Malah, justru Juventus yang bisa menyamakan kedudukan via Alessandro Matri. Laga pun selesai dengan skor imbang 1-1.

Beberapa tahun setelah kejadian, Tagliavento mengaku salah. Dirinya mengaku butuh perangkat dukungan untuk memudahkan kinerja wasit di atas lapangan.

“Kejadian itu adalah kesalahan saya paling jelas, andai saja itu terjadi saat ini, maka sudah bisa diselesaikan dalam hitungan detik menggunakan teknologi,” ujar Tagliavento.

Apa yang dirasakan Muntari, dirasakan juga oleh Cristiano Ronaldo. Gol Ronaldo pada laga Portugal vs Serbia, Minggu (28/3/2021), tak disahkan pengadil lapangan, Danny Makkelie.

Tepat pada menit akhir pertandingan, Kiper Serbia, Marko Dmitrovic gagal menjangkau bola hasil umpan silang Nuno Mendes. Ronaldo, yang berada di dekat Dmitrovic, bisa meneruskan bola ke gawang. Bola bergulir pelan sampai akhirnya Stefan Mitrovic menyapu bola. Dari gambar yang beredar serta tayangan ulang, Mitrovic menyapu bola di dalam gawang.

Danny Makkelie tak mengesahkan gol tersebut. Dia dan asisten wasit berpandangan bola belum sepenuhnya melewati garis gawang.

Ronaldo yang merasa dirugikan langsung marah-marah. Laga belum benar-benar rampung, CR7 sudah menuju ruang ganti sambil melempar ban kapten yang ia kenakan.

Kejadian tersebut memang konyol. Era sudah modern begini dan teknologi sudah maju, kok, masih ada saja keputusan aneh seperti itu? Jawabannya mudah: UEFA selaku induk sepak bola Eropa tak menggunakan Goal-line Technology (Teknologi Garis Gawang alias GLT) dan Video Assistant Referee (VAR) pada Kualifikasi Piala Dunia 2022.

Alasannya, banyak stadion yang tak siap secara infrastruktur untuk menggunakan dua teknologi tersebut. Selain itu, UEFA juga beralasan bahwa pandemi COVID-19 membuat logistik dan proses pengimplementasian teknologi tersebut menjadi terkendala.

Teknologi Garis Gawang sendiri diadaptasi ke sepak bola pada 2012. Ia lebih dulu diperkenalkan daripada VAR setahun kemudian. Ide awal Teknologi Garis Gawang tercetus usai keputusan kontroversial wasit pada Piala Dunia 2010; gol Lampard di babak 16 besar Piala Dunia 2010 melawan Jerman tak disahkan oleh wasit.

Lampard yang mendapat bola liar langsung melepaskan tendangan dari luar kotak penalti. Bola melewati kiper Manuel Neuer lalu membentur mistar gawang dan memantul ke tanah.

Dalam tayangan ulang, bola sudah seluruhnya melewati garis gawang. Namun, bola memantul lagi keluar dan ditangkap Neuer.

Wasit dan hakim garis saat itu menganggap bola belum masuk ke gawang. Alhasil, gol tak tercipta. Kita semua tau pada akhirnya Inggris takluk dengan skor telak 1-4.

"Teknologi mengubah pertandingan menjadi lebih baik, jadi saya senang dengan itu. Gol saya yang tak disahkan mengubah sepak bola. Perkembangan yang baik dari sepak bola karena adanya Teknologi Garis Gawang," ucap Lampard.

Sebenarnya, Teknologi Garis Gawang tak selalu berjalan mulus di dunia sepak bola. FIFA selaku federasi sepak bola dunia, pernah menolak penggunaannya dalam sebuah pertandingan.

FIFA punya beberapa alasan mengapa mereka menolak teknologi ini. Induk sepak bola yang berkantor di Swiss itu sempat bersikeras kalau teknologi tak memiliki tempat di sepak bola. Selain itu, FIFA juga menginginkan peraturan yang sama terjadi di semua pertandingan sepak bola.

Pasalnya, tak semua stadion mampu memberikan dan menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan untuk menjalankan teknologi tersebut. Tak usah jauh-jauh ke Asia, di belahan Eropa saja, banyak stadion yang belum siap untuk menggunakan teknologi.

Ini juga yang membuat UEFA menyelaraskan aturan di babak kualifikasi Piala Dunia 2022. Tak ada VAR ataupun GLT di semua pertandingan, meski stadion sudah siap secara infrastruktur.

Pada Januari 2020, FIFA merilis cuma ada 109 stadion di dunia yang siap dalam mengaplikasikan GLT.

Namun, FIFA melunak. Pada ajang Piala Dunia 2014, Teknologi Garis Gawang diterapkan pertama kali dalam turnamen akbar sepak bola.

Lalu, apa sebenarnya Teknologi Garis Gawang itu? Begini, GLT adalah cara untuk menentukan bola sudah seluruhnya melewati garis gawang atau tidak dengan bantuan perangkat elektronik. Sebab, untuk mengesahkan sebuah gol peraturannya sudah jelas tertera di Laws of The Game: Bola harus sepenuhnya melewati gawang. Ada sedikit saja bagian bola yang belum melewati garis gawang, gol tidak bisa disahkan.

Ada dua jenis cara kerja dari GLT. Pertama dengan menggunakan banyak kamera berkecepatan yang tinggi dan mengarah ke masing-masing gawang. Rekaman video ini akan dikirim secara otomatis ke komputer khusus selama pertandingan. Nah dari komputer ini, semua akan diolah dan lalu mengirim sinyal ke wasit via jam tangan.

Cara kerja ini disebut dengan Hawk Eye. Kecepatan cara kerja Hawk Eye ini bisa mengirim gambar dan potongan video hanya dalam 0,05 detik saja. Hawk Eye ini yang digunakan pada ajang Premier League. FA sudah menggunakan cara kerja dari Hawk Eye sejak musim 2013/14.

Selain Hawk Eye, ada juga GoalRef. Cara kerjanya GoalRef tidak menggunakan kamera. GoalRef lebih menggunakan gelombang radio dengan frekuensi yang rendah.

GoalRef juga menanamkan chip di bola untuk menandakan kalau bola menyentuh daerah magnet itu. Saat bola mendekat, chip pada bola itu akan mengirim jarak bola ke dua antena yang diletakan di dalam gawang.

Antena itu akan mengirim data ke komputer yang akan menentukan bola sudah melewati garis gawang sepenuhnya atau belum. Jika bola sudah seluruhnya melewati garis, gelombang radio tersebut akan memancarkan informasi ke earphone atau jam tangan wasit.

GoalRef sebenarnya lebih dulu digunakan daripada Hawk Eye. Cara yang diciptakan oleh Fraunhofer Institut Jerman ini sudah dimulai pada 2012. Ajang Piala Dunia Antarklub pada tahun tersebut menjadi uji coba penggunaan cara GoalRef untuk mengetahui gol tercipta.

Akan selalu ada inovasi-inovasi teknologi baru yang dituangkan ke dalam permainan sepak bola. Meski demikian, drama dan kontroversi disinyalir akan tetap ada di dalam sepak bola. Selama manusia masih berperan di dalamnya, bakal ada saja cela.

VAR dari waktu ke waktu masih menimbulkan kontroversi karena pada akhirnya keputusan akhir bergantung pada persepsi dan tafsir wasit beserta petugas di balik VAR akan sebuah kejadian. Teknologi Garis Gawang? Well, bagaimana kalau alat yang satu ini tiba-tiba eror dan wasit tidak tahu haris berbuat apa?