Tenang Itu Ancelotti

Foto: Instagram @mrancelotti.

Kepelatihan Ancelotti adalah upaya untuk membangun harmoni tanpa harus menjadi bengis.

Setelah diperkenalkan kepada sepak bola yang kalem oleh bapak, saya bertemu dengan ketenangan mengasyikkan dalam diri Carlo Ancelotti.

Saya lupa hari apa itu. Yang jelas, waktu itu belum malam-malam amat. Mungkin sekitar pukul 21.00. Saya bersiap menyaksikan pertandingan sepak bola pertama saya. Itu adalah laga Bologna vs AC Milan di televisi, tahun 1999. Misi saya sebagai anak kelas 6 SD waktu itu cuma satu, membantah semua omongan bapak tentang asyiknya sepak bola.

Senjata makan tuan, bukannya bosan dan mengantongi sejumlah argumen untuk membungkam bapak, saya malah keasyikan menonton. Rasanya tendangan bebas Giuseppe Signori begitu hebat, rasanya laga itu jadi sungguh seru karena Milan berhasil mencetak gol kemenangan lewat Bruno N'gotty pada menit akhir.

Sejak saat itu, saya gemar menonton sepak bola dengan bapak. Kami bersekongkol agar tidak ketahuan ibu waktu menonton sepak bola larut malam, bahkan dini hari, pada hari sekolah. Kami tak banyak berkomentar. Bapak meneguk kopi atau menenggak bir, sementara saya cuma kebagian segelas teh manis.

Dari bapak pula saya menyadari bahwa sepak bola bisa ditonton dalam ketenangan yang mengasyikkan. Paling hebat, bapak mengepalkan tangan saat Manchester United unggul dan mengaduh pelan saat tim kesukaannya itu kalah.

Sepak bola ala kami adalah sepak bola yang tenang. Kami baru banyak berbicara pada jam-jam sebelum dan setelah pertandingan. Bapak mengajari saya cara mengingat nama-nama pemain sepak bola. Ia membelikan jersi dan segala bacaan tentang sepak bola sambil sibuk menjelaskan ini dan itu. Ketika peluit tanda pertandingan dimulai dibunyikan, kami larut lagi dalam diam.

Saya dan bapak hanya 10 bulan menonton sepak bola bersama. Ia meninggal mendadak. Namun, 10 bulan itu adalah 10 bulan yang menyenangkan, 10 bulan yang membuat saya paham mengapa ada banyak orang yang tergila-gila dengan sepak bola.

Setelah bapak meninggal, saya bertemu dengan ketenangan lain dalam sepak bola. Ia adalah Carlo Ancelotti. Ia berdiri dengan alis terangkat sebelah di pinggir lapangan.

***

Di tahun-tahun pertama kepelatihannya, Ancelotti berkawan dengan sunyi. Setelah meninggalkan jabatan sebagai asisten pelatih Timnas Italia pada 1996, ia menjejak ke Reggiana. Satu-satunya hal prestisius yang berhasil dilakukannya adalah mengantar Reggiana promosi ke Serie A. Setelahnya giliran Parma yang dilatihnya. 

Tak banyak perbincangan tentang Ancelotti di tempat ini. Satu dari sedikit perbincangan tersebut adalah keputusannya untuk menghalangi transfer Roberto Baggio. Ancelotti berpikir, Baggio tidak cocok dengan cara bermain timnya. Setelah Parma, Ancelotti akhirnya menikmati trofi bersama Juventus pada 1999. Sayangnya, gelar juara itu kurang prestisius, Piala Intertoto.

Riuh dan gemuruh itu datang ketika Ancelotti mendarat di AC Milan. Tim ini sedang babak-belur. Kepemimpinan Tabares menyisakan luka dan porak-poranda. Di era itu, tak ada gelar juara yang direngkuh Milan. Para suporter marah karena klub kesayangan mereka jadi tak berdaya. Ancelotti didatangkan untuk mendiamkan dan menenangkan mereka. Apa lacur, yang ada di tangan Ancelotti saat itu bukan tim juara. Maka satu-satunya cara yang ia lakukan adalah membangun tembok pertahanan serapat-rapatnya.

Sejak 2002 hingga 2009, sebagian besar anak, termasuk saya, bertumbuh dengan mengagumi AC Milan versi Ancelotti. Ini adalah era baru yang menandakan bahwa Milan bukan hanya tim yang mengagungkan cerita masa lampau, Grande Milan. 

Era tersebut dimulai ketika Milan berhasil mengikat kontrak dengan Alessandro Nesta, Rui Costa, Filippo Inzaghi, serta yang membuat banyak Milanisti kegirangan, Clarence Seedorf dan Andrea Pirlo.

Keberhasilan Milan selama periode ini berasal dari kejelian Ancelotti untuk membangun timnya dengan memanfaatkan kualitas individu dan fleksibilitas para pemainnya. Kekalahan tragis di Istanbul tak mampu memadamkan Milan. Petir di siang bolong itu membuat Ancelotti mengubah Milan menjadi lebih konservatif dengan menambah gelandang bertahan, Massimo Ambrosini, bersama Gennaro Gattuso dan menempatkan Kaka lebih maju setelah Andriy Shevchenko pergi ke Chelsea pada musim panas 2006.

Masing-masing satu gelar juara Serie A, Coppa Italia, Super Coppa Italiana, dan Piala Dunia Antarklub, serta dua trofi Liga Champions dan UEFA Super Cup adalah buah yang dipetik Milan bersama Ancelotti.

Dengan segala kemewahan dan kegemerlapan itu Ancelotti masih menjadi sosok yang sama. Tak banyak berekspresi, tak banyak bertingkah, tak banyak bermulut.

Klub-klub besar lantas membukakan pintu untuk Ancelotti. Mulai dari Chelsea, Paris Saint-Germain, hingga Real Madrid menjadi tempat Ancelotti melatih. Di antara ketiganya, Madrid agaknya jadi yang paling bergejolak. Namun, di tempat ini pula Ancelotti dikenal sebagai pelatih yang tak punya ego.

Adalah asisten pelatih Madrid, Paul Clement, yang pertama kali berkata demikian. Sebenarnya watak Ancelotti itu sudah terlihat sejak ia melatih Milan. Paolo Maldini menyebut Ancelotti sebagai pelatih yang mendengar para pemainnya. Ketika ditendang Roman Abramovich dari Chelsea, Ancelotti tidak berkata apa-apa. Ia hanya diam, berekspresi datar, dan menentukan ke mana ia akan melangkah setelahnya.

Madrid yang dipijak Ancelotti untuk pertama kalinya adalah Madrid yang berantakan. Jika ada satu orang yang dapat dituduh sebagai biang kerok, barangkali itu adalah Jose Mourinho. Sang pelatih Portugal pergi dengan mewariskan perpecahan di kubu Madrid. Ingat-ingat lagi seperti apa para pemain Madrid 'memusuhi' Iker Casillas.

Pekerjaan pertama yang harus dilakukan Ancelotti bukan merengkuh gelar juara, tetapi mendamaikan para pemain. Entah bagaimana caranya, Ancelotti berhasil. Ia tak hanya berhasil membuat Casillas kembali menjaga gawang Madrid, tetapi juga meredam ego dan kenakalan para pesohor. Dengan ketenangannya, Ancelotti berhasil menyatukan para pemain sekaliber Cristiano Ronaldo, Luka Modric, Gareth Bale, Karim Benzema, dan si bengal Pepe dalam tim yang sama.

"Kepelatihan saya adalah sistem yang memberikan tempat yang nyaman kepada semua pemain," kata Ancelotti saat itu.

Ketimbang pelatih, Ancelotti lebih terlihat sebagai seorang bapak yang manggut-manggut merespons kelakuan anak-anaknya. Sesekali ia memang berteriak. 

Namun, teriakan itu bukan untuk membuatnya dikenal sebagai pelatih yang menghidupi adagium bahwa mereka yang kurang berapi-api, tidak akan mendapat tempat di atas lapangan sepak bola. Teriakan itu dikeluarkannya untuk meredakan gaduh. Dengan ketenangan seperti itu, Ancelotti akhirnya mempersembahkan La Decima untuk Madrid.

Ketika rumor pendepakan oleh Florentino Perez santer terdengar, Ancelotti tetap bersikap datar. Katanya kepada wartawan saat itu, ia tidak merasa masa depannya sedang dipertaruhkan. Semuanya serba-biasa. Kalaupun dipecat, itu hanya bagian dari pasang-surut kariernya. Jadi, hadapi saja dengan sewajarnya.

Meski ditendang dari Madrid, Ancelotti akhirnya kembali ke Madrid, tepatnya pada Juni 2021. Ia menggantikan Zinedine Zidane yang mengakhiri periode keduanya.

***

Di era keduanya di Santiago Bernabeu, Ancelotti menggunakan apa yang ada di timnya. Ia tahu persis saat kedatangannya, Madrid tak bisa bermewah-mewah karena kondisi finansial sempat morat-marit dihantam pandemi.

Sebagai pelatih, Ancelotti tidak memiliki gaya yang saklek. Ia selalu bisa menyesuaikan taktik dengan bahan baku serta beragam kondisi yang ada di dalam skuad.

Lini tengah Madrid, contohnya, tak banyak berubah. Ia tetap menggunakan 4-3-3 dengan menempatkan Luka Modric, Casemiro, dan Toni Kroos di area sentral. Dari ketiganya, hanya Modric yang diganjar tugas yang sedikit berbeda.

Dulu, tugas Modric hanya mengalirkan bola hingga sepertiga akhir pertahanan lawan. Sekarang ia diharuskan untuk lebih sering masuk ke kotak penalti lawan dan diberi keleluasaan untuk memulai serangan secepat mungkin.

Ketika dulu Ancelotti berkata kepelatihannya memberikan kenyamanan bagi setiap pemain, bukan berarti tim dipersilakan berleha-leha. Implementasi dari perkataan tersebut dapat dilihat pada perubahan Modric tadi. Ia berusaha sedapat mungkin membentuk pemain untuk tetap berfungsi sehingga merasa tetap mendapat ruang di tim. Tak heran jika sampai saat ini pemain gaek seperti Modric dan Benzema tetap krusial bagi tim.

Ketenangan Ancelotti menjalar ke tim. Lihat seperti apa jalannya leg kedua perempat final Liga Champions 2021/22. Madrid tertinggal 0-3 saat laga sampai pada menit 75. Itu artinya, Chelsea berbalik unggul agregat 4-3 di 15 menit akhir waktu normal.

Taktik Ancelotti di laga ini dipertanyakan. Lini belakang Madrid hancur-hancuran. Sudah begitu, Kroos ditarik keluar, padahal sebagian besar aliran bola Madrid berawal darinya.

Memasukkan Rodrygo dan membiarkan Modric tetap di lapangan nyatanya menjadi tapal batas baru bagi permainan Madrid di laga ini. Kroos adalah pemain hebat, ia tahu betul bagaimana menginisiasi kreativitas. Masalahnya, di sepanjang ia bermain, Kroos menjadi bulan-bulanan pressing Chelsea. Itulah sebabnya serangan Madrid jadi pampat. Belum lagi dengan kejelian Thomas Tuchel menugaskan Reece James untuk meredam Vinicius.

Madrid membutuhkan gol. Mereka memerlukan pemain cepat dan Ancelotti melihat kebutuhan tersebut bisa dipenuhi Rodrygo yang memang memiliki kecepatan dan kemampuan dribel mumpuni.

Modric adalah pekerja keras yang menyadarkan kita bahwa kontrol terhadap ruang dan waktu bisa dimiliki oleh para pemain. Maka ketika tak mampu menembus area pertahanan, Modric membelahnya dari jauh, hampir dari tengah lapangan. 

Umpan yang dikirimnya dengan kaki terluar melambung tinggi melewati kepungan pemain Chelsea. Tendangan jarak jauh ini seolah-olah membiarkan bola memilih ke kaki siapa ia ingin bersandar. Kaki itu harus milik orang yang tepat di waktu dan tempat yang tepat. Saat itu, tak ada yang lebih tepat daripada Rodrygo. Dengan cara itu Madrid bangkit lalu menyegel tiket semifinal dengan gol Benzema di babak perpanjangan waktu.

Keindahan yang terjadi di laga tersebut berbicara tentang kesediaan Ancelotti untuk mendengar. Ketimbang mencak-mencak di pinggir lapangan, ia memilih untuk 'mendengar' kemampuan anak-anak didiknya. Mendengar ala Ancelotti adalah memercayai apa yang dikenal. 

Ancelotti mengenal Modric dan Benzema sebagai anggur yang makin tua makin sedap. Ancelotti mengenal Rodrygo sebagai anak muda yang enggan menyerah di hadapan lawan. Pengenalan itu lantas digunakannya untuk membentuk keselarasan dalam tim.

***

Meski karib dengan ketenangan, bukan berarti Ancelotti kalem melulu. Ingat-ingat saja insiden kartu merah yang didapatnya saat Everton--tim yang dilatihnya setelah Napoli--berlaga melawan Manchester United. Ancelotti seperti bapak-bapak pada umumnya. Terkadang emosinya naik, terkadang ia mengumpat. 

Namun, gejolak tersebut tak membuatnya berhenti menciptakan harmoni tanpa harus menjadi bengis. Watak itu mungkin tidak akan membuatnya sememikat Pep Guardiola atau Juergen Klopp yang meledak-ledak. Namun ketenangan Ancelotti menjadi salah satu bahan bakar terbaik yang menggerakkan keriuhan di seantero stadion. Riuh itu adalah riuh kemenangan, riuh sukacita.