Terbelah Dua di Berlin

Ilustrasi: Arif Utama.

Tembok Berlin adalah perpisahan paling mengerikan yang pernah menghantui hidup orang-orang Jerman, termasuk suporter Hertha Berlin dan Union Berlin.

Jauh sebelum peluit pertama laga antara Union Berlin dan Hertha Berlin dibunyikan, Kota Berlin pernah terbelah dua.

Berlin pernah menjadi kisah tentang dua kubu yang enggan berdampingan: Amerika Serikat dan Uni Soviet, barat dan timur, kapitalisme dan komunisme. 

Kota itu adalah pengingat bahwa zaman yang tak pernah berdiam sanggup mengguncang apa-apa yang kamu pikir bakal kokoh selamanya. Hiperinflasi pasca-perang pada 1922 membuat uang kertas menjadi tumpukan sampah yang tidak berharga. Orang-orang membakarnya demi sekadar mencari kehangatan yang lenyap dirampas musim dingin. 

Kebangkitan Nazi merangkai halusinasi baru. Orang-orang mengira Berlin mulai berkawan dengan kemakmuran. Namun, begitu tirai berwarna merah darah disingkapkan, yang kelihatan cuma kehancuran.

23 Mei 1949, Republik Federal Jerman yang dipengaruhi Sekutu lahir. Orang-orang mengenalnya sebagai Jerman Barat. Lantas pada 7 Oktober 1949, orang-orang di wilayah timur yang dekat dengan ideologi Uni Soviet mendirikan Republik Demokrasi Jerman atau Jerman Timur. 

Tanah Berlin ikut terpecah: Sebagian jadi milik Jerman Barat, sebagian jadi kepunyaan Jerman Timur. Jerman Barat memilih Bonn sebagai pusat pemerintahan, sedangkan Berlin Timur ditunjuk sebagai ibu kota Jerman Timur.

Pembangunan Tembok Berlin. Foto: Wikipedia.

Meski sama-sama mengusung nama Jerman, kedua wilayah itu tidak pantas disebut sebagai pinang dibelah dua. Dukungan negara-negara barat dan kapitalis membentuk Jerman Barat sebagai negara kaya, maju, modern, dan memikat. Jerman Timur adalah sebaliknya. Negeri ini ibarat sarang kematian, tempat pengasingan bagi mereka yang tak lagi sanggup menjalankan hidup.

Anak-anak muda Jerman Timur tak mau hidup konyol, apalagi mati sia-sia. Eksodus besar-besaran dari timur ke barat terjadi, lalu mengamuklah pemerintah Jerman Timur.

Amukan tersebut adalah fondasi bagi tembok raksasa berukuran sepanjang 155 kilometer dengan tinggi 3,6 meter yang mulai dikerjakan pada 13 Agustus 1961. Jangan buru-buru mengecap bahwa tembok yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur sudah sedemikian megah sejak awal. Tadinya, yang terpasang sebagai batas negara cuma kawat duri yang direntangkan 100 mil di perbatasan Berlin Timur dan Berlin Barat.

Seiring membaranya kebencian, lapisan kedua Tembok Berlin dibangun. Akhir tahap ini adalah tembok raksasa yang dilengkapi dengan 300 menara pengawas yang dipersenjatai senapan otomatis, 30 bungker, beberapa pos perbatasan, serta pagar sinyal yang bisa mendeteksi penyeberang. 

Tembok Berlin adalah perpisahan paling mengerikan yang pernah menghantui hidup orang-orang Jerman.

***

Helmut Klopfleisch berdiri di tempat yang salah. Dia merupakan salah satu penggemar Hertha Berlin dan anti-komunis yang terjebak di Berlin Timur. Apa boleh buat, Tembok Berlin yang megah itu membuatnya tak lagi bisa menyaksikan laga Hertha yang merupakan tim Berlin Barat.

Memanjat tembok yang tingginya 3,6 meter itu mungkin tidak mustahil. Namun, tindakan itu hanya dilakukan oleh mereka yang bosan hidup. Jangan lupa dengan kamera pengintai dan senjata mematikan yang bahkan tak memberimu kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.

Klopfleisch tahu persis risikonya jika berbuat nekat. Makanya, ia mulai melakukan hal-hal yang cukup mbuh-mbuhan: Mulai dari berjongkok di depan Tembok Berlin ketika pertandingan digelar untuk mendengar sorak-sorai suporter dan menerka apa yang terjadi, hingga bergabung dengan perkumpulan suporter bawah tanah yang bertemu sembunyi-sembunyi di bar. Apa boleh buat, cinta memang sering membuat orang jadi mbuh-mbuhan alias tak jelas.

Mendukung klub sepak bola seharusnya bukan tindakan yang bisa membuat negara bubar. Namun, ketika itu Klopfleisch hidup di era perang ideologi dan politik. Kecintaannya pada Hertha justru diperhitungkan sebagai cikal-bakal pemborantakan. Lagi pula, sepak bola sejak dulu dipercaya sebagai salah satu kendaraan politik paling ideal.

Perkara-perkara demikian membuat Klopfleisch diintai melulu oleh Polisi Rahasia Jerman Timur atau Stasi. Konon, ketebalan catatan tentang Klopfleisch yang dipegang oleh Stasi sampai serupa Yellow Pages.

Sudah tahu diawasi oleh mata-mata negara, Klopfleisch masih suka kelayapan hingga ke Warsawa untuk mendukung Hertha Berlin bertanding. Tindakannya ini dipandang sebagai pengkhianatan terhadap paham komunis. Namun, bisakah label pengkhianat disematkan pada orang yang sejak awal menolak komitmen?

Pada 1985, Klopfleisch ditangkap karena memberikan kenang-kenangan berupa mainan berbentuk beruang kepada Franz Beckenbauer setelah laga Jerman Barat melawan Cekoslowakia. Jangan lupa bahwa beruang merupakan simbol Uni Soviet, negara yang menjadi kiblat dan penyokong Jerman Timur.

Kalau bertandang ke rumah Klopfleisch, orang-orang akan melihat album-album foto yang memamerkan keakrabannya dengan Roger Milla, Franz Beckenbauer, Karl-Heinz Rummenigge, Bobby Moore, dan Bobby Charlton.

Klopfleisch memang tidak menantang maut, tetapi mencari penyakit. Karena Hertha tak kunjung dapat berlaga di kompetisi Eropa, Klopfleisch merasa perlu untuk memiliki tim kelas Eropa yang bisa didukungnya. Alih-alih menambatkan hati pada tim Jerman Timur, ia malah menahbiskan diri sebagai suporter Bayern Muenchen yang juga merupakan tim Jerman Barat.

Ketika Bayern melakukan laga tandang Eropa ke tim-tim Jerman Timur, Klopfleisch malah hadir. Dari situ, ia memiliki ikatan yang cukup kuat dengan suporter dan manajemen.

Petinggi Bayern, Fritz Scherer, paham bahwa apa yang dilakukan Klopfleisch bisa membahayakan diri sendiri. Para pemain Bayern bahkan tak habis pikir dari mana Klopfleisch mendapatkan kekuatan dan keberanian macam itu. Atas dasar kekaguman tersebut, Scherer menghadiahkan Klopfleisch jersi Karl-Heinz Rummenigge lengkap dengan tanda tangan asli.

Sepak bola menurunkan neraka ke hidup Klopfleisch. Kegigihan mendukung tim-tim barat menjadikannya sebagai target Stasi terus-menerus. Klopfleisch mendapatkan ganjarannya. Ia dilarang untuk menjalani seluruh aktivitas yang berhubungan dengan sepak bola. 

Bagi orang awam, hukuman ini barangkali bukan persoalan besar atau sama sekali tidak menjadi masalah. Namun, Klopfleisch berbeda. Sepak bola adalah cat warna-warni yang membuat kehidupannya di Berlin yang awalnya kelabu menjadi semarak. Tanpa sepak bola, hidup Klopfleisch hanya tinggal diam menunggu mati.

Keluarga Klopfleisch juga terseret-seret. Dalam tulisannya di These Football Times, Simon Cripps menuturkan bahwa putra Klopfleisch, Ralf Klopfleisch, tidak dapat menerima pengobatan dan perawatan ketika terlibat adu tembak meski berstatus sebagai tentara. Pasalnya, keluarga Ralf dianggap sebagai musuh negara karena sepak bola sang ayah.

Mala dan pelik tak selesai sampai di sana. Pada 1986, sebenarnya Klopfleisch mengajukan permohonan untuk meninggalkan Jerman Timur. Semuanya terkatung-katung tanpa dikabulkan dan ditolak.

Lantas pada Mei 1989, ibu Klopfleisch sudah berhadapan satu lawan satu dengan maut di tempat tidur. Ketika ibunya sekarat, Klopfleisch malah didatangi oleh Stasi yang memberitahukan bahwa permohonannya untuk meninggalkan Jerman Timur dikabulkan.

Masalahnya, Klopfleisch diberi pilihan sulit. Ia harus angkat kaki saat itu juga atau tidak sama sekali. Jika bergeming, ia selamanya akan berada di Jerman Timur. Jika angkat kaki, ia membiarkan ibunya mati sebatang kara. 

Klopfleisch memilih untuk meninggalkan Jerman Timur. Beberapa jam setelahnya, sang ibu mengembuskan napas terakhir. Pukulan telak itu belum ditambah dengan kenyataan bahwa rumah Klopfleisch yang berjuluk California Kecil disita dan dihibahkan kepada pejabat Jerman Timur.

***

Sepak bola membuat Klopfleisch hampir kehilangan segalanya. Namun, orang-orang Berlin adalah rumah bagi para pemberontak. Lapangan bola Berlin adalah tanah yang subur untuk merawat perlawanan. 

Di sisi lain tembok raksasa itu, suporter Union Berlin yang merupakan tim Jerman Timur juga tak kalah gila. Di Stadion an der Alten Foersterei, suporter Union menyanyikan seruan anti-rezim pada setiap pertandingan.

Dalam periode penuh represi itu, suporter Union justru berkawan dengan Hertha. Mereka berulang kali diam-diam menyaksikan laga Hertha dengan menonton siaran televisi Jerman Barat. Suporter Union bahkan mendukung Hertha saat die Alte Dame berlaga di negara-negara Blok Timur, termasuk perempat final Piala UEFA 1978/79 di Praha.

11 November 1989 atau dua hari setelah Tembok Berlin runtuh, sekitar 15.000 suporter Hertha yang tinggal di Berlin Timur berkumpul di stadion untuk menyaksikan tim mereka berlaga. Rindu yang diperam selama 30 tahun itu akhirnya terwujud. 

Keruntuhan Tembok Berlin tak langsung melenyapkan segala persoalan. Krisis identitas selama tiga dekade adalah masalah baru yang merongrong kehidupan orang-orang Berlin. Akan tetapi, setidaknya mereka tidak lagi berhadapan dengan perpisahan tanpa akhir. 

Kalaupun kali ini harus ada yang membelah dan terbelah lagi, biarlah itu berhenti sampai di serangan yang membelah pertahanan lawan dan anugerah yang membelah tirai Bait Tuhan.