Teropong Paul Mitchell

Foto: asmonacodotcom

Bagaimana sepak terjang Paul Mitchell di dunia eksekutif sepak bola?

Dari luar lapangan, Paul Mitchell membangun standar yang tinggi tentang sepak bola.

Mitchell mulai bermain sepak bola di akademi Manchester City. Saat berusia 16 tahun ia dilepas karena dinilai lambat berkembang. Wigan melihat bakat Mitchell dan tidak pikir panjang untuk kembali menyekolahkannya di tim junior.

Keputusan Wigan mendatangkan Mitchell berbuah manis. Dari sosok anak buangan, Mitchell berubah jadi pemain kunci. Selama hampir tiga musim, ia jadi yang diandalkan, baik di dalam maupun di luar lapangan.

Prestasi terbaik Mitchell di Wigan adalah membawa mereka lolos ke Championship pada musim 2004/05 dan Premier League 2005/06. Sayang, tidak berlangsung lama, ia malah dilepas ke Milton Keynes Dons.

Di Dons, Mitchell kembali menjadi sosok vital di dalam tim. Jiwa pemimpin bahkan sempat menjadikannya kapten tim. Namun, Mitchell tidak mampu memberi Dons prestasi seperti yang ia lakukan di Wigan

Musim 2006/07 jadi titik balik bagi karier Mitchell. Berbagai macam cedera selalu memaksanya mengakhiri musim lebih cepat. Saat berusia 27 tahun, Mitchell mengumumkan pensiun dini setelah mengalami cedera tibia, fibla, dan ankle secara bersamaan.

Meski sudah memutuskan pensiun, Mitchell tidak bisa jauh-jauh dari sepak bola. Hubungan baik dengan chairman Dons, Pete Winkelman, membuat Mitchell mendapatkan jabatan sebagai staf khusus di tim utama.

Pekerjaan ini membuat Mitchell belajar banyak aspek, mulai dari yang berkaitan hingga yang tidak ada hubungannya dengan sepak bola. Dari banyak tugas yang dijalani, satu tugas yang paling menarik perhatiannya adalah rekrutmen dan akhirnya, Mitchell resmi diangkat sebagai kepala rekrutmen Dons.

“Semua mengira yang bakal ia lakukan sekadar mencari dan membeli pemain, dia menggunakan waktunya sebagai kepala rekrutmen untuk membangun jaringan dan menggunakan data dan analisis,” kata mantan pemain Dons, Aaron Wilbraham, kepada The Athletic.

Perubahan yang dibawa oleh Mitchell mengubah Dons dalam waktu singkat. Pada musim perdana sebagai kepala rekrutmen, ia berhasil menemukan nama-nama yang kelak jadi kunci permainan Dons. Setelahnya, ia berhasil memberikan tiket playoff dalam dua musim secara beruntun.

Cara Mitchell memimpin tim rekrutmen masuk ke radar Southampton. Kebetulan, saat itu kepala akademi Southampton, Les Reed, dipindahkan ke top level management. Kolaborasi keduanya dimulai saat Southampton bermain di Championship.

Kejutan dibuat oleh Southampton pada musim 2013/14. Saat itu, mereka berhasil mengakhiri kompetisi di urutan kedelapan meski di awal kompetisi sama sekali tidak difavoritkan. Yang membuat ia bangga, empat pemain reguler Southampton saat itu adalah temuannya, seperti Dejan Lovren, Nathanael Clyne, Jay Rodriguez, dan Artur Boruc.

Di akhir musim, sebagian besar nama-nama tersebut hijrah ke tim lain, termasuk manajer Mauricio Pochettino yang pindah ke Tottenham Hotspur. Kepergian masal diprediksi bakal membuat Southampton merosot.

Namun, siapa sangka, kombinasi Mitchell dan Reed membuat Southampton tidak menurun? Dengan memecahkan rekor belanja klub yang mencapai 96 juta euro, mereka justru makin perkasa dengan mengakhiri musim di urutan ketujuh.

Mitchell jadi kandidat utama saat Spurs memutuskan mencari kepala tim pencari bakat. Keberhasilan Spurs menemukan Dele Alli dan Son Heung-min dianggap jadi prestasi terbaik Mitchell di White Hart Lane.

“Merekrut pemain seperti membeli rumah,” kata Mitchell kepada The Athletic. “Sebelum membeli rumah, Anda harus mengecek semua. Kami mengumpulkan data semua pemain yang diincar, kami membandingkan mereka, dan menganalisis sebelum membuat keputusan.”

Kegagalan Spurs menjadi juara pada musim 2015/16 dan 2016/17 membuat Mitchell kecewa dan memutuskan pergi pada akhir musim 2016/17. Belum sempat beristirahat, beberapa tawaran datang.

Dua tawaran kabarnya datang dari Manchester United dan Paris Saint-Germain. Namun, bukan Mitchell namanya apabila tidak mencari tantangan. Pada akhirnya, ia justru menerima tawaran dari Red Bull Leipzig.

Mitchell masuk ke Leipzig bersamaan dengan revitalisasi tim usia muda yang dilakukan oleh Ralf Rangnick saat itu. Ketika itu, Ragnick menilai tim usia muda Leipzig jadi yang paling buruk sejak mereka berdiri pada 2009.

Satu cara yang dilakukan oleh Leipzig adalah merekrut beberapa pemain untuk tim U17 dan U19. Sejak cara tersebut diterapkan, mereka berhasil mendapatkan total tiga gelar untuk kompetisi U19 dan enam gelar pada kelas U17.

Jabatan terakhir Mitchell di Leipzig adalah sebagai technical director. Jabatan tersebut bertujuan untuk mengintegrasikan seluruh klub di jaringan Red Bull agar dapat menghasilkan pemain-pemain muda potensial, yang entah nantinya bakal bermain di salah satu klub milik Red Bull atau dijual ke klub lain.

Mitchell lagi-lagi tidak cukup puas dengan pencapaian tersebut. Investasi besar Monaco untuk pengembangan muda ternyata menarik perhatiannya. Kegagalan menjuarai Ligue 1 serta kian sedikitnya pemain muda yang moncer dari akademi membuat mereka berani memberi proyek ini ke Mitchell.

Mitchell diberi keleluasaan oleh Monaco; mulai dari pembangunan fasilitas pemain muda kelas state-of-the-art hingga mengurusi segala detail pemain dari usia muda sampai tim senior. Semua harus sesuai dengan keinginan Mitchell.

Dengan segala yang sudah diberikan kepada Mitchell, Monaco ternyata belum membaik. Dalam hampir dua musim terakhir, hanya sedikit pemain baru yang langsung nyetel dengan tim. Demikian pula dengan pemain akademi yang tidak mendapatkan tempat.

Di satu sisi, Monaco menghabiskan rata-rata 48,2 juta euro dalam dua musim terakhir. Angka tersebut meneruskan pengeluaran gila-gilaan Monaco dalam sembilan tahun terakhir yang tidak sebanding dengan prestasi di lapangan.

Ya, Mitchell tidak hanya tentang keberhasilan menemukan pemain muda dan menjadikan bakatnya terpenuhi, tetapi juga kegagalan yang berasal dari tingginya ekspektasi.