The Bourne Identity

Foto: Twitter @paulpogba

Saya mendedikasikan tulisan ini tidak hanya untuk Paul Pogba, tetapi juga orang-orang yang berubah di tengah jalan dan perlahan-lahan kehilangan jati diri mereka.

Paul Scholes tidak pernah banyak bertanya-tanya, berucap, atau mengumbar opini ketika masih menjadi pemain. Oleh karena itu, ada saja pendukung Manchester United yang sebal manakala Scholes mengeluarkan statement ngawur ketika sudah bekerja sebagai pundit. “Dunia lebih indah ketika Paul Scholes mingkem saja.”

Scholes memang begitu. Dalam dokumenter ‘Class of 92’, teman-temannya bercerita bahwa ia bukan orang yang banyak basa-basi. Kamar asramanya juga selalu rapi dan lebih sering berada dalam kondisi gelap. Sutradara ‘Trainspotting’, Danny Boyle, yang juga hadir dalam dokumenter tersebut, menyebutnya sebagai romantisme ideal seorang atlet: Latihan, main, mandi, pulang, selesai.

Artinya, kita tak akan menemukan Scholes terlibat tetek-bengek lain di luar lapangan. David Beckham boleh mengencani selebritas dan keluar-masuk pemberitaan tabloid, Ryan Giggs pada awal kariernya juga demikian. Scholes emoh terjebak klise serupa, padahal kalau mau berlaku sebagai superstar sepak bola, dia bisa saja.

Ketika Gary Neville bertanya, mengapa dia tidak bermain Twitter seperti kebanyakan pesepak bola lainnya, Scholes cuma menjawab singkat: “(Kalau isinya cuma) aku belanja ini atau itu, so what?

Tentu saja pada akhirnya Scholes bermain media sosial. Namun, itu pun ia lakukan ketika sudah pensiun. Scholes yang tak gemar basa-basi itu berubah. Kita kemudian mengenalnya sebagai bapak-bapak yang lebih sering menghabiskan waktu bersama anak-anaknya atau sesekali mengerjai mereka.

Scholes yang pendiam itu sudah tidak ada lagi. Sebagai gantinya, kita sering melihat dirinya dalam setelan jas dan bekerja sebagai pundit. Komentar-komentarnya, alih-alih menggali dan menganalisis dengan dalam, lebih sering ofensif dan bisa bikin panas kuping.

Banyak pemain dan pelatih jadi korban komentarnya; Louis van Gaal, Paul Pogba, Jose Mourinho, Anthony Martial, bahkan Manchester United sendiri. Tidak semua layak Anda perhatikan, memang, tetapi sebagian lainnya layak untuk dipikirkan.

Salah satunya adalah pernyataan soal Pogba: “Saya tidak tahu Paul Pogba yang di Juventus itu pergi ke mana.”

Foto: Twitter @RedMancunian

***

Saya tidak akan berbohong. Ketika Pogba kembali ke United pada musim panas 2016, saya berekspektasi macam-macam. Akhirnya, United memiliki seorang pemain dengan kemampuan untuk mendominasi lini tengah.

Pogba memang ajaib. Ia tidak sekadar bisa mengkreasikan peluang, tetapi juga menjadi opsi untuk mendulang gol dari lini kedua. Tekniknya pun mumpuni dan gerakannya amat liat, sepertinya sulit untuk merebut bola dari dirinya.

Anda tentu paham akan Pogba yang saya maksud. Empat musim perjalanannya di Juventus telah membuatnya berubah dari wonderkid biasa menjadi pemain kelas satu. Tentu saja United jadi terlihat dungu karena melepasnya dengan gratis meski Sir Alex Ferguson boleh saja tidak setuju dengan hal ini.

Namun, Pogba seperti lenyap begitu saja begitu mendarat di Manchester. Saya mengira, ia mungkin sedikit jenuh dengan sepak bola, lalu meminta seseorang yang mirip dengannya untuk menggantikannya bermain. Sekali atau dua kali, Pogba memang bermain. Namun, pada banyak kesempatan lainnya, ia mempersilakan sang stunt-man untuk mengambil alih.

Pernyataan Scholes itu pun menjadi valid. Dalam balutan kostum United, kita sering melihat Pogba tampil begitu brilian —bahkan, ia pernah menjadi kreator peluang terbanyak tim dalam satu musim— tetapi menghilang begitu saja pada pertandingan lainnya.

Kalau memang ia tidak meminta seorang impresionis untuk menggantikannya bermain di lapangan, boleh jadi Pogba tengah kehilangan jati dirinya. Pagi dia adalah Paul Pogba, sementara pada malam pertandingan ia adalah versi parodi dari dirinya sendiri.

Ada pertandingan-pertandingan saat ia tampil brilian (City vs United, 2-3, di Etihad, salah satunya), tetapi ada juga pertandingan-pertandingan ketika ia tampil begitu medioker (United vs Arsenal, 0-1, Old Trafford, belum lama ini).

Jika sedang jeblok-jebloknya, Pogba bisa dengan mudah salah oper atau kehilangan bola ketika ditekan lawan. Pada lain waktu, ia bisa dengan bodohnya melakukan kesalahan di boks yang berimbas pada penalti untuk lawan. Laga melawan Arsenal di Old Trafford, awal November 2020, lagi-lagi bisa menjadi contohnya.

Tentu, perkara taktik dan peran dalam permainan bisa menjadi faktor dari tak maksimalnya Pogba selama beberapa musim terakhir. Pertanyaan paling sederhana yang acap dikemukakan adalah, Pogba lebih cocok untuk dipasang agak ke dalam atau justru mendekati kotak penalti lawan? Melihat atributnya yang apik dalam mengkreasikan peluang, boleh jadi jawabannya adalah yang kedua.

Anggapan umumnya, Pogba biasanya tampil maksimal jika bermain sebagai gelandang tengah sebelah kiri, bukan sebagai gelandang serang ataupun gelandang bertahan. Sebagai komplemennya, ia bisa diberikan peran "free role"; harapannya, ia tahu kapan harus membantu melakukan serangan dan kapan harus mengatur permainan dari kedalaman.

Namun, United juga punya problem serupa: Mengenali diri mereka sendiri saja sulit, boro-boro menyusun skuat yang betul-betul seimbang dan struktur taktik yang utuh. Tujuh tahun setelah Sir Alex pensiun, yang mereka kerjakan masih bongkar-pasang puzzle hampir setiap musim.

So, United yang salah? Well, ada sejumlah momen di mana ketika taktik sudah beres, Pogba masih tampil melempem dan sering kehilangan bola. Jadi, sesungguhnya, melihat persoalan ini dari satu sisi saja tidak akan menjawab. Untuk menyepakatinya, mari kita anggap saja bahwa Pogba dan United bertemu pada waktu dan momen yang salah.

***

Prancis mengakhiri catatan tak terkalahkan mereka di laga internasional pada angka 12. Sudah sejak Juni 2019, mereka tidak pernah bertekuk di hadapan lawan hingga akhirnya Finlandia menundukkan mereka 2-0 di Saint Denis pada 11 November 2020.

Pogba tampil buruk pada pertandingan itu. Tak sampai satu jam bermain, ia sudah ditarik dan digantikan N’Golo Kante. Pelatih Les Bleus, Didier Deschamps, heran bukan main. Namun, ia sudah punya kambing hitamnya: Manchester United. Deschamps tak habis pikir bagaimana Pogba bisa kehilangan ritme selama membela United.

Hanya berselang tiga hari, Pogba berbalik tampil brilian ketika Prancis mengalahkan Portugal 1-0. Ia tak sekadar menjadi motor serangan di lini tengah, tetapi juga berulang kali memenangi duel untuk mendapatkan bola kembali.

Hal lain yang juga menjadi catatan dari pertandingan tersebut adalah seringnya Pogba menemukan ruang di lini pertahanan lawan dan melepaskan operan vertikal, sesuatu yang amat jarang kita jumpai di United.

Deschamps lagi-lagi menjadikan United sasaran tembak. “Selayaknya semua pemain yang bermain untuk kesebelasan yang tak memiliki situasi positif, mentalnya pasti terpengaruh. Saya mengenal dia dengan baik dan pada titik tertentu, itu pasti terjadi,” kata Deschamps.

Mereka yang lebih pragmatis memilih untuk menyikapi hal tersebut dengan menyoroti hal yang lebih eksak: Taktik. Pada pertandingan melawan Portugal, Pogba tampil bersama Kante di lini tengah —mereka saling mengisi. Sementara Pogba turun agak ke dalam, Kante, dengan daya jelajahnya, bisa merangsek ke depan. Dan begitu juga sebaliknya.

***

Pada suatu ketika, Alex Turner pernah berkeluh-kesah menyoal sulitnya hidup dengan berbagai persona. Orang-orang pernah mengenal dia sebagai pemuda culun dari Sheffield yang kebanyakan mengonsumsi diksi rumit dari kamus, lalu berubah menjadi playboy yang doyan menyisir rambut, hingga akhirnya bersalin menjadi seorang auteur yang tinggal di hotel mewah pada era 1970-an.

Ia menuliskan keluh-kesahnya pada ‘The Bourne Identity’, lagu yang ia gubah bersama Miles Kane untuk The Last Shadow Puppets.

Lewat ‘The Bourne Identity’ ia mengibaratkan dirinya sebagai Jason Bourne yang punya beragam identitas sehingga tak lagi mengenali dirinya sendiri. Ia bahkan mengaku sudah cukup lama tidak melihat jati dirinya yang asli.

Yang tersisa, kata Turner, tinggallah ego yang dasar botolnya nyaris pecah.