The Little Boy

Foto: Instagram @mikkeldamsgaard00.

Mari mendalami cerita perjalanan hidup Mikkel Damsgaard, bocah yang tak pernah berhenti mengasah diri hingga mencuat di Piala Eropa 2020, lewat sudut pandang orang pertama.

Ingatan soal awal mula aku menjejak dunia sepak bola masih melekat meski tidak sepenuhnya utuh. Salah satu ingatan paling jelas ketika Henrik mengajakku pergi ke tempat latihan Jyllinge FC yang jaraknya tidak jauh dari rumah kami.

Henrik tidak pernah mempedulikan rengekan yang aku lontarkan sepanjang perjalanan. Ia bersikukuh agar aku menyaksikan apa yang biasa ia lakukan di tempat latihan: Bersedekap, berteriak, dan bersiul, kepada anak-anak seusiaku yang berlari-lari menggiring bola.

Aku masih ingat bagaimana wajah Henrik saat meminta anak-anak di lapangan mengumpan ataupun menendang dengan benar. Tidak jarang Henrik meniup peluit yang melingkar di lehernya sambil berteriak-teriak. Sungguh menyeramkan.

Oh, ya, namaku Mikkel Damsgaard. Henrik adalah ayahku. Henrik dan keluargaku tinggal di Jyllinge, sebuah kota kecil di Denmark. Mayoritas warga Jylingge berprofesi sebagai nelayan dan petani.

Anak-anak Jyllinge sangat menggemari sepak bola. Jika tidak ditemukan di lapangan besar, mungkin mereka bermain di halaman belakang rumah. Aku tidak tahu apa alasan sepak bola jadi olahraga yang rutin dimainkan. Namun, setelah Henrik mendaftarkanku masuk Jyllinge FC, aku pelan-pelan memahaminya.

Awalnya, aku bermain sepak bola untuk bersenang-senang selepas pulang sekolah. Berlari-lari, menggiring bola, menendang, mencetak gol, dan berkelakar tentang apapun yang terjadi di sekolah. Semua terasa indah.

Tapi, Henrik memintaku untuk serius menekuni sepak bola. Setelah berlatih dengan Jylingge FC, Henrik memaksaku menambah jam latihan, baik di rumah atau tempat latihan.

Entah kenapa, aku mengikuti apa-apa yang diperintahkan Henrik. Setelah aku pikir-pikir, tampaknya Henrik ingin mimpi yang ia bangun sungguh-sungguh ketika masih remaja diwujudkan olehku. Ya, sebelum jadi pelatih Jylingge FC, Henrik bermimpi jadi pesepak bola profesional. 

Jika ada pertanyaan apakah keputusan menjadi pesepak bola lahir dari diriku sendiri, aku akan menjawab bukan. Henrik lah yang memutuskan aku bergelut dengan sepak bola. Pertama-tama aku keberatan, tapi lamat-lamat aku mencintai sepak bola. Ia jadi tempat yang menyenangkan.

Antusiasme Henrik melahirkan pesepak bola sangat tinggi. Aku masih ingat bagaimana Henrik berinisiatif mencari turnamen sepak bola anak-anak dan mendaftarkan Jylingge FC sebagai kontestan.

Dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu musim ke musim lain. Aku dan rekan-rekanku dipaksa bermain bola dengan serius. Kata Henrik, apa yang dilakukannya untuk menempa mental berkompetisi kami.

Pelan-pelan, apa yang dilakukan Henrik berpengaruh pada cara pandangku terhadap sepak bola. Aku bukan lagi anak-anak yang bermain sepak bola untuk senang-senang, melainkan berlaga untuk meraih kemenangan.

Berkat Henrik pula, aku selalu bermain dengan sungguh-sungguh dan memberikan yang terbaik dalam semua pertandingan. Ternyata karena Henrik juga aku bergabung dengan akademi Nordsjaelland.

Kata orang-orang, aku masuk ke sistem pembinaan pemain muda The Wild Tigers pada 2013. Setelah mencari tahu latar belakang tawaran itu datang, aku menemukan informasi yang mengejutkan. Kira-kira begini informasi yang aku dapat:

Talent scouting Nordsjaelland mendapat kabar ada pemain muda berbakat di Jylingge FC. Tentu saja itu bukan Mikkel Damsgaard, melainkan teman Damsgaard. Talent scouting bernama Rena Klark itu menyaksikan laga Jylingge FC. Saat mengamati pemain yang disarankan rekannya, tiba-tiba Rena melihat Damsgaard bermain impresif. Lalu, Rena memutuskan untuk memberikan tawaran kepada Damsgaard.

Tawaran itu tentu tidak aku sia-siakan. Lagi pula Henrik sudah pasti menyetujuinya.

Bagiku, Nordjsaelland memiliki sarana yang mendukung karier sepak bola anak muda sepertiku. Nordjsaelland memang bukan tim terbesar di Denmark. Masih ada FC Kopenhagen, Midtjylland maupun Broendy, yang punya pamor.

Tapi, aku merasa bahwa Nordjsaelland sangat bersahabat dengan pemain-pemain berbakat. Apalagi sejak diakuisisi Right to Dream pada 2016. Oh, iya, Right to Dream adalah akademi yang didirikan Tom Vernon, eks pemandu bakat tim kesayangaku yaitu Manchester United.

Kawan-kawanku di Nordjsaelland juga tidak hanya membuat aku gembira. Tetapi juga mengajari aku bagaimana mental seharusnya tidak menjadi persoalan.

Sejak itu, aku berkeyakinan bahwa mimpi Henrik bisa aku wujudkan. Asalkan, aku berlatih dengan keras dan mengerahkan semua kemampuan saat diberi kesempatan bermain. Di sana, aku benar-benar merasakan atmosfer sepak bola yang kompetitif. 

Dari banyak laga dan turnamen bersama Nordjsaelland, pertandingan melawan Benfica dan Inter Milan di Swiss yang paling aku ingat. Melawan tim besar Eropa, aku tidak gentar. Karena timku berisi pemain-pemain berbakat.

Pelatih Kepala akademi Nordjsaelland Alexander Riget memberitahuku bahwa orang tua pemain Benfica memberikan tepuk tangan kepadaku tanda pujian saat keluar dari lapangan. Tapi, aku tidak ingat akan peristiwa itu. Yang aku ingat, kami bermain fantastis.

Setelah itu, ada banyak hal yang aku lakukan di akademi Nordjsaelland untuk mengembangkan diri. Mulai dari melatih kemampuan dribel, mengumpan bola, mengkreasikan peluang, menendang bola, dan bertahan.

Di Nordsjaelland, semua berlalu sangat cepat.

Hingga suatu hari, kerja kerasku terbayar. Aku mendapat kabar untuk bergabung dengan tim utama Nordsjaelland dan berlaga di Superliga. Perasaanku senang bukan main. Bermain di Superliga adalah salah satu dari hal besar di hidupku. Aku tak mau berhenti meraih semuanya sejak saat itu.

Pelatih Nordsjaelland saat itu, Kasper Hjulmand, memberikan banyak kesempatan bagiku untuk bermain. 11 gol dan enam asis dari 35 pertandingan Superliga menjadi pembuktianku atas kepercayaan yang diberikan Hjulmand.

Apa yang aku dapat di Nordsjaelland terbawa hingga aku bermain untuk Sampdoria pada musim 2020/2021, termasuk julukan Il Ragazzino atau The Little Boy. Julukan yang aku sendiri tidak tahu dari mana berasal. 

Awalnya, aku mengira kepindahanku ke Sampdoria tidak akan berjalan mulus. Aku menyangka semuanya bakal menyedihkan. Namun, apa yang aku bayangkan tidak terjadi. Musim pertama bermain di luar Denmark, aku dapat mengintegrasikan diri dengan hal-hal baru, khususnya instruksi Pelatih Claudio Ranieri.

Memang catatanku pada musim perdana tidak bagus-bagus amat. Aku hanya tampil 18 kali dalam starting line-up dan merangkum dua gol serta empat asis di Serie A. Tapi, Ranieri malah menyebut aku sebagai anak ajaib.

Aku sangat terkejut saat Timnas Denmark memanggilku dan mendaftarkanku untuk bermain di Piala Eropa 2020. Aku tentu tidak berekspektasi banyak. Jadi penghuni bangku cadangan pun bukan masalah besar. Dapat menit bermain 10-15 menit saja sudah patut disyukuri sebagai pengalaman berharga.

Namun, insiden mengerikan yang menimpa pemain idolaku, Christian Eriksen pada laga perdana fase grup melawan Finlandia mengubah semuanya. Aku ditunjuk Hjulmand menggantikan peran Eriksen di lapangan.

Kesempatan itu harus aku bayar dengan performa terbaikku. Semua mungkin sudah tahu apa yang aku lakukan bersama Denmark di Piala Eropa 2020. Dua gol, satu asis. Hebatnya, satu gol berasal dari bola mati saat melawan Inggris di semifinal. Setelah gol itu, semua tidak baik-baik saja. Langkah Denmark terhenti.

Tapi, aku yakin, aku bisa jauh lebih baik daripada ini.