Thibaut Courtois: Menjawab Keraguan dengan Ketekunan

Foto: Twitter @thibautcourtois.

Tak ada jalan yang selamanya lurus dan mulus. Courtois paham itu. Kalau sekarang hidupnya di Madrid terlihat baik-baik saja, boleh jadi itu karena bagian terburuknya sudah ia lalui.

Fabian Orellana menerima bola dengan bebas di dalam kotak penalti Real Madrid. Penggawa Real Valladolid itu langsung melepaskan tendangan ke arah gawang.

Beruntung, Thibaut Courtois masih bisa melakukan penyelamatan. Bola muntah disambut Saidy Janko dengan sepakan yang juga keras. Namun, lagi-lagi Courtois menjatuhkan badannya untuk menghalau bola tersebut.

Penyelamatan Courtois bukan cuma dua kali itu saja. Pada babak kedua, Orellana kembali mendapat bola di dalam kotak penalti hasil blunder Ferland Mendy. Tanpa ba bi bu, Orellana langsung melepaskan tendangan ke arah gawang.

Courtois yang sedikit out of position masih bisa melakukan hal ajaib; ia menghalau bola tersebut. Mendy pun patut berterima kasih kepada Courtois. Sebab, blunder yang ia buat tak berujung gol untuk Madrid.

Adegan tersebut terjadi pada laga Real Valladolid vs Madrid, jornada ke-24 La Liga. Courtois menjadi bintang, El Real pun menang tipis 1-0.

Total, penjaga gawang asal Belgia itu membuat lima penyelamatan. Tak heran apabila ia menjadi man of the match laga tersebut.

***

Tak ada jalan yang selamanya lurus dan mulus. Courtois paham itu. Kalau sekarang hidupnya di Madrid terlihat baik-baik saja, boleh jadi itu karena bagian terburuknya sudah ia lalui.

Pada musim 2018/19, Real Madrid mendatangkan Courtois dari Chelsea. Dana sebesar 35 juta poundsterling plus Mateo Kovacic jadi imbalan yang diberikan Los Blancos kepada klub asal London Barat tersebut.

Keputusan Madrid membeli Courtois membuat beberapa pihak mengernyitkan dahi. Pasalnya, Madrid sudah punya penjaga gawang tangguh dalam diri Keylor Navas.

Perkara kiper-kiper Madrid awalnya berkawan akrab dengan keraguan, Navas juga mengalaminya. Terlebih, ia harus menggantikan kiper sekaligus kapten sekelas Iker Casillas. Namun, Navas menunjukkan bahwa ia bukan sekadar ban serep yang bersifat sementara.

Sebagai penjaga gawang, Navas tidak sekadar punya kemampuan, tetapi juga mental kokoh. Untuk klub sebesar Madrid, di mana pemain bisa dengan seenaknya dilepas dan diperjualbelikan, yang dibutuhkan memang lebih dari sekadar kemewahan kemampuan, tetapi juga keengganan untuk tunduk pada situasi memuakkan—sekaligus keengganan untuk mengeluh.

Kalau tidak percaya, tanya pada David Beckham dan Steve McManaman. Nama yang disebut terakhir bahkan mesti membuktikan berkali-kali bahwa dia tidak berniat numpang lewat hingga pemain sekaliber Raul Gonzalez memberinya respek.

Navas menghadapi adangan berulang kali. Setelah mendapatkan pandangan sebelah mata, ia juga sempat dijadikan alat barter untuk mendapatkan David de Gea dari Manchester United. Beruntung buat Navas, transfer itu batal karena masalah mesin faks pada menit-menit akhir.

Ia akhirnya bertahan dan membuktikan bahwa status sebagai kiper utama memang layak ia dapatkan kendatipun namanya tidak sebesar Casillas atau setenar De Gea. Baru pada 2018, ketika Courtois datang, ia sekali lagi mendapatkan tantangan.

Navas perlahan-lahan tersingkir hingga akhirnya pindah ke Paris Saint-Germain. Courtois mendapatkan pos utama itu. Namun, ia terlebih dulu mendapatkan hujan batu.

Wajar kalau para pendukung Madrid meragukan kemampuan Courtois. Kiper kelahiran 11 Mei 1992 itu kemasukan 13 gol di delapan pertandingan awal pada musim perdananya bersama Los Blancos.

Catatan Courtois pada musim perdananya untuk Madrid juga tak menggembirakan. Menurut talkSport, Courtois kebobolan 59 kali dari 43 pertandingan pertama bersama Madrid di semua kompetisi. Bandingkan dengan Navas yang cuma kemasukan 29 kali dengan jumlah pertandingan yang serupa.

Courtois cuma sanggup mencatat delapan clean sheet dari 27 laga yang ia lakoni. Dirinya juga hanya membuat 69 penyelamatan dari 104 upaya ke arah gawang yang diterimanya di pentas La Liga.

Kritik berdatangan untuk Courtois. Bahkan, pendukung Madrid menyebut kalau kiper berkaki kidal itu sebagai pembelian terburuk Los Blancos sepanjang masa.

Untuk memahami apa yang Courtois hadapi dan bagaimana ia menghadapinya, mari kembali ke persoalan McManaman.

McManaman, oleh mantan pelatihnya di Madrid, Vicente del Bosque, disebut sebagai caballero, seorang gentleman. Del Bosque bahkan tak ragu menyebutnya dan Geremi sebagai dua pemain terpenting dalam skuadnya—McManaman dan Geremi sukses membuat Los Blancos menjadi tim yang komplet.

Namun, untuk sampai pada titik itu, McManaman mesti bersusah payah. Tak mudah bagi pemain asal Inggris atau Britania untuk benar-benar sukses di luar negeri, terutama di Spanyol. Perbedaan bahasa dan gaya main biasanya menjadi penyebabnya.

McManaman pun tidak berbeda. Sempat berusaha ditepikan berulang kali, McManaman melawan. Namun, bukannya dengan cara mengeluh atau bergunjing ke sana-ke mari, melainkan dengan cara mengasah kemampuannya dan membuktikannya di lapangan.

Ketika McManaman datang, ruang ganti Madrid sedang tidak tenang. Dia adalah pembelian terakhir Guus Hiddink sebelum pelatih asal Belanda itu dipecat. Raul bahkan mengaku kasihan padanya karena dia datang pada saat yang tidak tepat.

Sekalipun musim perdananya terbilang sukses dengan raihan satu trofi Liga Champions—dengan dirinya ikut mencetak gol pada laga final tahun 2000—, posisi McManaman di dalam klub terus dipertanyakan. Seiring dengan kebijakan Galactico (pembelian pemain bintang) yang diterapkan klub, McManaman harus merelakan menit bermainnya perlahan-lahan berkurang.

Namun, sikap McManaman yang emoh tunduk pada keadaan dan memilih untuk tampil sebaik mungkin manakala dimainkan membuatnya mendapatkan respek dari para Galactico itu sendiri, dari Raul, Zinedine Zidane, Guti, Luis Figo, dan Ronaldo. Dua nama yang disebut belakangan bahkan menjadi teman baik McManaman dan berulang kali membelanya di hadapan media.

Ketika Sven Goran-Eriksson tak memasukkan namanya ke dalam skuad Inggris untuk bermain pada Piala Dunia 2002, sejumlah pemain Madrid pun membelanya. Bahkan, Zidane sampai mengatakan bahwa The Three Lions sudah melakukan kesalahan besar.

Kisah McManaman menunjukkan bahwa sekalipun Madrid adalah rimba yang kejam, kamu bisa menaklukkannya asalkan kamu bisa bersikap tegar tanpa tendensi sedikit pun untuk mengeluh.

Malah, McManaman bisa dengan nyamannya menikmati kehidupan di Madrid sampai pada titik dia nyaman berbahasa Spanyol dengan sedikit aksen scouse. “Una mas cerveza e uno vino tinto, por favor,” katanya pada suatu waktu. Kala itu, ia tengah melakoni wawancara dengan The Guardian di sebuah bar—McManaman dengan pede memamerkan kemampuannya memesan wine di hadapan wartawan The Guardian, Amy Raphael.

Courtois, yang lebih fasih hidup di Madrid, semestinya mendapatkan adaptasi yang lebih nyaman. Dia lebih fasih berbahasa Spanyol, pernah tinggal di Madrid ketika memperkuat Atletico Madrid, dan istrinya, Marta Dominguez, juga merupakan orang Spanyol.

Di luar itu, Courtois juga lebih memilih untuk menunduk dan bekerja dengan tekun. Kritik bisa ia bungkam kalau penampilannya di lapangan juga membaik.

Benar saja, pada musim berikutnya Courtois menggila. Sebanyak 18 clean sheet ia buat dalam 34 penampilan di pentas La Liga. Courtois juga melakukan 76 penyelamatan dari 96 tembakan yang mengarah ke gawangnya.

Jumlah kebobolan Courtois juga cuma 20. Madrid pun merengkuh gelar La Liga ke-34 pada musim tersebut (2019/20). Buat pelengkap, Courtois mendapatkan penghargaan Ricardo Zamora, tanda bahwa ia adalah kiper terbaik musim itu. Courtois mengalahkan Jan Oblak yang sukses memenangi trofi serupa pada empat musim beruntun sebelumnya.

Courtois bukanlah sosok sweeper kiper layaknya Manuel Neuer atau Ederson Moraes yang bisa mengirim umpan atau operan dari kedalaman. Courtois tipikal shot stopper yang mengandalkan ketenangan di bawah mistar. Dengan tubuh atletisnya, Courtois bisa menjangkau bola yang dilepaskan oleh pemain-pemain lawan.

Penyelamatannya dari tendangan Neymar saat Belgia bertanding melawan Brasil di perempat final Piala Dunia 2018 jadi yang paling diingat. Courtois bisa melompat dan menepis bola yang sudah diarahkan Neymar ke pojok gawang.

Meski memiliki tinggi 199 cm, Courtois tak menemukan kesulitan untuk mengantisipasi bola datar. Refleknya yang cepat membuat bola-bola datar bisa ia halau dengan baik.

Pertahanan Madrid pada musim 2020/21 sendiri tak bisa dibilang bagus. Rata-rata, gawang Madrid menerima 9,5 shots per pertandingan. Jumlah itu lebih banyak dari Barcelona yang cuma menerima 8,1 shots per laganya.

Dari catatan tersebut, 66% shots yang diterima Madrid berasal dari dalam kotak penalti. Itu artinya, lini belakang Madrid mudah sekali untuk ditembus oleh lawan.

Untungnya, Courtois yang berdiri di bawah gawang Los Blancos. Hingga saat ini, kiper kelahiran Bree, Belgia, itu sudah melakukan 55 penyelamatan untuk Madrid di La Liga. Courtois juga sudah mencatat 11 kali clean sheet, tujuh kali lebih sedikit dari apa yang ia buat di musim lalu.

Kalau jalan berbatu sudah berhasil ia lewati, Courtois kini tinggal mempertahankan performanya. Madrid memang rimba yang kejam. Namun, seperti yang terjadi pada McManaman, ia juga bisa memberimu pemujaan kalau kamu bisa membuktikan diri.