Tiang Listrik dan Berlian dari Bosnia-Herzegovina

Selebrasi Edin Dzeko. Foto: @ed_dzeko

Ada begitu banyak cerita dalam perjalanan Edin Dzeko. Dari perang, tiang listrik, sampai berlian dari Bosnia-Herzegovina.

Hanya desing peluru dan dentuman bom yang mampu menghentikan Edin Dzeko bermain sepak bola.

Usia Dzeko baru enam tahun pada 1992. Ia belum banyak mengerti dunia, termasuk pecahnya Perang Bosnia. Yang ia tahu saat itu, sirene menjadi tanda bahwa ia harus segera mengakhiri pertandingan.

Dzeko kecil menyukai sepak bola dengan teramat sangat. Ia rutin menggiring bola di lapangan sekitar rumah. Ada banyak orang yang ia ajak berduel olah bola. Tidak ada batas waktu bermain. Namun, jika sirene berbunyi dan ibunya, Belma, berteriak-teriak, ia akan bergegas pulang.

Lapangan sekitar tempat tinggal Dzeko tidak hanya menjadi ruang paling menyenangkan, tetapi juga area berbahaya. Bom bisa saja sewaktu-waktu menghantam dan meluluhlantakkan lapangan. Selongsong peluru bisa saja nyasar dan merenggut sukacita anak-anak penggila sepak bola.

Dzeko kecil jelas membayangkan dunia yang damai, dunia yang disesaki waktu untuk bermain sepak bola. Ia tentu tidak ingin dunia dan kehidupannya dipenuhi ketakutan karena desing peluru dan dentuman bom datang bertubi-tubi.

Meski harus bertahan hidup dalam ketakutan, gairah sepak bola Dzeko tetap meletup-letup. Bayang-bayang soal asiknya bermain sepak bola berputar-putar di benak Dzeko.

“Saya selalu menyukai sepak bola, saya tidak bisa bernapas tanpa sepak bola, bahkan selama perang," kata Dzeko kepada The Guardian.

Perang Bosnia memang memaksa Dzeko berhenti bermain sepak bola, tetapi tidak bisa meredupkan cita-citanya menjadi pesepak bola profesional. Ia pun mampu merawat cita-citanya itu dengan sebaik mungkin sampai Perjanjian Dayton yang mengakhiri Perang Bosnia disepakati pada 21 November 1995.

Hidup di tengah konflik merupakan pengalaman mengerikan yang sulit dienyahkan. Namun, Dzeko tidak mau pengalaman itu hanya menghidupkan ketakutan. Jika hidup sedang tidak baik-baik saja, misalnya, Dzeko akan mengingat betul apa yang terjadi selama Perang Bosnia.

"Saya benci kalah, saya benci ketika melewatkan peluang menjadi gol, tetapi hal-hal seperti itu harus terjadi dalam sepak bola. Kemudian saya duduk, berpikir tentang apa yang benar-benar mengerikan dalam hidup," kata Dzeko.

"Saat-saat ketika saya tidak punya apa-apa untuk dimakan, diminum, atau pakaian untuk dikenakan. Saya dan semua orang di sekitar saya akan melihat bahwa hidup saat ini sudah baik-baik saja."

***

Lahir di Sarajevo, Dzeko tumbuh sebagai bocah penggila sepak bola. Setelah Perang Bosnia, kegilaan Dzeko kepada sepak bola semakin menjadi-jadi. Ia seperti tidak mau melewatkan satu menit pun ketika kesempatan bermain sepak bola dengan aman datang.

Dzeko mendapat dukungan penuh dari sang ayah, Midhat. Midhat menjadi orang pertama yang mengirim Dzeko ke akademi Zeljeznicar. Ia rela meluangkan waktu dan duit untuk mengawal anaknya menjadi pesepak bola profesional, cita-cita Midhat yang tak pernah terwujud.

Waktu tempuh ke tempat latihan sekitar satu jam lebih. Dzeko dan Midhat biasanya menggunakan moda transportasi bus dan trem. Setelah itu, mereka berdua melakukan perjalanan tersebut betahun-tahun.

Jusuf Sehovic, pelatih pertama Dzeko di akademi Zeljeznicar, mengingat banyak hal soal anak asuhnya itu. Menurut Sehovic, Dzeko adalah bocah yang sangat bergairah dengan sepak bola. Tak ada sesi latihan yang Dzeko lewatkan. Dan tak ada musim yang dilalui akademi Zeljeznicar tanpa Dzeko.

"Dia berusia delapan tahun saat datang, tapi dia sudah memiliki tubuh atletis, cepat, dan gesit. Saya langsung menyadari bahwa dia memiliki kualitas," kata Sehovic dalam video dokumenter Roma Story|Edin Dzeko.

Saat Bosnia-Herzegovina memulihkan diri pascaperang, Zeljeznicar tidak banyak menuntut. Mereka membebaskan anak didiknya untuk berlatih. Ada jadwal yang sudah tersusun dan materi yang disiapkan memang, tetapi bangkit dari perang adalah yang utama.

Namun, Dzeko dan Midhat tidak demikian. Mereka akan mengunjungi Stadion Zeljeznicar yang sempat runtuh akibat bom ketika waktu latihan tiba. Dzeko belajar banyak hal dengan sungguh-sungguh, sedangkan Midhat berdiri di pinggir lapangan memperhatikan anak kesayangannya.

"Dia tidak pernah melewatkan satu sesi latihan pun dan tidak pernah ingin meninggalkan lapangan," kata Sehovic. "Dia adalah pembelajar yang cepat dan akan mengatasi masalah teknis dengan cepat juga."

Hanya butuh empat tahun bagi Sehovic untuk meyakini bahwa Dzeko benar-benar pemain potensial. Kapasitas dan kapabilitas Dzeko dalam mengolah si kulit bundar berkembang cukup pesat. Semua orang Zeljeznicar memberikan atensi yang besar kepada Dzeko, termasuk pelatih Zeljeznicar U-19, Amar Osim.

Sehovic menyarankan banyak hal kepada Osim untuk meningkatkan kualitas Dzeko, mulai dari menambah jam latihan sampai memberikan kesempatan bermain yang lebih kepada Dzeko. Semua saran Sehovic diwujudkan oleh Osim.

"Dzeko adalah anak laki-laki yang baru saja melewati betapa mengerikannya perang. Akan tetapi, saat bermain dengan U-19, dia langsung mencetak empat gol," kata Sehovic.

Dzeko masih mengingat betul empat gol yang ia lesakkan dalam debutnya bersama Zeljeznicar U-19. Ia juga masih mengingat bagaimana julukan kloc atau tiang lampu datang kepadanya.

"Saya benar-benar tinggi sekitar enam kaki, tetapi berat badan hanya 75-78 kg. Jadi saya benar-benar seperti apa yang orang pikirkan," ucap Dzeko.

Ingatan Dzeko soal panggilan pertama untuk memperkuat tim utama pun masih melekat dan utuh. Saat itu, ia masih berusia 17 tahun. Panggilan membahagiakan itu datang ketika Dzeko dan Midhat sedang berada di pusat perbelanjaan.

Tiba-tiba telpon Dzeko berdering. Ia kemudian menjawab panggilan tersebut. Raut wajahnya berubah drastis seperti anak kecil baru mendapatkan permen dari banyak orang. Midhat pun langsung bertanya dari siapa panggilan tersebut dan apa tujuannya.

Dzeko menjawab pertanyaan Midhat dengan tegas bahwa ia akan memperkuat tim utama. Mereka pun langsung bersukacita di tengah-tengah kesibukan orang-orang yang sedang berbelanja.

"Jika saya punya mimpi, itu adalah bermain untuk tim senior Zeljeznicar. Itu untuk membuat ayah bangga, karena dia tidak pernah menjadi pemain profesional meski bermain sepak bola sepanjang waktu," tulis Dzeko di The Players Tribune.

Hanya butuh dua tahun bagi Dzeko untuk memulai karier sepak bola di luar Sarajevo, Bosnia-Herzegovina, setelah klub divisi dua Republik Ceko, Teplice, menaruh minat kepadanya.

Di Republik Ceko, Dzeko belajar banyak. Selain soal bagaimana mengasah ketajaman, ia belajar cara memperkuat mentalitas. Jauh dari keluarga untuk kali pertama tentu bukan hal mudah. Ada banyak pengorbanan dan kekhawatiran yang mengiringinya.

Saudara perempuan Dzeko, Merima, menjadi orang yang paling khawatir. "Dia masih sangat muda dan waktu itu pertama kalinya ia tinggal jauh dari rumah. Kami tidak tahu bagaimana ia akan mengurus dirinya sendiri dan menghindari banyak godaan," kata Merima.

Namun, Dzeko mampu menjawab kekhawatiran itu dengan gemilang. Dua tahun bertualang di Ceko, ia kemudian pergi ke Jerman setelah Vfl Wolfsburg mengendus bakatnya dan merekrutnya di musim 2007.

Pertualangan Dzeko bersama Wolfsburg langsung berjalan mulus. Ia langsung menjadi pilihan utama di lini depan dan merangkum 8 gol serta 5 asis pada musim pertamanya berlaga di Bundesliga. Ia juga berkontribusi besar mengantarkan Wolfsburg finis di posisi lima klasemen akhir Bundesliga 2007/08.

Thanks to Felix Magath, arsitek Wolfsburg saat itu, yang memberikan latihan keras kepada Dzeko untuk terus meningkatkan kualitas. Ada banyak pelajaran yang Dzeko ambil dari Magath. Salah satunya adalah bagaimana menjadi penyerang yang haus gol.

"Sesi latihan berlangsung sulit, tetapi kami memiliki pelatih hebat dan dia memberi saya banyak hal. Dia benar-benar membantu karier saya," ucap Dzeko.

Insting mencetak gol Dzeko pun semakin ganas pada musim berikutnya. Rangkuman gol Dzeko melonjak tiga kali lipat yakni 26 gol pada musim 2008/09. Puncaknya, Wolfsburg mengakhiri musim sebagai juara.

Dzeko masih mampu menjaga performa dan ketajaman pada musim berikutnya dengan mengemas 22 gol dan 6 assist. Namun, ia gagal mempertahankan gelar juara.

Jumlah gol Dzeko merosot tajam pada musim 2010/11. Ia hanya merangkum 10 gol. Penurunan tersebut berdampak pada Wolfsburg yang mengakhiri musim di peringkat 15.

Ketika sedang mengalami masa sulit, Dzeko mendapat tawaran untuk bergabung Manchester City yang saat itu berambisi besar meraih trofi Premier League setelah dimiliki konglomerat asal Uni Emirat Arab Sheikh Mansour pada September 2008.

Keraguan jelas membayang-bayangi kedatangan Dzeko. Ia pun gagal bersaing dengan striker-striker City lainnya. Mengacu FBref, ia hanya delapan kali masuk starting line-up pada musim 2010/11. Menit bermain yang minim berpengaruh juga pada produktivitas Dzeko. Ya, ia cuma mencatatkan dua gol dan dua asis.

Bukan Dzeko namanya jika menyerah pada keadaan. Sudah banyak situasi sulit yang membuatnya jatuh. Namun, ia selalu berhasil melesat setelahnya. Musim 2011/12, Dzeko laik mendapatkan label striker kelas dunia.

Oke, Sergio Aguero adalah pahlawan City usai mencetak gol kemenangan di masa injury time saat melawan Queens Park Rangers pada pekan terakhir Premier League 2011/12 . Gol Aguero pun yang memastikan City merengkuh trofi Liga Inggris untuk kali pertama setelah 44 tahun.

Namun jangan lupakan Dzeko. Meski memulai laga dari bangku cadangan, Dzeko berhasil mencetak gol penyeimbang City pada menit ke-90. Gol itu tidak hanya membuat laga menjadi 2-2, tetapi juga menghidupkan kembali harapan yang sempat mati.

"Saya pikir kami sudah mati. Sepertinya tidak ada yang bisa menangani tekanan. Kami semua berpikir bahwa kami telah mengacaukannya. Setelah musim yang hebat, kami akan kehilangan segalanya dalam satu pertandingan," kata Dzeko. "Kemudian kamu tahu sendiri apa yang terjadi."

Selama lima musim bertualang di City, Dzeko merangkum 72 gol dari 189 laga di semua kompetisi. Selain itu, ia juga menggamit dua trofi Premier Leagus. Trofi pertama pada musim 2011/12, sedangkan gelar juara berikutnya musim 2013/14.

Pada musim 2015/16, Dzeko bergabung dengan AS Roma sebagai pinjaman. Namun, musim berikutnya, Roma mempermanen Dzeko. Enam musim ia habiskan di Roma, tetapi tidak ada trofi yang ia rengkuh bersama Roma. Prestasi satu-satunya selama memperkuat Roma adalah gelar topskorer Serie A musim 2016/17.

Meski begitu, gairah Dzeko selama memperkuat Roma begitu meletup-letup. Ada banyak faktor yang membuat Dzeko mencintai Roma. Salah satunya, atmosfer sepak bola Italia. Ia dengan yakin mengatakan Roma sebagai rumah kedua setelah Sarajevo.

Roma pun bersedia mendokumentasikan perjalanan Dzeko di dunia si kulit bundar, mulai dari masa kanak-kanak sampai membela Roma. Lika-liku dan rekaman Dzeko bertanding di usia muda tersiar dengan paripurna.

"Orang-orang di sana (Roma) tergila-gila dengan sepak bola. Tentu saja dengan cara yang positif," kata Dzeko kepada The Guardian. "Di Manchester, saya bisa keluar untuk makan malam atau berjalan-jalan. Ada beberapa orang akan menghentikan saya dan dengan sopan mengajak berfoto."

"Di Roma, tidak mungkin bagi saya untuk berjalan seperti biasa. Mereka bersemangat, mencintai klub dan pemain mereka. Mereka memberikan perhatian yang sangat besar...... Itu adalah gairah dan cinta kepada sepak bola yang seharusnya."

Namun, perjalanan Dzeko bersama Roma harus berakhir musim 2020/21. Dzeko memilih Inter Milan sebagai pelabuhan terbarunya. Kedatangan Dzeko ke Inter disesaki keraguan dan pertanyaan.

Ada yang menyebut perekrutan Dzeko sebagai panic buying Inter setelah melepas Romelu Lukaku ke Chelsea. Ada juga yang menilai kedatangan Dzeko sebuah kesalahan. Dzeko dinilai tidak dapat menggantikan peran Lukaku sebagai sumber gol, apalagi usia Dzeko sudah 35 tahun. Pergantian yang tidak tepat.

Semua keraguan dan penilaian negatif orang-orang tidak membuat ambisi Dzeko mengerut. Buktinya, ia masih menjadi pencetak gol terbanyak Inter sampai pekan ke-11 Serie A 2021/22 dengan rangkuman 7 gol.

Yang membuat Dzeko tetap spesial bersama Inter adalah penyelesaian akhir. FBref mencatat, expected goals (xG) Dzeko surplus 3,1. Selain mencetak gol, Dzeko pun menjadi tower lini depan Inter. Fungsinya untuk memantulkan bola yang kemudian disebarkan ke rekan-rekannya saat bermain direct dan mengandalkan serangan balik.

Dzeko pun bisa menjadi pemecah kebuntuan. Laga Inter vs Sassuolo pada pekan ketujuh Serie A 2021/22 bisa menjadi bukti sahih. Dalam laga itu, Dzeko bermain pada menit ke-55. Hanya butuh satu menit bagi Dzeko untuk mencetak gol dan membuat skor menjadi 1-1.

Selain gol, penalti yang didapatkan Inter pada menit 78, tidak lepas dari kemampuan Dzeko dalam membaca ruang dan menggiring bola. Apa yang sudah dilakukan Dzeko seperti menyetop nada-nada sumbang yang sempat bertalu-talu. Tinggal bagaimana Dzeko tampil konsisten.

***

Julukan tiang listrik kepada Dzeko pun berubah menjadi berlian dari Bosnia-Herzegovina berkat pencapaiannya.

Predikat pencetak gol terbanyak sepanjang massa Bosnia-Herzegovina membuat julukan tersebut laik diberikan. Ya, Dzeko merangkum 60 gol dari 118 laga.

Dzeko mungkin akan pensiun beberapa tahun lagi. Bisa 3 tahun atau 4 tahun lagi. Selepas pensiun, tidak ada yang tahu bagaimana karier Dzeko. Apakah akan menjadi pelatih? Membuka akademi di negara asalnya? Atau pundit?

Jika melihat kegilaan dan kecintaan Dzeko kepada sepak bola yang teramat sangat, ia mungkin tidak akan jauh-jauh dari dunia si kulit bundar. Dunia yang membuatnya hidup baik-baik saja setelah begitu akrab dengan desing peluru dan dentuman bom.

"Sepak bola adalah cinta pertama saya. Ini juga yang menjadi alasan mengapa saya tidak melihat diri saya sebagai bintang. Saya hanya melihat diri saya sebagai orang yang beruntung."