Torino vs Juventus: Era Baru Derby della Mole

Foto: Tifo suorter Torino di Stadio Olimpico. (Twitter/@TorinoFC_1906)

Dengan hardcore punk football-nya, Ivan Juric membuat Torino jadi salah satu tim paling berbahaya di Serie A. Namun, di sisi lain, sifat asli Juventus mulai terlihat. Pertemuan keduanya menandai era baru Derby della Mole yang lebih kompetitif.

Ada rentang 12 tahun yang memisahkan kiprah Ivan Juric di Timnas Kroasia junior dan debutnya bersama Timnas senior. Juric memperkuat Timnas Kroasia U-21 dari 1995 hingga 1997. Akan tetapi, setelah itu progresnya mandek. Meskipun memiliki kemampuan cukup bagus dan bisa bermain di lebih dari satu posisi, Juric tak mampu bersaing dengan nama-nama besar yang mengangkat persepakbolaan Kroasia di paruh kedua 90-an.

Kesempatan memperkuat Timnas Kroasia itu akhirnya baru tiba di senjakala kariernya. Pada 2009, pelatih Kroasia, Slaven Bilic, akhirnya memanggil Juric ke timnas senior. Juric melakoni debut pada laga persahabatan menghadapi Lithuania dan, secara total, lima caps berhasil dikumpulkannya.

Apa yang dicapai Juric pada senjakala kariernya itu tidak bisa dipisahkan dari peran Gian Piero Gasperini. Sejak 2001, Juric sudah berkiprah di Italia. Selama lima tahun dia memperkuat Crotone. Di situlah dia pertama kali bertemu dengan Gasperini. Akhirnya, pada 2006, ketika Gasperini ditunjuk menangani Genoa, Juric pun dibawanya serta.

Sebagai pelatih, nama Gasperini mencuat di Genoa. Sistem 3-4-3 kesayangannya itu membawa Genoa tampil cantik dan energik. Dalam skema Gasperini itu, Juric yang serbabisa mendapat banyak kesempatan. Meski lebih kerap menghuni lapangan tengah, tak jarang pula dia dipercaya menyisir sisi tepi.

Namun, hubungan Gasperini dengan Juric tidak berhenti di relasi antara pelatih dan pemain. Hubungan kedua sosok ini lebih mirip hubungan Mr. Miyagi dengan Daniel LaRusso di "Karate Kid". Mereka adalah guru dan murid. Kedekatan mereka pun akhirnya mengubah hidup Juric. Meski akhirnya berhasil mendapatkan kesempatan di Timnas Kroasia pada usia 34 tahun, tak lama setelah itu Juric memilih gantung sepatu. Alasannya, karena dia ingin segera menjadi pelatih.

Jalan Juric sebagai pelatih tak selamanya mulus. Bahkan, kegagalan memalukan sudah beberapa kali dialaminya. Juric memulai karier kepelatihan dengan menjadi anggota staf Gasperini saat ditunjuk menjadi pelatih Internazionale. Hanya lima laga membesut Nerazzurri, Gasperini dipecat beserta staf-stafnya, termasuk Juric.

Lalu, saat melatih Genoa pada 2017, Juric juga pernah dipecat secara tidak hormat. Penyebabnya, Genoa kalah telak 0-5 dari Pescara. Namun, kegagalan-kegagalan itu tak bisa sepenuhnya diatribusikan kepada Juric. Dipecatnya Gasperini dari Inter adalah buah dari buruknya regenerasi klub yang akhirnya berujung pada dekade dekadensi.

Sementara itu, Genoa adalah klub yang tak pernah berkawan karib dengan stabilitas. Pemilik lama mereka, Enrico Preziosi, dikenal tidak sabaran dan doyan bongkar pasang pelatih. Padahal, investasi yang dilakukannya jarang sekali memadai. Sangat bisa dimaklumi jika pelatih mana pun bakal kesulitan menangani Genoa dalam jangka panjang.

Bagi Juric, kegagalan hanyalah bagian dari hidup. Lagipula, dia tahu persis seperti apa kemampuannya. Tengok bagaimana dia membawa Crotone promosi ke Serie A untuk kali pertama pada 2015. Lalu, lihat pula bagaimana pria kelahiran 25 Agustus 1975 itu membawa Verona, yang berstatus tim promosi, finis di urutan 9 Serie A musim 2019/20. Singkat kata, Juric adalah pelatih berkualitas.

Gaya main yang diterapkan Juric sangat mirip dengan sepak bola milik Gasperini. Pakem 3-4-3 atau 3-4-2-1 senantiasa menjadi andalan. Lewat formasi dasar itu, tim-tim asuhan Juric menerapkan sepak bola hardcore punk: Simpel, cepat, dan menohok. Dalam beberapa kesempatan, tim asuhan Juric mungkin tidak terlihat seagresif Atalanta asuhan Gasperini. Namun, ini terjadi karena tim-tim asuhan Juric tak punya pemain sebaik La Dea.

Pada awal musim 2021/22, kesempatan bagi Juric untuk membangun Atalanta-nya sendiri datang. Torino, raksasa Italia yang lama terlelap, menunjuknya jadi pelatih kepala. Torino memang tidak sekaya tetangganya, Juventus. Namun, dari tahun ke tahun, mereka sebetulnya cukup punya kemampuan untuk mendapat pemain yang mereka inginkan. Selain itu, Torino pun sampai sekarang bisa mempertahankan pemain-pemain yang mereka butuhkan, terutama kapten Andrea Belotti.

Torino tidak seperti Crotone yang memang tak punya banyak uang, Genoa yang selalu punya guncangan internal, atau Verona yang tak kuasa menahan kepergian bintang-bintangnya. Torino punya sumber daya lebih dan bisa memberikan apa yang selama ini dicari oleh Juric: stabilitas.

Saat ini, Torino masih berada di 10 besar Serie A, tepatnya di urutan kesembilan. Jika ditilik dari segi hasil, prestasi Il Toro memang belum sepenuhnya memuaskan. Dari enam kali bermain, mereka menang dua kali, bermain imbang dua kali, dan kalah dua kali. Namun, jika dilihat dari sisi permainan, Torino punya potensi amat besar. Salah satu contoh terbaru adalah bagaimana mereka bisa membungkam Lazio di nyaris sepanjang laga pada giornata kelima.

Meski tak dominan dalam penguasaan bola, Torino mampu menyumpal distribusi bola Lazio lewat pressing ketat yang dilakukan para pemainnya. Perlu dicatat, pemain-pemain asuhan Juric selalu melakukan man-to-man marking yang membuat pemain rentan melakukan kesalahan. Pada laga melawan Lazio itu sendiri, Torino akhirnya harus puas dengan hasil imbang setelah Ciro Immobile sukses mengeksekusi penalti di masa injury time babak kedua.

Jika pressing ketat dan man-to-man marking jadi andalan kala kehilangan bola, saat menguasai bola para pemain Torino bisa mengalirkan bola dengan cepat terutama lewat sisi sayap. Ini persis seperti apa yang dilakukan Gasperini bersama tim-tim asuhannya selama ini. Sisi sayap menjadi senjata utama sampai-sampai trio bek tengah pun senantiasa diinstruksikan untuk melebar.

Lewat permainan demikian, Torino pun tak lagi bergantung pada Belotti (yang tengah cedera) untuk membobol gawang lawan. Sampai sekarang, mereka sudah memiliki delapan pencetak gol berbeda, di mana Marko Pjaca yang merupakan penyerang sayap menjadi topskorer sementara dengan dua gol. Ini artinya, Torino bisa mengancam dari berbagai sisi dan bermacam situasi.

Nah, Torino inilah yang bakal jadi ujian terbaru Juventus pada Sabtu (2/10/2021) malam WIB. Torino yang mampu menampilkan sepak bola intensitas tinggi. Torino yang kolektif. Torino yang memiliki semangat baru. Torino yang sangat mungkin mengakhiri rekor tak pernah menang sejak 2015.

Ya, rekor Torino dalam Derby della Mole memang sangat, sangat buruk. Sudah enam tahun berlalu sejak mereka terakhir kali menang atas Juventus. Kemenangan di 2015 itu sendiri merupakan kemenangan pertama mereka dalam 20 tahun. Artinya, selama kurang lebih seperempat abad, juara Italia tujuh kali ini cuma bisa menang sekali atas saudara tuanya.

Bukan rahasia apabila Juventus seringkali kesulitan menghadapi tim yang mampu memberi mereka tekanan sampai ke area pertahanan. Namun, perlu dicatat pula bahwa Juventus saat ini tengah berada dalam grafik menanjak. Usai menang dua kali beruntun di Serie A atas Spezia dan Sampdoria, pasukan Max Allegri itu juga sukses menundukkan juara bertahan Chelsea di ajang Liga Champions. Perlahan tapi pasti, sentuhan Allegri mulai kembali.

"Sentuhan Allegri" itu sendiri punya dua arti. Yaitu, bagaimana Juventus lebih cerdik dalam menyikapi situasi di lapangan dan bagaimana mereka mampu meraih kemenangan meski tak tampil menawan. Juventus memang masih akan tanpa Paulo Dybala dan Alvaro Morata. Namun, pada pertandingan melawan Chelsea, kolaborasi Federico Bernardeschi dan Federico Chiesa terbukti mampu jadi pembeda. Ya, Juventus memang punya kedalaman skuad yang bakal bikin iri tim Serie A mana pun.

Dengan begini, Derby della Mole perdana di musim 2021/22 ini berpotensi menjadi Derby della Mole paling sengit dalam beberapa tahun terakhir. Torino, yang akan bertindak sebagai tuan rumah di Stadio Olimpico Grande Torino, memiliki semangat baru yang terwujud dalam sosok Juric. Sebaliknya, sifat asli Juventus mulai terlihat. Rasanya, hasil akhir pertandingan ini bakal ditentukan oleh detail-detail kecil seperti kealpaan pemain atau aksi spektakuler yang tak terduga.