Un-Wreck It, Ralf

Foto: Odd Andersen.

Ada ironi bahwa orang-orang Inggris punya rivalitas bertepuk sebelah tangan dengan Jerman. Namun, pelatih-pelatih Jerman kini justru mendapatkan tempat tersendiri di Premier League. Setelah Juergen Klopp dan Thomas Tuchel, kini ada Ralf Rangnick.

Football is a simple game; 22 men chase a ball for 90 minutes and at the end, the Germans win.”

Ketika mengucapkan kalimat tersebut, Gary Lineker sedang patah. Negaranya, Inggris, sedang jemawa-jemawanya waktu itu. Piala Eropa 1996, yang berlangsung di negara sendiri, mereka gadang-gadang bakal jadi momen penting kepulangan sepak bola.

Sebagai negeri yang mengaku sebagai rahim sepak bola, Inggris belum pernah meraih apa-apa lagi setelah Piala Dunia 1966. Mereka gumun. Ketika Timnas mereka melaju sampai babak semifinal Piala Eropa 1996, impian melihat sepak bola kembali sedikit lagi terwujud.

Yang menghalangi mereka dengan babak final adalah Jerman. Bagi Inggris, Jerman adalah rival. Buat Jerman, rival mereka adalah Belanda. Maka, pertandingan melawan Die Mannschaft di semifinal sesungguhnya lebih berat kepada Inggris.

Seperti yang Lineker katakan, Inggris boleh berharap. Namun, Jerman yang menentukan. Setelah Alan Shearer mencetak gol pada menit ke-3, Jerman menyamakan kedudukan pada menit ke-16 lewat Stefan Kuntz. Lantas, setelah bermain 1-1 selama 120 menit, pertandingan berlanjut ke adu penalti.

Buat Inggris, adu penalti adalah buah khuldi: Ialah yang membuat mereka jatuh ke bumi. Setelah lima penendang Inggris sukses, tiba waktunya Gareth Southgate menjadi algojo terakhir. Begitu sepakannya ditepis, para suporter Inggris langsung lemas. Tak lama, Andreas Moeller melesakkan sepakannya ke gawang David Seaman. Jerman mengubur mimpi Inggris.

Kelak, persaingan antara Inggris dan Jerman berlanjut pada sebuah hari di Muenchen, 1 September 2001, ketika The Three Lions dengan perkasa melumat Jerman 5-1 pada kualifikasi Piala Dunia 2002. Begitu bahagianya Inggris beserta pendukung mereka, sampai-sampai mereka membuat lagu khusus atas kemenangan tersebut.

Buat Jerman, kekalahan tersebut memang memalukan. Namun, karena rivalitas antara Inggris dan Jerman bertepuk sebelah tangan, orang-orang Jerman tidak terlalu peduli akan sorak-sorai orang-orang Inggris. Mereka lebih peduli melihat Belanda tidak lolos ke Piala Dunia 2002.

Sekalipun sedemikian sengitnya orang-orang Inggris kepada Jerman, tak bisa ditampik bahwa dalam beberapa tahun terakhir, divisi teratas sepak bola mereka justru mendapatkan warna akibat kehadilan pelatih-pelatih Jerman. Belum selesai Juergen Klopp, sudah ada Thomas Tuchel. Kini, muncul nama lainnya: Ralf Rangnick.

***

Rangnick adalah keputusan paling cerdas yang manajemen United lakukan dalam beberapa musim terakhir. Tentu tidak semua keputusan manajemen salah, tetapi melihat manajemen degil klub tersebut bersikap cerdas bak melihat Godot tiba-tiba saja muncul.

Setelah berkubang di kemediokeran begitu lama, United sempat berusaha bertindak benar dengan menunjuk John Murtough sebagai director of football dan Darren Fletcher sebagai technical director. Pola perekrutan pemain dan akademi pemain juga dibenahi. Di sisi lain, Ole Gunnar Solskjaer juga meminta aspek kebugaran pemain lebih diperhatikan.

Namun, yang menjadi persoalan dari United adalah perkara pola pikir yang terlalu konservatif. Bagaimana gaya bermain yang diinginkan, serta bagaimana tim akan berjalan dalam beberapa musim ke depan, masih belum terlalu diperhatikan. Ini mengapa pelatih yang United tunjuk dalam beberapa tahun memiliki karakter yang berbeda-beda.

Murtough sebetulnya punya tugas berat untuk menjadi pengarah. Biar bagaimana juga, dialah yang menjabat sebagai director of football. Sebagai orang yang pertama kali mengemban jabatan tersebut sepanjang sejarah klub, area cakupan pekerjaannya cukup luas.

Sejumlah orang dalam di United menyebut bahwa Murtough adalah orang yang ikut bertanggung jawab atas pembenahan akademi dan pembentukan tim perempuan. Ketika naik jabatan sebagai director of football, ia tidak cuma memfokuskan pandangan ke dalam klub, tetapi juga luar klub.

Salah satu tugasnya adalah membangun jaringan dan menjalin hubungan baik dengan berbagai agen dan pelatih. Dengan begitu, ia mendapatkan database yang cukup ketika United membutuhkan pelatih yang tepat untuk memimpin tim.

Pada 2019, menurut laporan Andy Mitten di GQ dan Raphael Honigstein di The Athletic, Murtough sempat mendatangi RB Leipzig dan bertemu dengan Rangnick. Pada pertemuan itu, Rangnick menjamu Murtough selama 8 jam. Awalnya, kunjungan itu adalah untuk mengecek bagaimana Leipzig membangun set-up tempat pemusatan latihan mereka. Namun, belakangan diketahui bahwa Murtough juga ingin melihat langsung bagaimana Rangnick bekerja.

Setelah pertemuan tersebut, Rangnick juga mendapatkan kabar bahwa sebuah klub yang tidak bisa diungkap namanya melakukan background check terhadap dirinya. Orang-orang yang ditanyai adalah orang-orang yang pernah bekerja amat dekat dengan Rangnick.

Pada satu sisi, Murtough telah melakukan pekerjaannya sebagai director of football dengan baik. Namun, ada PR lain yang belum tuntas. Untuk bisa menjalankan United di era sepak bola modern, United butuh filosofi dan ide yang jelas mengenai bagaimana mereka ingin bermain. Hal inilah yang kurang dari United dalam beberapa tahun terakhir.

Di United, Murtough bertandem dengan Fletcher. Oleh beberapa orang yang mengenalnya, Fletcher, kini berusia 37 tahun, adalah pelatih yang cukup menjanjikan. Dia senang bekerja secara personal dengan tiap-tiap pemain dan cukup memerhatikan detail. Inilah yang membuat ia mendapatkan jabatan sebagai technical director.

Laga melawan Villarreal, beberapa hari setelah Solskjaer dipecat, Fletcher ikut dalam rombongan staf pelatih. Sementara Michael Carrick, sang caretaker, memantau persiapan dari sisi yang lebih makro, Fletcher beberapa kali memberikan instruksi yang lebih detail kepada beberapa pemain.

Oleh karena itu, ketika United mulai menjajaki kemungkinan untuk menggaet Rangnick sebagai pelatih interim, Fletcher juga ikut berperan mewawancarainya. Dalam wawancara tersebut, menurut sejumlah laporan, mereka berbagi soal prinsip-prinsip sepak bola dan soal bagaimana United nantinya bakal bermain.

Dalam wawancara itulah Fletcher dan Murtough meyakini bahwa Rangnick adalah orang yang tepat. Persoalannya, tentu bakal menjadi tindakan bodoh hanya menjadikan Rangnick sebagai interim. Pria berusia 63 itu sendiri pernah menolak pinangan Chelsea sebagai interim karena ia bukan sekadar orang yang numpang lewat.

Rangnick, sebagai pelatih, memang minim gelar. Namun, ia memiliki ide besar yang bagus. Oleh karena itu, jabatan dalam role yang lebih tinggi, entah sebagai director of football atau managing director sebuah tim, lebih cocok untuknya. Dengan begitu, ia bisa mengarahkan dan menggerakkan sebuah tim dengan lebih leluasa, bahkan kalau bisa membenahinya dari atas sampai bawah.

Belakangan, The Athletic melaporkan bahwa Rangnick akhirnya mengiyakan pinangan United setelah ‘Iblis Merah’ menyetujui untuk memberikannya kontrak 2 tahun dalam role yang lebih tinggi setelah masa kontraknya sebagai interim—yang berjangka 6 bulan—berakhir.

Keputusan tersebut memungkinkan United, termasuk juga Murtough dan Fletcher, mendapatkan masukan yang berharga, terutama kalau mereka memang betul-betul niat untuk membangun sebuah klub yang lebih sustain.

Rangnick, tentu saja, akan dinilai dari sisi hasil dan bagaimana ia membangun tim ini kelak. Namun, melihat pencapaiannya sejauh ini, wajar kalau para pendukung United berharap banyak padanya. Setelah sekian lama, akhirnya betul-betul datang seseorang arsitek yang bisa membenahi rumah reyot kesayangan mereka.

Harapannya, pelatih yang kelak ditunjuk oleh Rangnick pada musim panas tahun depan juga merupakan pelatih yang memiliki filosofi dan skema yang sesuai dengan keinginan klub.

Saat ini sulit mengharapkan United untuk langsung sukses dan meraih gelar. Kalaupun mereka akhirnya mendapatkannya, itu seperti bonus saja. Yang lebih penting adalah membenahi fondasi dan menciptakan wadah yang bagus untuk pelatih-pelatih mereka selanjutnya.

Untuk melakukannya, menunjuk Rangnick sudah merupakan keputusan yang tepat.