Vialli, Mancini, dan Sepak Bola yang Membebaskan Kita

Foto: Twitter @azzurri.

Di sepanjang hidupnya, Vialli memiliki dua jenis kawan. Teman pertama adalah Mancini, teman kedua adalah kanker.

Ketika segalanya benar-benar memburuk, kita akan merasa aman bersama dia yang mampu menyunggingkan sedikit senyuman.

Ia tidak berkata macam-macam, tidak menjejalimu dengan ayat-ayat kitab suci. Dia membiarkanmu mengumpat, memberimu ruang untuk meraung. Dia tahu kapan saat yang tepat menepuk pundakmu tanpa berkata segalanya akan baik-baik saja.

Jika segalanya benar-benar memburuk, ia tidak memaksamu untuk menyangkal. Ia menerima apa yang belum sanggup kau terima, lalu memegang tanganmu erat-erat sambil mengatai hidup yang gemar betul menjadi bajingan. Bagi Roberto Mancini, orang itu adalah Gianluca Vialli.

***

Di sepanjang hidupnya, Vialli memiliki dua jenis kawan. Yang pertama, orang yang diinginkannya untuk menjadi teman perjalanannya. Yang kedua adalah teman perjalanan yang tidak diinginkannya, tetapi entah kenapa datang dalam kehidupannya.

Orang pertama adalah Mancini. Vialli dan Mancini berkawan sejak usia 14 tahun. Konon, pertemuan pertama mereka terjadi di Coverciano. Vialli lebih dulu mencoba sepak bola, tetapi perjalanannya sebagai pemain jauh lebih berliku. Ia mesti malang-melintang dulu di klub amatir, mengasah diri sehingga pantas berlaga di pentas tertinggi pada 1984 bersama Sampdoria.

Mancini adalah anak berbakat. Sejak kecil ia diincar oleh klub-klub papan atas. Ia bahkan melakoni debut di Serie A saat berusia 17 tahun. Lantas ia memilih Sampdoria pada 1982.

Sampdoria di era itu bukan seperti yang kita lihat sekarang. Mereka calon juara. Di bawah kepelatihan Eugenio Bersellini, teman sekamar itu dibentuk menjadi duet paling mematikan yang pernah ada. Vialli bertugas sebagai penyelesai akhir, sedangkan Mancini adalah jenderal yang berperan untuk mengontrol tempo permainan. Kemampuannya yang komplet memungkinkan ia untuk jadi pemain depan sekaligus penyambung antarlini. 

Jika Mancini yang membangun serangan, Vialli menjadi muara yang mencetak gol ke gawang lawan. Vialli dan Mancini menjelma menjadi duet Goal Twins selama menjadi rekan di Sampdoria. Kombinasi keduanya turut mengantar Sampdoria merengkuh enam gelar juara. Jika Mancini memberi tujuh gelar, Vialli membawa enam gelar.

Maka, ketika Timnas Italia berlaga di Piala Dunia pada 1990 tanpa Vialli dan Mancini, orang-orangnya menyebutnya sebagai keajaiban. Di Piala Dunia 1990, Mancini tak sekalipun turun arena, sedangkan Vialli harus menyingkir karena cedera pangkal paha hebat yang mengharuskannya naik meja operasi.

Hanya mujizat yang membuat Azzurri sanggup tampil di kompetisi itu karena bagaimanapun, persahabatan Vialli dan Mancini tak sekadar menjadi konco hahahehe dan teman dansa-dansi, tetapi juga kombinasi yang membuat sepak bola Italia tak melulu tentang pertahanan solid. 

Orang jenis kedua bagi Vialli adalah teman perjalanan yang tidak diharapkannya. Bagi Vialli, itu adalah kanker pankreas yang merongrong hidupnya selama 17 bulan. Dalam buku kedua yang lagi-lagi digarapnya bersama Gabriel Marcotti, Vialli menyebut bahwa ia tidak cukup kuat untuk menjadikan kanker sebagai musuhnya.

Ia tidak menyebut perawatan dan pengobatannya sebagai peperangan, sebagai medan tempur karena kanker bukan lawan yang sepadan untuknya, karena kanker terlalu hebat untuk menjadi lawannya. 

Itulah sebabnya, ia menyebut kanker sebagai teman perjalanan. Dalam proses pengobatan, Vialli memutuskan untuk berdamai dengan penyakitnya itu. 

Ia melakoni perawatan dengan sukacita, dengan tertawa, dengan tetap menjadi orang yang siap memeluk siapa pun yang datang kepadanya. Sekitar enam bulan sebelum Piala Eropa dimulai, Vialli dinyatakan sembuh, ia bersih dari kanker yang mengancam nyawa.

***

Sepak bola tercerabut saat pandemi menyentak. Elite-elite mundur, menepi, dan berdiam di dalam rumah. Para pesohor lapangan hijau mesti menyingkir. Untuk sementara tak ada lagi perayaan dan tendangan hebat.

Bahkan ketika sepak bola dimulai lagi, tetap ada tembok yang mengelilingi. Kita, orang-orang yang merasa lapangan bola sebagai tempat teraman, tak bisa lagi menyentuh tribune yang sanggup membuat kita merasa jadi seperti pemenang.

Protokol medis merombak sepak bola jadi laga yang senyap. Di tribune penonton bahkan diletakkan orang-orangan dari kardus agar sepak bola tak terkesan terlalu depresif.

Terpujilah Dia karena menciptakan manusia sebagai makhluk ajaib. Manusia tidak pernah kehilangan akal untuk menyikapi kabar buruk. 

Suporter Bohemians 1905 tetap datang ke Dolicek Stadium untuk menyaksikan tim mereka berlaga melawan SK Dynamo Ceske Budejovice pada 31 Mei 2020. Laga ini tidak dibuka untuk penonton sehingga mereka membawa dan menegakkan tangga di sekeliling tembok stadion. 

Dari tempat tak wajar mereka menyaksikan Bohemians 1905 bertarung memperebutkan poin penuh. Mereka merayakan gol, menenggak bir, dan tertawa menyambut kemenangan.

Sepasang bapak dan anak suporter Liverpool bertindak mirip. Di hari pertama latihan tim menyambut musim 2020/21, mereka datang menyaksikan para penggawa berlatih di Melwood. 

Apa boleh buat, mereka tak bisa menonton latihan karena area ditutup. Sang bapak tak mau tembok menjadi penghalang. Ia lalu menggendong anaknya ke pundak tanpa peduli jika hari itu tak dapat menyaksikan Juergen Klopp menggembleng pasukannya. Yang terpenting anaknya bisa bergembira karena melihat Mohamed Salah menggiring bola dengan mata kepalanya sendiri.

Yang terjadi di Irak pada 2003 hingga 2013, tepatnya sejak upaya penggulingan Saddam Husein yang diinisiasi oleh Amerika Serikat, bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan mengapa orang-orang rela menyaksikan laga dan latihan dari balik tembok tinggi. 

Mengutip laporan PBB pada 2013, lebih dari 100.000 orang tewas akibat perang ini. Bahkan pada 28 Juni 2013 sebuah bom diledakkan di stadion sepak bola yang terletak di area Madain. 

Bukannya mati dalam periode kelam, sepak bola Irak malah menuliskan catatan penting. Timnas Irak menjuarai Piala Asia 2007 serta tiba di final Piala Asia Barat 2012 dan Piala Teluk 2013. Irak bahkan sampai ke semifinal Piala Dunia U-20 2013 usai mengalahkan Korea Selatan 5-4 di babak adu penalti.

Sepak bola bukan perkara yang hebat-hebat amat sampai bisa menghentikan perang dan menyembuhkan luka karena bencana. Namun, ketika para jagoan lapangan hijau berhasil merengkuh kemenangan, untuk sesaat orang-orang Irak lupa bahwa mereka sedang ada dalam masa peperangan. 

Sorak-sorai di atas podium kampiun tidak akan bisa menambal lubang yang menganga akibat kehilangan orang-orang yang dicintai. Akan tetapi, ketika tim kesayangan merengkuh kemenangan, dalam beberapa saja orang-orang yang muak dihantam kehilangan menghidupi kembali perasaan memiliki.

Kita yang mengingat gempa bumi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 menyadari bahwa bencana hebat itu menyerang sekitar dua minggu jelang Piala Dunia 2006. Pusat-pusat pengungsian berubah menjadi arena nonton bareng. Kegembiraan mungkin hanya mengendap selama dua jam. Namun, tertawa sejenak adalah perkara mewah bagi mereka yang dihantam duka.

Sepak bola di tengah pandemi berakar pada prinsip serupa. Serupa kita yang tidak pernah tahu pasti seberat apa beban yang ditanggung mereka yang ada di sekeliling kita, tak ada pula yang dapat menakar dengan tepat sebesar apa kehilangan yang dipikul suporter Bohemians 1905 dan sepasang bapak anak pencinta Liverpool yang menonton sepak bola dari tembok tinggi tadi.

Siapa yang tahu bahwa dalam setahun terakhir mereka harus melepas banyak hal yang sebelumnya mereka genggam erat?

Mungkin karena itulah mereka datang ke lapangan bola. Sepak bola adalah imbalan atas keteguhan mereka bertahan dalam impitan. Kalau selama ini para suporter itu bertarung sendirian melawan krisis, di jam-jam pertandingan itu ada orang lain [para pemain] yang bertanding habis-habisan untuk memberi mereka kemenangan. 

Begitu kemenangan itu datang, mereka yang berdiri di balik tembok saling membenturkan gelas berisi bir. Dentingannya adalah penanda bahwa hidup tetap pantas dirayakan karena anugerah tetap datang pada waktu yang buruk.

***

Ketika Vialli berlari memeluk Mancini beberapa saat setelah Federico Chiesa mencetak gol ke gawang Austria, saat itu pula Italia merayakan kebebasan. 

Italia sempat menjadi seperti kita, sebagai salah satu negeri yang paling terdampak pandemi. Namun, kita semua tahu kehidupan di Italia berlanjut, bahkan berangsur pulih dan normal. 

Pelukan Vialli dan Mancini di pengujung laga itu adalah penanda bahwa tiba juga waktunya bagi orang-orang Italia untuk memangkas jarak. Pelukan dua kawan karib itu barangkali juga berkisah tentang Italia yang terbebas dari waktu yang buruk. Tak ada lagi kekalahan telak di hadapan Piala Dunia 2018 yang menghantui kaki-kaki yang menendang bola dalam upaya menggapai kemenangan.

Bagi Vialli, pelukan itu menjadi perayaan bagi kepergian teman perjalanan yang tidak diinginkannya, bahwa pada akhirnya ia bisa merayakan kemenangan bersama kawan yang begitu diinginkannya.

Tuhan menciptakan telapak tangan kita hanya sejengkal barangkali karena Ia tahu ada begitu banyak hal yang harus kita lepas.

Namun, dengan telapak tangan yang hanya sejengkal itu kita masih bisa menggenggam erat-erat satu atau dua orang yang terdekat. Barangkali itu adalah kawan, keluarga, atau siapa pun orang yang kita cintai. Kalaupun tidak ada lagi tangan yang bisa kita genggam, setidaknya kita masih bisa memegang apa pun yang kita percaya sebagai kebenaran. 

Maka ketika saat itu tiba, saat kebebasan itu menghampiri, kita akan menyadari bahwa kita tidak pernah benar-benar berdiri sendirian. Sampai hari itu tiba, kita hanya bisa melakukan apa yang dikerjakan oleh sepak bola Italia: Bertahan sekuat-kuatnya.