What If: Anthony Martial

Foto: Instagram @martial_9.

Ketika Anthony lainnya, Elanga, mencuri perhatian dengan mencetak satu gol ke gawang Brentford, Anthony Martial justru dihadapkan berbagai jalur yang saling bersinggungan. Di manakah masa depannya berada?

Anthony Martial mungkin sedang berdiri sambil tertegun. Di hadapannya ada beberapa jalur bersinggungan, kusut. Yang bisa ia lakukan sebelum melangkah lagi adalah menengok ke belakang, mengingat-ingat ke mana jalan membengkok, ke mana jalan menuntunnya lurus, hingga akhirnya membawanya ke titik sekarang.

Martial adalah pemuda berbakat pada suatu waktu. Ketika ia mencetak 12 gol dalam 48 laga untuk AS Monaco pada musim 2014/15—ketika usianya bahkan belum genap 20 tahun—ada saja yang membayangkan ia bakal menapak level tertinggi dunia suatu saat nanti. Kenyataannya, Martial kini berusia 26 tahun dan tidak tampak ke mana-mana.

Ketika Manchester United membelinya pada 2015 dengan nilai 36 juta poundsterling, ada sejumlah klausul yang memungkinkan nilai tersebut membengkak menjadi 57,6 juta pounds. Salah satunya adalah klausul soal tambahan biaya jika Martial meraih Ballon d’Or sebelum Juni 2019.

Dengan melihat Martial sekarang, klausul tersebut kini tak ubahnya sebuah lelucon belaka. Lelucon tersebut biasanya hilir mudik pada akun-akun sepak bola tak punya malu yang biasanya berlagak jadi burung bangkai tiap kali ada isu ramai. Namun, klausul itu juga menunjukkan bahwa sempat ada pengharapan besar terhadap Martial.

Hari-hari belakangan ini, harapan tersebut bukan lagi redup, tetapi sudah menjadi ampas dan terkubur dalam-dalam bersama ribuan harapan lain yang mati begitu saja. Kabar terakhir menyebutkan bahwa Martial sudah tidak kerasan dan ingin hengkang dari United. Yang membuat kabar tersebut makin menyebalkan, ada saja sirkus di hadapan publik antara dirinya dan pelatih interim United, Ralf Rangnick.

Kamis (20/1/2022) dini hari WIB, meraih kemenangan 3-1 di markas Brentford. Semestinya, Martial—yang katanya turut ikut bersama skuad ke London—bisa ambil bagian dalam pertandingan tersebut. Namun, yang mencuri perhatian justru Anthony lainnya: Elanga.

Beberapa hari sebelum pertandingan, Martial dan Rangnick berseteru. Rangnick mengatakan bahwa Martial, yang sudah menyatakan ingin hengkang kepada sang pelatih, tidak ingin diikutsertakan ke dalam skuad. Martial kemudian membantah; ia mengatakan bahwa dirinya tidak pernah bersikap tidak hormat kepada klub dan fans seperti itu.

Per laporan The Athletic, problem tersebut kemudian diselesaikan di balik layar. Menurut laporan tersebut, ada salah paham antara Rangnick dan Martial. Ketika Rangnick bertanya, apakah Martial—yang sedang tidak bugar—bisa ikut masuk ke dalam skuad untuk laga melawan Aston Villa, Martial menolak. Namun, penolakan Martial bukanlah karena ia memang sudah tidak ingin bermain lagi.

Martial salah memahami bahwa pertanyaan Rangnick itu adalah perintah. Dengan kondisinya yang masih belum sepenuhnya bugar, tentu saja ia menolak. Yang terjadi kemudian adalah perang mulut di hadapan publik: Rangnick mengeluarkan pernyataan di hadapan media, sedangkan Martial membalasnya lewat akun media sosial pribadi.

Terlepas dari kisruh tersebut, rasa-rasanya memang sulit untuk menemukan tempat Martial di tim inti United saat ini. Terlebih, kini muncul Elanga yang sungguhan disukai oleh Rangnick. Elanga masih 19 tahun, punya kecepatan, ulet, rajin melakukan pergerakan tanpa bola, tidak segan untuk melakukan tracking-back, bisa bermain sebagai penyerang sayap, dan punya finishing lumayan.

Di hadapan para jurnalis, Rangnick terang-terangan mengaku bahwa ia sudah terkesima dengan kemampuan Elanga semenjak pemain Swedia berdarah Kamerun tersebut melakoni sesi latihan pertama bersamanya. Baginya, Elanga komplet; punya teknik dan work-rate yang sama bagusnya.

Perkara work-rate itu sendirilah yang acap dipertanyakan terhadap Martial. Sekalipun punya skill bagus, Martial sering dikritik karena sering lambat bereaksi. Ia sering terlihat diam atau berjalan kaki—bukannya bergerak membuka ruang—atau terlambat untuk melakukan tracking back terhadap lawan. Oleh karena itu, sempat muncul wacana untuk memainkannya sebagai penyerang tengah saja, mengingat segala atribut yang ia miliki bisa termaksimalkan.

Pada hari-hari baiknya, Martial adalah pemain yang bisa kau pilih ketika menghadapi lawan yang bertahan amat rapat. Dengan kemampuan menggiring bolanya yang lengket, Martial adalah ahli untuk bergerak di ruang yang rapat. Selain itu, ia juga memiliki kecepatan. Karena United terkenal sebagai tim yang memiliki transisi cepat dari fase bertahan ke menyerang, kecepatan Martial itu menjadi modal. Ini, tentu saja, masih ditambah dengan kemampuan tekniknya dalam menahan bola sehingga ia juga bisa dimainkan sebagai pemantul.

Namun, pembahasan yang cocok mengenai Martial kini jauh lebih lekat pada obrolan mengenai “what if”. Kita akan membayangkan bagaimana seandainya pemuda 19 tahun itu mendapatkan asahan yang lebih baik; bagaimana seandainya situasi United sejak saat itu hingga sekarang kondusif; bagaimana jika ia betul-betul mendapatkan sistem yang bisa membuatnya mengeluarkan kemampuan terbaik.

Kendati begitu, perkara work-rate, terutama ketika tim yang ia bela mengharuskan adanya kerja-kerja seperti melakukan pressing atau membuka ruang, tetap saja Martial tidak bisa lepas dari kritik. Ia tentu boleh mengutuki sejumlah kesialannya, tetapi pada akhirnya, Martial hanya bisa menghadapi dirinya sendiri di hadapan cermin.

Per catatan Breaking the Lines, ada sejumlah aspek dalam perkara work rate yang membuat Martial bahkan kalah dari Edinson Cavani, seorang striker yang berusia 8 tahun lebih tua darinya. Salah satunya adalah perkara kepekaan dalam mencari ruang dan pergerakan tanpa bola.

Aspek-aspek lainnya lebih lekat dengan perkara aksi defensif. Sepanjang musim 2020/21, Martial rata-rata melakukan 9,54 pressures per laga, 0,19 tekel, dan 0,91 intersep. Bandingkan dengan Cavani yang membuat 14,56 pressures per laga, 1,17 tekel, dan 0,78 intersep. Menurut catatan Breaking the Lines juga, dengan membandingkan ketiga kriteria tersebut, Martial bahkan masih kalah dari Olivier Giroud, Pierre-Emerick Aubameyarng, dan Edin Dzeko.

Dengan Rangnick dan kemungkinan pelatih berikutnya masih akan menuntut work rate yang sama, Martial sudah berada di ujung jalan. Jalur-jalur yang bersinggungan di hadapannya samar-samar mulai terlihat. Kini, ia mesti memilih dengan cermat.