What We Talk About When We Talk About Manchester United

Dari serpihan-serpihan rumor, pergulatan, dan adu bacot mereka yang pro dan kontra di linimasa, kita bisa melihat apa yang terjadi di Manchester United dan membacanya secara utuh.

Kita semua adalah saksi. Sebuah dinasti, yang diurus tanpa perencanaan pasti, perlahan-lahan berubah. Dari sebuah nama, ia menjadi diksi basi.

Untuk semua kesenangan saya akan sepak bola dalam beberapa waktu terakhir, saya berterima kasih pada sebuah Minggu. Saya senang. Saya menyaksikan pertandingan sepak bola yang bagus hari itu.

Bagus, meski tidak indah. Pelakonnya adalah Hokkaido Consadole Sapporo—si tuan rumah—dan Urawa Red Diamonds. Tidak ada satu pun dari keduanya yang berlenggak-lenggok luwes memainkan sepak bola ala juego de posicion yang masyhur itu lengkap dengan operan-operan pendek yang mengalir.

Kendatipun begitu, apa yang Consadole dan Urawa tunjukkan pada hari itu memperlihatkan bahwa mereka mampu memperagakan permainan yang cerdas, disiplin, dan rapi. Biar saya cerita sedikit soal ini…

Urawa, semenjak ditangani oleh Maciej Skorża—orang yang membawa Lech Poznan juara Ekstraklasa Polandia pada 2022—, cukup puas menguasai bola sesedikit mungkin dengan tujuan memukul lawan lewat transisi cepat. Dengan cara yang hampir sama pula mereka mengalahkan Al Hilal pada final Asian Champions League, April 2023.

Untuk memuluskan gaya main tersebut, beginilah yang Urawa lakukan: Skorża memasang formasi 4-4-2 ketika timnya tidak menguasai bola. Apabila bola berada di area pertahanan lawan, pemain-pemain Urawa akan melakukan pressing dengan tujuan merebut bola sesegera mungkin dan langsung melakukan serangan.

Apabila bola gagal mereka rebut, pemain-pemain Urawa langsung mundur dan membuat blok rapat di tengah. Kedua pemain terdepan mereka bahkan mundur hingga garis tengah lapangan. Dengan demikian, Urawa berusaha menahan progresi sentral lawan.

Consadole tak punya cara lain. Seluruh serangan mereka pusatkan ke sayap. Yuya Asano, gelandang Consadole yang dimainkan sebagai wingback pada laga tersebut, menjadi pemain yang paling rajin naik hingga ke sepertiga akhir lapangan. Ketika serangan dari sayap gagal, Asano bakal bertukar posisi dengan gelandang serang dan menusuk via half-space.

Namun, segigih apa pun Consadole berusaha, pertahanan Urawa tak kunjung rontok. Aliran bola si tuan rumah jadi terlihat seperti huruf U di depan boks Urawa; berpindah dari satu sisi ke sisi lain via area depan kotak penalti.

Karena tak kunjung membongkar pertahanan Urawa, Consadole memainkan Kim Gun-hee pada babak kedua untuk menjadi titik fokus serangan. Tujuannya, supaya bola yang sudah sampai sepertiga akhir lapangan memiliki sasaran di kotak penalti.

Namun, Urawa juga sudah memperkirakan ini. Duet bek tengah mereka, Marius Høibråten dan Alexander Scholz, piawai menghalau umpan—termasuk umpan-umpan lambung. Terlepas fakta bahwa Consadole lebih sering mengurung pertahanan lawan dan lebih banyak menguasai bola, jalannya pertandingan bergerak sesuai apa yang Urawa inginkan. Oleh karena itu, bisa dibilang pertandingan berada dalam kontrol Urawa.

Tim asal Saitama tersebut mencuri dua gol pada babak kedua dan menundukkan tuan rumah dengan skor 2-0. Skema kedua gol tersebut, yang salah satunya dicetak oleh Scholz via titik putih, diawali oleh sebuah serangan direct ketika Consadole sedang agresif-agresifnya menekan dan kehilangan fokus di lini belakang.

Apa yang saya lihat pada pertandingan tersebut menunjukkan beberapa hal. Pertama, jika ingin memainkan sepak bola direct, terutama dengan tujuan untuk memukul lawan via transisi cepat, struktur penyokong (pemosisian pemain di belakang dan tengah) harus disiplin dan rapi. Kedua, segala hal yang Consadole dan Urawa lakukan pada laga tersebut terbaca jelas; saya bisa memahami logika yang melatari berbagai pengambilan keputusan (baik taktik maupun pergantian pemain) dari kedua kesebelasan.

Apabila diibaratkan menyusun puzzle, kepingan-kepingan yang Consadole dan Urawa susun terkoneksi dengan rapi. Suatu hal yang tidak bisa saya lihat dari Manchester United, dinasti yang singgung pada paragraf awal tulisan ini.

Saya pun berpikir, jangan-jangan United pun bakal sulit untuk bertahan hidup di J1 League jika cara main mereka masih seperti sekarang.

***

Dari serpihan-serpihan rumor, pergulatan, dan adu bacot mereka yang pro dan kontra di linimasa, kita sesungguhnya bisa melihat apa yang terjadi di Manchester United dan membacanya secara utuh.

United chaos—atau setidaknya begitu yang kita lihat dari tepian. Performa tak kunjung membaik, hasil fluktuatif, pemain dan pelatih dikabarkan berselisih. Satu persoalan ruwet disusul persoalan ruwet lainnya hingga menjadi kabel kusut yang menggantung sembarangan, mencekik siapa pun yang berada di dekatnya.

Untuk mengurainya, kita bisa membaginya menjadi beberapa bagian, mulai dari persoalan taktik, cedera sejumlah personel, pemain, kedatangan pemilik saham minoritas baru, hingga urusan konflik dengan media.

Pertama, mari bahas urusan taktik dulu…

Saya ingin memulainya dengan sebuah pertanyaan: Apakah Erik ten Hag melihat ke arah yang salah? Ketika datang ke United pada awal musim 2022/23, Ten Hag jelas ingin memainkan sepak bola ala Ajax-nya. Namun, dua pertandingan perdana Premier League musim itu membuat Ten Hag terbangun setelah wajahnya disiram realitas. Semenjak saat itu, pendekatan permainan Ten Hag berubah.

Musim ini, ketika mendapatkan pertanyaan mengapa United-nya tidak bermain seperti Ajax-nya dulu, Ten Hag menjawab bahwa pada setiap klub yang ia latih, ia selalu mengambil esensi dan identitas yang ada pada tiap-tiap klub tersebut. Di United, ia melihat keunggulan (berdasarkan sejarah dan komposisi pemain yang United miliki) tersebut ada pada urusan transisi. Maka, Ten Hag menjadikan United bermain direct dan berusaha membuat mereka menjadi “tim terbaik dalam hal transisi”.

Dugaan bahwa Ten Hag bakal membuat United bermain direct dan mengandalkan transisi sesungguhnya sudah bisa dilihat jauh sebelum pengakuan tersebut ia ungkap ke media. Dari pilihan pemain yang United beli, orang bisa menerka si Iblis Merah ingin mengirimkan umpan sesegera mungkin ke depan.

Bahkan André Onana, kiper yang bisa mengemban peran untuk melakukan sirkulasi bola sekaligus membangun serangan dari lini belakang juga punya kemampuan untuk melepas umpan panjang. Mudah, bukan, membayangkan Onana mem-by pass lini tengah dengan mengirim umpan panjang kepada pemain-pemain cepat di lini depan seperti Marcus Rashford, Alejandro Garnacho, ataupun Rasmus Højlund?

Persoalannya, United tidak memiliki sokongan struktur yang bagus untuk memainkan gaya tersebut. Ambil contoh permainan Urawa pada penjelasan awal tulisan ini; mereka mendukung gaya main tersebut dengan pemosisian pemain yang rapat dan disiplin. Mereka peka menjaga dan menutup ruang.

Sekarang, kita simak bagaimana cara United bermain. Kecenderungan mereka untuk buru-buru melepas umpan lambung ke depan harusnya diikuti dengan beberapa pertanyaan: Jika bola gagal mencapai target apakah pemain-pemain United siap untuk berduel mendapatkan second ball? Jika gagal memenangi second ball apakah transisi negatif (dari menyerang ke bertahan) mereka cukup sigap untuk menahan serangan balik lawan?

Long ball adalah senjata ampuh untuk mengerjai lawan yang menyisakan banyak space di lini belakang mereka. Namun, ia hadir dengan syarat—pengirimnya mesti punya akurasi apik—dan juga risiko—ketika umpan tersebut gagal, bagaimana tim meresponsnya? Oleh karena itu, alih-alih menjadi senjata utama, sebaiknya long ball idealnya jadi senjata opsional saja.

Kecenderungan tersebut membuat United sulit betul mengontrol jalannya laga. Seringkali, laga berjalan tidak seperti yang mereka inginkan karena lawan mudah melakukan antisipasi. Terlebih, cara United untuk mendapatkan kesempatan terbilang reaktif.

Sepanjang musim ini berjalan, anak-anak buah Ten Hag cukup sering mengandalkan counterpress untuk mendapatkan kesempatan. Lagi-lagi, ini sulit untuk membuat mereka mendapatkan kontrol atas pertandingan. Pasalnya, dengan berusaha merebut bola dari lawan untuk kemudian menyerang balik, United lebih terlihat menunggu kesempatan datang alih-alih menciptakan sendiri kesempatan tersebut.

Tidak heran kalau kemudian hasil yang mereka dapatkan pun fluktuatif. Niat untuk bermain direct dan mengandalkan transisi sesungguhnya tidak buruk. Namun, Ten Hag semestinya paham bahwa untuk melakukannya, pemosisian pemain kudu tepat dan rapat sehingga ketika mereka melakukan pergerakan (baik ketika dengan bola atau tanpa bola), area yang perlu di-cover pemain tak terlalu luas.

Pada laga Consadole vs Urawa, saya melihat bagaimana para pemain Urawa cukup bergerak beberapa langkah untuk menutup ruang atau kemudian memulai serangan. Kerapatan antarpemain memungkinkan mereka untuk melakukan efisiensi pergerakan.

Keputusan Ten Hag untuk melakukan penjagaan man-to-man (alih-alih zonal) di lini tengah pada sejumlah laga juga cukup bikin ruwet. Musim kemarin, pemain biasanya mendapatkan tugas harus menjaga siapa. Musim ini, sistemnya sedikit berbeda: Pemain ditugasi melakukan man-marking pada lawan terdekat.

Imbasnya telihat pada tiga laga, yakni Manchester City, Tottenham Hotspur, dan Newcastle United (ketiganya di Premier League). Pada tiga laga tersebut, para pemain ketiga tim itu dengan mudah menarik-narik pemain United keluar dari posisinya dengan melakukan pertukaran posisi. Pada laga melawan Spurs, pemain-pemain The Lilywhites bergerak melebar dari tengah supaya para pemain United mengikuti dan menyisakan ruang untuk dieksploitasi di area sentral.

Jarak antarpemain United yang cukup jauh pada laga melawan Newcastle United.

Persoalan lain, keinginan Ten Hag supaya para pemain depannya melakukan pressing tinggi tak diikuti dengan lini belakangnya untuk meng-compress ruang (space). Alhasil, ketika lini depan naik, ada ruang yang cukup luas untuk diekploitasi. Karena jarak yang lebar tersebut, pemain depan (terutama para sayap) acap dituntut melakukan trackback pada area yang cukup luas.

Cara United menghadapi serangan lawan makin bertambah mengkhawatirkan jika mengingat mereka buruk dalam hal mengantisipasi cutback.

Mengingat Ten Hag adalah pelatih yang adaptif (musim kemarin membuktikan hal ini), cukup menggelikan melihat ia masih mempertahankan sistem yang sama ketika sudah jelas-jelas banyak tim bisa mengeksposnya.

Apakah ini artinya sudah waktunya Ten Hag angkat kaki? Well, kalau mau jujur, ia masih punya waktu untuk mengubahnya. Apalagi, cara main yang menuntut pemain meng-cover banyak ruang berkaitan dengan hal berikutnya:

Cedera…

Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran pendukung musim ini adalah banyaknya cedera non-kontak yang dialami pemain United. Rata-rata cedera tersebut adalah cedera otot.

Laporan Sky Sports menyebutkan bahwa sejumlah pemain United mengeluhkan bahwa mereka dituntut untuk banyak berlari di sesi latihan. Sementara kita bisa bersepakat bahwa dalam beberapa tahun terakhir pemain-pemain United banyak mengeluh—terlepas dari siapa pun pelatihnya—, tuntutan untuk banyak berlari ini bisa jadi merupakan dampak dari sistem yang tidak efektif.

Dalam linimasa X (atau Twitter) beberapa hari terakhir, banyak pendukung United yang menuding para pemain terlalu manja. Melihat sejarah dalam beberapa tahun terakhir, di mana para pemain diduga sering balik menyerang pelatih ketika sesuatu berjalan tak sesuai keinginan mereka, tudingan tersebut tidak salah. Namun, bukan berarti staf pelatih juga lepas dari sorotan.

Tuntutan berlari lebih banyak—yang bisa jadi menimbulkan cedera non-kontak—semestinya bisa diminimalisir dengan gaya main yang juga meminimalisir tuntutan untuk berlari. Tentu saja, determinasi dan kengototan (seperti yang sering betul disorot Roy Keane sampai bosan) penting. Namun, determinasi dan kengototan mestinya hadir dan dibicarakan sebagai “faktor X” setelah sistem.

Jika urusannya adalah sistem, apakah pemain tidak bersalah?

Nanti dulu. Melihat pemain-pemain United acapkali salah oper atau mengambil keputusan yang buruk ketika melakukan serangan—membuat momentum hilang begitu saja.

Kritik pendukung terhadap Marcus Rashford, misalnya, sesungguhnya beralasan. Hadir sebagai bocah asli Manchester dan dibesarkan oleh akademi tim, wajar apabila Rashford menanggung ekspektasi lebih. Terlebih, usianya kini sudah 26 tahun; semestinya ia sudah cukup dewasa untuk menanggung beban ekspektasi.

Sorotan pendukung semestinya bisa dipandang bukan sebagai cacian, melainkan tuntutan baginya untuk bermain lebih baik. Toh, ia punya kemampuan teknik apik. Beberapa bek, termasuk Kyle Walker, mengaku malas jika harus berhadapan dengannya.

Namun, kemampuan tekniknya seperti mubazir karena tak disokong dengan ketenangan atau kemampuan mengambil keputusan yang tepat. Cukup sering, Rashford memaksa menggiring bola atau melepaskan sepakan dengan power ketika sudah berada dekat dengan gawang. Ini adalah persoalan individual, bukan sistem. Pasalnya, persoalan-persoalan tersebut tetap hadir terlepas dari posisi main, peran main, dan sistem di mana pun Rashford bermain.

Dengan persoalan individu untuk menyokong permainan tim, kita beranjak ke urusan berikutnya:

Pemilik saham minoritas baru…

Sir Jim Ratcliffe, via INEOS, dikabarkan bakal mengakuisisi 25% saham United dan mengontrol kebijakan dari sisi keolahragaan. Artinya, mereka bakal memutuskan penunjukkan Direktur Sepak Bola hingga pembelian pemain yang sesuai dengan sporting project yang mereka inginkan.

Ten Hag sesungguhnya membutuhkan wadah yang baik untuk bekerja, bukan membiarkannya menciptakan wadahnya sendiri. Datang dengan niatan membuat United bermain dengan build-up rapi hanya untuk membuangnya dan mengganti dengan gaya lain pada musim keduanya tentu saja bukanlah sebuah “sporting project” yang ideal.

Dengan orang-orang yang bisa menyusun visi dan misi supaya tim bisa lebih sustainable, Ten Hag idealnya mendapatkan pendampingan supaya rencananya tidak berubah haluan di tengah jalan. Bahkan semestinya ada yang lebih penting dari itu: Rencana tim lebih besar dari rencana Ten Hag. Oleh karena itu, “sporting project” United semestinya terlebih dulu merencanakan gaya bermain seperti apa yang mereka kehendaki, baru menentukan pelatih dan pemain yang mereka datangkan.

Seandainya Ten Hag tetap dipertahankan, penting mengingatkannya untuk memiliki satu gaya main/filosofi baku alih-alih terus-terusan menyesuaikan diri dengan apa yang ada.

Lantas, bagaimana dengan konflik antara klub dan media baru-baru ini?

United dikabarkan melarang beberapa jurnalis dari sejumlah media, termasuk Samuel Luckhurst (Manchester Evening News) dan Kaveh Solhekol (Sky Sports), menghadiri konferensi pers karena membocorkan kabar yang dianggap tidak benar. Gaya ala diktator ini sesungguhnya bukan cerita baru karena Sir Alex Ferguson pernah melakukannya.

Dari sudut pandang pendukung, ini adalah langkah bagus karena bagi suporter, yang terpenting adalah kebaikan klub. Namun, dari sudut pandang jurnalis, ini adalah langkah seorang tangan besi—meski, tentu saja, publik tetap bisa mengkritik dan menilai niatan seperti apa yang hendak dihadirkan sang jurnalis lewat berita-berita yang mereka tulis.

Dari sudut pandang klub dan pelatih, lebih sederhana lagi: Ini adalah langkah untuk mengontrol narasi di luar sana. Ketika kontrol belum bisa mereka dapatkan di dalam lapangan, mungkin mereka bisa mendapatkannya lebih dulu di luar lapangan.