Yang Fana dan Abadi di Freiburg
Yang berbeda dari Freiburg musim ini, selain performa yang sedang bagus-bagusnya, mereka tak akan bertanding lagi di Dreisamstadion. Yang tetap sama: Christian Streich.
Hari itu para penggemar SC Freiburg seperti melihat dua pemandangan kontras dalam satu waktu: Fana sekaligus abadi.
Setelah 67 tahun menemani, Dreisamstadion yang merupakan kandang tim kebanggaan mereka secara resmi tak bakal digunakan lagi. Kemenangan 3–0 kontra Augsburg dalam lanjutan Bundesliga akhir September lalu jadi kali terakhir Freiburg berlaga di stadion tersebut.
Pada laga-laga berikutnya, yang dimulai dari duel melawan RB Leipzig, Sabtu (16/10) malam WIB, Freiburg bakal pindah kandang ke Europa-Park Stadion. Sebuah awal baru yang sudah semestinya disambut sukacita. Namun, sebagaimana banyak perpisahan lainnya, air mata menetes di mana-mana.
Salah satu sumber menetesnya air mata itu adalah Christian Streich. Tepat setelah wasit meniup peluit tanda berakhirnya laga, air matanya berlinang. Ia berjalan pelan, naik ke tribune utara stadion, mengambil pengeras suara, lalu dengan mata yang masih basah, berucap lantang-lantang:
“Di Dreisamstadion.. Ini adalah rumah kita!”
Streich pantas menangis haru sebab Dreisamstadion benar-benar seperti rumah baginya. Ia adalah mantan pemain Freiburg dan kini bertugas sebagai juru taktik. Karier kepelatihannya dimulai sejak 1995 sebagai pelatih tim U-19, lalu diangkat menjadi pelatih kepala per 2011.
Sejak saat itu, pria berusia 56 tahun tersebut belum berpindah klub dan Freiburg tak pernah berniat menyingkirkan si pelatih, bagaimanapun kondisinya. Pernah Freiburg terdegradasi ke Bundesliga 2 pada 2014–15, tetapi Streich masih diandalkan penuh.
Bagi para petinggi klub, memecat Streich memang bukan pilihan. Mereka sudah kepalang cocok pada semua aspek. Freiburg adalah tim medioker yang super irit sehingga mengandalkan banyak pemain binaan untuk bertahan. Streich, di sisi lain, adalah sosok yang membenci industri sepak bola.
Kamu bisa melihat komentarnya belum lama ini perihal isu HAM yang membelit pemilik baru Newcastle United. Ingat-ingat pula ucapan pedasnya tatkala membahas keterlibatan uang dalam transfer mencengangkan Neymar ke Paris Saint-Germain beberapa tahun lalu.
Itulah kenapa Streich tak banyak menuntut pada tiap bursa transfer. Musim ini saja, pengeluaran mereka bahkan tak lebih dari lima juta euro. Itu pun hanya mereka gunakan untuk merekrut seorang Maximilian Eggestein dari Werden Bremen yang terdegradasi.
Selebihnya, selain mempertahankan sebagian besar pemain musim lalu, Freiburg mempromosikan para pemain dari tim kedua serta memanggil kembali sejumlah pemain yang dipinjamkan. Salah satunya langganan baru Timnas Jerman: Nico Schlotterbeck.
Manuver irit seperti itu ternyata mampu mengantarkan Freiburg mencapai performa yang tak pernah terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Sejauh ini mereka jadi satu-satunya tim yang belum pernah kalah. Dengan empat kemenangan dan tiga kali imbang, mereka nyaman di urutan keempat.
Hasil-hasil tersebut termasuk kemenangan 2–1 atas tim kuat macam Borussia Dortmund yang kini punya 15 poin. Singkat kata, sama dengan yang mereka miliki.
Rahasia Freiburg terletak pada permainan yang amat solid, rapat, dan disiplin, terutama saat bertahan. Dengan skema 3–4–3 dan 4–4–2, Freiburg cenderung menunggu tatkala tak menguasai bola. Tiga bek tengah yang dikomandoi Schlotterbeck punya peran penting dalam menjaga kedalaman.
Ditambah dengan Eggestein dan Nicolas Hoefler sebagai duet gelandang yang juga tak begitu agresif membantu penyerangan, Freiburg bisa menumpuk lima hingga enam pemain sekaligus di kotak penalti. Ini belum menghitung para pemain depan yang juga aktif bertahan.
Dampak dari pendekatan itu, mereka menjadi tim dengan agresivitas pressing terendah musim ini (883 kali). Namun, hasilnya positif karena pertahanan mereka relatif aman, terlebih kiper Mark Flekken sedang bagus-bagusnya. Hingga kini Freiburg baru bobol lima kali, terendah musim ini.
“Tim telah berkembang menjadi lebih dewasa dan lebih tenang saat menguasai bola. Tapi stabilitas pertahanan yang kami bangun berdasarkan pendekatan kolektif adalah fondasi utama (kesuksesan sejauh ini),” kata direktur olahraga Freiburg, Jochen Saier, kepada Kicker.
Meski begitu, Freiburg bukannya tak punya agresivitas sama sekali. Jika momennya dianggap pas, misalnya ketika shape lawan sedang bermasalah, dua hingga tiga pemain sekaligus bisa langsung mengerebungi lawan.
Ketika bola berhasil direbut, mereka akan langsung melancarkan serangan cepat dan direct. Gol kedua dalam kemenangan atas Borussia Dortmund berawal dari cara ini. Kala itu, Hoefler berhasil merebut bola dari Jude Bellingham yang bisa langsung dimanfaatkan menjadi gol.
Satu senjata lain yang Freiburg miliki untuk mencetak angka adalah bola mati. Dalam hal ini, Vincenzo Grifo memegang peran penting lewat eksekusi set piece-nya. Bukan kebetulan jika empat dari sebelas gol Freiburg musim ini berawal dari skema tersebut, entah via tendangan bebas atau sepak pojok.
Dengan cara-cara itulah Streich membawa Freiburg terbang tinggi, setidaknya sejauh ini.
Terlepas bagaimana akhirnya nanti, musim ini adalah tahun kesepuluh Streich membidani taktik Freiburg. Dari situ, sebanyak 363 pertandingan dia lakoni sebagai pelatih. Belum pernah ada pelatih klub Bundesliga yang bekerja selama itu sebelumnya.
“Ini waktu yang sangat lama. Saya bekerja di sini (Dreisamstadion) setiap hari, dengan pertandingan yang sudah tak terhitung berapa banyaknya, dengan ribuan sesi latihan. Sekarang saya bisa menikmatinya,” ucap Streich di hadapan para suporter.
“Ada ratusan momen tak terlupakan. Melihat ke belakang, sebagian besar adalah momen bahagia, dengan kebersamaan yang nyata. Stadion ini mewakili sejarah yang luar biasa. Tak ada yang bisa memprediksi bahwa kami akan bermain di Bundesliga selama bertahun-tahun.”
Bagi para suporter Freiburg, waktu yang teramat lama, yang seolah tak terhitung lagi jumlahnya itu adalah wujud dari keabadian. Dreisamstadion mungkin tak lagi mereka gunakan, tetapi Streich akan terus memimpin mereka hingga waktu yang entah kapan.