Menahbiskan Tottenham sebagai Raja London Utara

Twitter @SpursOfficial

Bukan salah Arsenal, memang Mourinho dan Tottenham yang kebangetan. Itu harus mulai dimaklumi karena, maaf, Tottenham dan Arsenal sudah tak lagi sebanding.

Blablabla.. Kritik (masih) ditebar ke Jose Mourinho sampai sekarang. Dicap parkir buslah atau cuma mengandalkan serangan baliklah. 

Sepak bola pragmatis-nya dibilang banci. Tak lebih berani dari gegenpressing milik Juergen Klopp dan tak seindah juego de position ala Pep Guardiola. Yah, bisa benar, tetapi juga bisa salah. 

Namun, ada kebenaran yang tak bisa dimungkiri. Kebenaran mutlak bahwa Tottenham Hotspur adalah pemenang di Derbi London Utara. Pada Minggu malam tadi, Arsenal mereka libas dua gol tanpa balas.


Hasil itu sebenarnya tak terlalu mengagetkan. Secara performa, Tottenham dan Arsenal dalam kondisi berbeda. Form Tottenham impresif. Mereka sebelumnya tak terkalahkan dalam 9 pertandingan terakhir di liga, enam di antaranya ditutup dengan kemenangan.

Arsenal jangan ditanya. Sudah lebih dari sebulan mereka gagal menang di Premier League. The Gunners cuma bisa imbang dengan Leeds United serta keok dari Aston Villa dan Wolverhampton Wanderers. Mereka juga hanya mampu bikin sebiji gol dalam rentang waktu tersebut.

Problem ini tertuang jelas di laga malam tadi. Serangan Arsenal sporadis dan miskin alternatif. Gamblangnya, sih, cuma crossang-crossing mulu. Opta mencatat Arsenal telah mengirimkan 44 umpan silang sepanjang pertandingan. Itu jadi yang tertinggi di antara seluruh klub Premier League musim ini.


Oke, tak ada yang salah dengan umpan silang. Namun, semakin sering tim mengirimkan umpan silang, semakin menunjukkan bahwa mereka bimbang.

Banyak ruang yang sebenarnya bisa dieksplotasi. Eh, mereka memilih untuk berlari ke tepi kemudian melepaskan umpan silang ke kotak penalti. Sialnya, cara itu tak efektif sama sekali.

Pierre-Emerick Aubameyang nyaris enggak ngapa-ngapain. Cuma 2 tembakan dibuatnya sepanjang laga. Itu pun tak ada yang tepat sasaran.

Kredit justru lebih layak diberikan kepada Alexandre Lacazette. Kontribusinya lebih menonjol. Ya jadi jembatan antarlini, ya jadi shooter juga. Lacazette total 2 kali mengancam gawang Hugo Lloris meski dua-duanya tak berbuah hasil.

Lucunya, expected goals (xG) Arsenal lebih besar ketimbang Tottenham. Nilai mereka ada di angka 0,61, sedangkan The Lilywhites yang cuma mencapai 0,27.

Arsenal bukan satu-satunya korban Tottenham. Mereka pernah melakukan hal serupa kepada Manchester City. Khususnya, mengebiri opsi serangan.

Secara konsisten Pierre-Emile Hojbjerg dan Moussa Sissoko mengover half-space. Area ini merupakan teritori yang rawan dieksploitasi para pemain City. Pun dengan Son Heung-Min dan Harry Kane yang aktif mundur.

Formula itu tokcer. City frustrasi dan dipaksa melepaskan crossing secara intens. Kita tahu, skuad mereka tak mumpuni dalam mengakomodasi umpan silang.

Whosocred mencatat ada 30 crossing yang dibuat Kevin De Bruyne dkk di pertandingan tersebut. Jumlah itu nyaris 2 kali lipat dari rata-rata per laga mereka di Premier League 2020/21.


Seperti yang pernah kami bahas, Mourinho telah menemukan tim terbaiknya di musim ini, lebih tepatnya para pemain yang cocok dengan gaya mainnya. Itulah yang membedakannya dengan Mikel Arteta dan Arsenalnya.

Mourinho memampatkan area belakang kemudian mununggangi serangan balik sebagai senjatanya. Ini terkesan simpel. Namun, jangan salah, dibutuhkan individu-individu yang tepat buat merealisasikannya.

Bek tengah dengan daya olah bola mumpuni, sepasang full-back yang mampu membantu serangan, gelandang serbabisa, winger tajam, plus striker yang mampu menginisiasi serangan. Begitulah, Tottenham punya semuanya.

Tottenham membuktikan itu di depan Arsenal. Bagaimana mereka membuat lini depan 'Meriam London' sembelit dan bikin dua gol yang semuanya berawal dari counter attack.

Gol pertama menunjukkan cara kerja sistem Mourinho. Sekaligus mematahkan serangan Arsenal, barisan pertahanan Tottenham langsung memberikan bola kepada Kane yang bermain lebih dalam.

Kane menahan momentum kemudian mengirimkan bola kepada Son yang datang dari lini kedua. Dia tak sendirian, ada Sergio Reguillon yang turut membiaskan kawalan winger Korea Selatan itu. Boom! Terciptalah gol cantik Son pada menit 13.

Sementara gol kedua kebalikannya. Son yang jadi inisiator Kane. Skemanya serupa, via serangan balik.


Lagi dan lagi, Mourinho membuktikan bahwa penguasaan bola bukanlah segalanya. Total 6 tembakan dengan persentase penguasaan bola 30,3% tidak berarti inferior. Kemenangan adalah kemenangan. Cukup cetak gol lebih banyak dari lawan. Sesederhana itu buat Mourinho.

Arteta tak bisa menampik, apalagi melawan mazhab itu. Bahkan dengan embel-embelnya sebagai murid Pep Guardiola sekalipun.

"Sederhana, kami sebenarnya hanya perlu mencetak gol. Jika tidak, itu akan sia-sia. Tidak peduli hal apa yang kami lakukan di lapangan, jika kami tidak mencetak gol, kami tidak bisa berbuat apa-apa," kata Mikel Arteta selepas pertandingan.

Meski gagal menyelesaikan tugas yang sederhana, Arteta tak wajib jadi kambing hitam. Toh, memang Mourinho dan Tottenham yang kebangetan. Pemakluman ini sepertinya mulai diperlukan. Demi kemaslahatan bersama. Karena, maaf, Tottenham dan Arsenal sudah tak lagi sebanding.