Menjadi Underdog yang Cerdik seperti Swiss

Foto: Instagram @swiss_nati_men.

Swiss tidak memiliki banyak kemewahan ketika berbicara soal sepak bola. Oleh karena itu, mereka mesti bermain dengan cerdik.

Swiss, dengan segala apa yang mereka miliki, selalu terlihat beradab; kualitas hidup, makanan enak, lingkungan yang nyaman, hingga dijadikan rumah untuk berbagai organisasi penting. Swiss, pada akhirnya, lebih mirip sebuah safe haven dari beragam riuh-rendah hidup dan segala kepenatannya.

Bukan kebetulan pula, Swiss menjadi tempat bertumbuhnya anak-anak imigran. Mereka lahir dari keluarga yang mencari tempat benaung baru. Maka, ketika menyebutnya sebagai safe haven pada alinea sebelumnya, ia tak tampak seperti sebuah kiasan lagi. Swiss memang sebenar-benarnya safe haven itu.

Ketika batas-batas dan sekat-sekat makin tebal, dan prasangka akan kehadiran pendatang makin banal, Swiss serta berbagai negara lainnya yang tim sepak bolanya disesaki oleh kehadiran anak-anak imigran menunjukkan bahwa menjadi tempat bernaung bagi mereka yang membutuhkan tidaklah buruk-buruk amat.

Di skuad Swiss saat ini ada Granit Xhaka, yang berasal dari keluarga etnis Albania, Xherdan Shaqiri (berdarah Kosovo-Albania), hingga Haris Seferovic, yang keluarganya memutuskan berimigrasi ke Swiss dari Yugoslavia pada tahun 1980-an. Ketiganya, tentu saja, hanya sebagian contoh. Masih ada beberapa pemain lainnya di skuad Swiss yang lahir dari keluarga imigran.

Semuanya menjadikan Swiss lebih berwarna sebagai sebuah tim. Terlepas dari citra negara yang serba rapi dan terstruktur, kenyataannya tidak selalu demikian di sepak bola. Di atas lapangan hijau, Swiss mesti bertungkus lumus dan mengais, menggunakan apa pun yang mereka miliki untuk bisa berbicara, selain mengandalkan struktur permainan yang rapi. Ini berbeda dalam kehidupan bernegara, di mana mereka bisa bertindak sebagai sebuah pusat.

Swiss tidak pernah benar-benar punya pemain sepak bola yang berstatus bintang. Dalam rekam jejak mereka, kebanyakan hanyalah pemain-pemain dengan level “bagus” dan “cukup bagus”. Mereka, kendatipun tidak pernah menjadi superstar di level klub, berfungsi secara kolektif ketika bermain untuk kostum merah dan putih Swiss.

Xhaka, misalnya, sering betul mendapatkan cercaan dan menjadi kambing hitam ketika bermain untuk Arsenal. Namun, bersama Swiss, ia benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Ia tak mendapatkan beban sorotan, cukup berkonsentrasi menjaga kedalaman Swiss dan memberikan keseimbangan di lini tengah.

Di Swiss, Xhaka mendapatkan partner yang bisa membuatnya berbagi tugas mengawal area sentral pada diri Remo Freuler. Gelandang 29 tahun milik Atalanta tersebut mendapatkan tugas untuk bergerak lebih dinamis ketimbang Xhaka.

Hal ini tidak mengherankan karena, meskipun lebih sering bermain sebagai gelandang tengah dan gelandang bertahan di Atalanta, Freuler masih bisa membuat rata-rata 0,9 operan kunci per laga selama 2.721 menit bermain di Serie A 2020/21. Dari catatan tersebut, Freuler bisa menyumbang 3 assist.

Jika sebuah tim sepak bola negara acap dikait-kaitkan dengan karakteristik masyarakatnya—misal: Belanda yang orang-orangnya acap mengakali ruang karena negaranya sempit, juga suka bermain dengan memanfaatkan dan mengeksploitasi ruang di lapangan—, rasa-rasanya tidak mengherankan melihat cara main Swiss. Sebagai sebuah negara yang terkenal rapi dan terstruktur, begitu jugalah yang dilakukan Swiss di atas lapangan.

Pada tulisan sebelumnya, Panduan Grup A Euro 2020, The Flanker menulis bahwa Swiss terbiasa untuk tampil pragmatis. Mereka sering bermain menunggu sembari menanti kesempatan datang dan balas menyerang. Kendati begitu, bukan berarti Swiss adalah tim yang kaku. Sebaliknya, mereka adalah tim yang adaptif.

Jika sebelumnya terbiasa bermain dengan empat bek, dalam beberapa pertandingan uji coba sebelum Piala Eropa 2020 dimulai, Swiss mulai berani bereksperiman dengan format tiga bek. Dengan skema tersebut, Swiss bisa sedikit tampil lebih berani dengan menaikkan garis pertahanan mereka.

Namun, seperti apa pun skemanya, Swiss tetap mengandalkan kerapatan antarpemain dan kekokohan di area sentral. Duet Xhaka dan Freuler mengemban peran penting di sini. Di depan mereka, biasanya berdiri Xherdan Shaqiri yang dipercaya untuk menjadi jembatan untuk lini tengah dan lini depan.

Kendatipun demikian, Shaqiri tetap merepresentasikan gaya main Swiss itu sendiri: Rapi, terstruktur, dan tetap mengandalkan etos kerja. Terbukti, meski berstatus sebagai pemain ofensif, Shaqiri sudah melakukan 4 ball recovery sepanjang turnamen. Rata-rata, ia melakukan 1 ball recovery per laga.

Ini belum termasuk dengan 32,9 km distance covered yang ia jelajahi. Luas area jelajah itu memang masih jauh berbeda dengan Freuler, yakni 46,3 km, tetapi menunjukkan bahwa pemain depan seperti Shaqiri pun mesti bekerja sama kerasnya dengan gelandang tengah seperti Freuler.

Jika kerapatan antarpemain, etos kerja, dan kedisiplinan sudah mereka lakukan dengan baik, barulah Swiss mencari cara bagaimana mendapatkan celah dari lawan yang mereka hadapi. Biasanya, para pemain sayap, entah itu Steven Zuber, Silvan Widmer, atau Kevin Mbabu yang menjadi tumpuan.

Dalam formasi tiga bek, Swiss biasanya mengandalkan kedua orang wingback dengan Shaqiri ditempatkan di belakang dua orang penyerang. Ketika menyingkirkan Prancis di perdelapan final, dua pos terdepan itu menjadi milik Seferovic dan Breel Embolo. Sedangkan pos kedua wingback dalam starting XI ditempati oleh Widmer dan Zuber.

Pertandingan melawan Prancis itu sendiri memperlihatkan bagaimana Swiss, yang notabene sebagai underdog, memanfaatkan sekecil apa pun peluang yang mereka miliki. Kemenangan itu sendiri juga mengikutsertakan faktor kegagalan Prancis mengunci pertandingan ketika sudah unggul 3-1 dan defensive lapse di lini belakang mereka.

Defensive lapse Prancis itu kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Swiss. Sadar bahwa ada titik lemah di area sayap—terutama area sayap kiri Prancis—, Swiss berulang kali mengandalkan umpan silang sebagai senjata untuk mengancam pertahanan Les Bleus. Dua dari tiga gol Swiss pada waktu normal dalam pertandingan tersebut semuanya diawali oleh sebuah umpan silang.

Khusus untuk gol pertama Swiss pada pertandingan itu, kredit khusus layak disematkan kepada Seferovic. Dalam prosesnya, Seferovic menunjukkan bahwa jika lapangan adalah sebuah arena untuk berduel, ia adalah orang yang paling siap untuk beradu jotos dengan tangan kosong. Pemain berusia 29 tahun itu tidak hanya memiliki fisik kokoh, tetapi juga kepintaran.

Sesaat sebelum melompat untuk menyundul, ia lebih dulu menahan Clement Lenglet dengan tangannya, membuat bek Prancis itu kehilangan momentum untuk melompat. Begitu Lenglet kehilangan momentum, Seferovic baru melompat dan menyundul bola.

Kita bisa memakluminya meskipun cara tersebut tidak elegan. Sebagai sebuah tim yang berstatus sebagai underdog, Swiss—dan juga Seferovic—memang harus berusaha segenap upaya untuk memaksimalkan apa pun yang mereka miliki. Mengingat lawan yang bakal dihadapi berikutnya adalah Spanyol, kami tidak akan heran apabila Swiss dan Seferovic bakal melakukan cara serupa, dengan menjadi jeli dan memanfaatkan sekecil apa pun kesalahan lawan, untuk mencuri kemenangan.