Panduan Grup A Euro 2020

Ilustrasi: Arif Utama.

Grup A Euro 2020 memang bukan "Grup Neraka". Namun, melihat tim-tim yang berada di dalamnya, grup ini berpotensi menjadi salah satu grup paling ketat di Piala Eropa kali ini.

Apa yang pernah kamu dengar soal Roma? Katanya, ia adalah kota abadi dengan segudang mitos dan sejarah peradaban. Untuk membangunnya, butuh peluh, pergumulan, dan pertumpahan darah.

Berpangkal dari Remus dan Romulus yang menyusu pada serigala betina, lalu berlanjut pada pembunuhan Julius Caesar oleh anggota senatnya sendiri pada Ides of March, Roma berubah menjadi kota yang sepertinya harus kamu kunjungi sekali dalam seumur hidup.

Pada 2021, Roma menjadi salah satu dari 11 tuan rumah Piala Eropa 2020. Ia menggelar tiga pertandingan di Grup A: Turki vs Italia, Italia vs Swiss, dan Italia vs Wales. Bersama tuan rumah paling jauh, Baku, Roma menjadi rumah buat Italia, Turki, Swiss, dan Wales.

Ini bukan grup yang terlihat sesak dengan kekuatan besar, bukan—seperti kitsch yang sering dikumandangkan di dunia sepak bola—sebuah “Grup Neraka”. Namun, adakah jaminan bahwa mereka yang terlihat biasa-biasa saja tidak bakal bergulat sampai kaki lumpuh? Jangan-jangan malah sebaliknya.

Italia

Satu-satunya trofi Piala Eropa Italia didapatkan pada 1968, ketika format putaran finalnya baru berbentuk babak semifinal dan final saja. Seluruh pertandingan sebelum itu, baik fase grup maupun babak gugur, dianggap sebagai babak kualifikasi dengan format kandang dan tandang.

Cara Italia untuk mendapatkan trofi itu pun terbilang tidak lazim (dan entah bakal seperti apa ributnya kalau terjadi pada masa sekarang). Di semifinal, mereka mengandaskan Uni Soviet setelah bermain imbang 0-0 selama 120 menit. Karena format Piala Eropa waktu itu belum mengenal adu penalti, diadakanlah coin toss alias undian lempar koin.

Keberuntungan berpihak kepada Italia. Kapten mereka, Giacinto Fachetti, memilih tails (ekor) alias bagian bawah koin kuno yang dibawa sang wasit. Hari itu, pilihan Fachetti menentukan langkah Italia ke final karena setelah koin dilempar, ia mendarat dengan bagian ekor menghadap ke atas.

Sejarah perjalanan di Italia di turnamen-turnamen besar memang acap diwarnai keajaiban atau cerita-cerita tak lazim. Kegagalan di Piala Dunia 1994, misalnya, ditentukan oleh kegagalan tiga penendang pada babak adu penalti, salah satunya Roberto Baggio. Lantas, keberhasilan pada Piala Dunia 2006 mereka dapatkan dengan kasus calciopoli menggentayangi liga sendiri.

Terlepas dari apakah keberuntungan berpengaruh sebegitu besar atau tidak, Italia acapkali bisa memaksimalkan keterbatasan mereka. Pada Piala Eropa 2016, skuad milik Antonio Conte disebut-sebut kalah rupawan jika dibandingkan dengan tim-tim besar lainnya. Kenyataannya, Conte—yang terkenal amat demanding itu—bisa membangun sebuah skema yang cocok dengan pemain yang ia miliki. Hasilnya, Italia melaju sampai perempat final.

Oleh karena itu, jangan anggap remeh Italia hanya karena mereka minim bintang. Italia adalah negeri kemungkinan. Akademi kepelatihan mereka di Coverciano tidak pernah menekankan didikan-didikannya pada satu filosofi khusus. Di Coverciano, mereka lebih sering berbicara soal solusi sehingga pemikiran seperti apa pun diterima di sana—selama solusi itu bisa memunculkan berbagai macam kemungkinan.

Italia pada Piala Eropa 2020 memang masih membawa nama-nama uzur seperti Leonardo Bonucci (34 tahun) dan Giorgio Chiellini (36). Namun, jangan lupakan juga bahwa dalam beberapa musim terakhir, Serie A telah memunculkan beberapa pemuda menjanjikan, mulai dari Nicolo Barella (24), Federico Chiesa (23), hingga Alessandro Bastoni (22).

Nama-nama itu masih ditambah dengan kehadiran gelandang-gelandang cerdas seperti Jorginho, Manuel Locatelli, dan Marco Verratti. Singkat cerita, meskipun skuadnya tak gemerlap bertabur bintang, Italia tetap punya modal bagus dan terlalu naif menyebut mereka sebagai kuda hitam.

Jangan lupakan juga bahwa sejak 2020 hingga 2021, Italia belum terkalahkan dalam laga internasional mereka. Total, mereka meraih 10 kemenangan dan 3 hasil imbang. Kalau pemilihan skuad mereka saat ini juga berpatokan pada kebiasaan dan keselerasan antarpemain, deretan hasil pada laga internasional itu layak jadi pertimbangan.

Semua itu juga menunjukkan bahwa Italia bisa mengandalkan kolektivitas sekalipun tidak dihuni oleh superstar. Yang mereka butuhkan hanyalah seorang pelatih bagus yang bisa meramu tim dengan baik. Bukan kebetulan, mereka kini dilatih oleh Roberto Mancini.

Dengan kehadiran gelandang-gelandang cerdas seperti Jorginho dan Verratti, jangan heran kalau Italia-nya Mancini bisa mengontrol pertandingan via operan pendek dari lini tengah. Oleh Michael Cox di The Athletic, gaya main seperti ini disebut sebagai “Tikitalia”.

Skuad Italia

Pelatih: Roberto Mancini.

Penjaga gawang: Salvatore Sirigu (Torino), Gianluigi Donnarumma (AC Milan), Alex Meret (Napoli).

Pemain bertahan: Giovanni Di Lorenzo (Napoli), Giorgio Chiellini (Juventus), Leonardo Spinazzola (AS Roma), Emerson (Chelsea), Francesco Acerbi (Lazio), Leonardo Bonucci (Juventus), Alessandro Bastoni (Inter), Alessandro Florenzi (Paris Saint-Germain), Rafael Toloi (Atalanta).

Pemain tengah: Manuel Locatelli (Sassuolo), Marco Verratti (Paris Saint-Germain), Lorenzo Pellegrini (AS Roma), Jorginho (Chelsea), Matteo Pessina (Atalanta), Federico Chiesa (Juventus), Bryan Cristante (AS Roma), Nicolo Barella (Inter), Federico Bernardeschi (Juventus).

Pemain depan: Andrea Belotti (Torino), Lorenzo Insigne (Napoli), Domenico Berardi (Sassuolo), Ciro Immobile (Lazio), Giacomo Raspadori (Sassuolo).

Swiss

Sama seperti negaranya sendiri, Swiss tidak pernah terlihat seperti sebuah kekuatan besar. Namun, jika mengenalnya sedikit lebih jauh, kamu akan langsung tahu bahwa mereka adalah tim (atau negara) yang reliable (dapat diandalkan), rapi, dan efisien.

Swiss juga terbilang konsisten. Di Piala Dunia, mereka selalu ikut serta sejak 2006 hingga 2018. Di Piala Eropa, sejak 1996, hanya pada edisi 2000 dan 2012 mereka absen. Kendati begitu, prestasi mereka pada perhelatan besar dalam kurun tersebut tidak mentereng-mentereng amat.

Terbiasa tampil pragmatis dengan back-four dan memilih untuk menunggu kesempatan datang kepada mereka, Swiss pada Piala Eropa 2020 adalah Swiss yang baru. Pelatih mereka, Vladimir Petkovic, mulai menjajal format tiga bek, seperti yang mereka perlihatkan pada laga friendly melawan Finlandia (menang 3-2), Amerika Serikat (menang 2-1), dan Liechtenstein (menang 7-0).

Dengan format tiga bek tersebut, Swiss lebih berani untuk bermain proaktif. Mereka lebih berani memasang garis pertahanan sedikit lebih tinggi karena beberapa faktor. Beberapa di antaranya adalah kehadiran Granit Xhaka, serta kehadiran duet Kevin Mbabu dan Steven Zuber.

Pada pertandingan melawan Finlandia dan Liechtenstein, Mbabu dan Zuber diplot sebagai wingback dan menunjukkan bahwa mereka mampu naik-turun dengan cepat—membantu serangan sekaligus meng-cover pertahanan. Sementara, Granit Xhaka akan diduetkan dengan Denis Zakaria atau Remo Freuler.

Jika Xhaka diplot untuk berdiam di kedalaman sembari meng-cover pertahanan, biasanya rekannya di lini tengah bakal mendapatkan peran untuk bergerak lebih progresif. Sementara, di lini depan Swiss kemungkinan akan mengandalkan dua orang pemain yang bisa bergerak di antarlini plus satu orang penyerang tengah.

Skuad Swiss

Pelatih: Vladimir Petkovic.

Penjaga gawang: Yann Sommer (Borussia Moenchengladbach), Yvon Mvogo (PSV Eindhoven), Jonas Omlin (Montpellier).

Pemain bertahan: Kevin Mbabu (VfL Wolfsburg), Silvan Widmer (Basel), Nico Elvedi (Borussia Moenchengladbach), Manuel Akanji (Borussia Dortmund), Ricardo Rodriguez (Torino), Loris Benito (Bordeaux), Fabian Schaer (Newcastle United), Becir Omeragic (Zurich), Eray Coemert (Basel), Jordan Lotomba (Nice), Steven Zuber (Eintracht Frankfurt).

Pemain tengah: Denis Zakaria (Borussia Moenchengladbach), Remo Freuler (Atalanta), Granit Xhaka (Arsenal), Ruben Vargas (FC Augsburg), Djibril Sow (Eintracht Frankfurt), Christian Fasnacht (Young Boys), Edimilson Fernandes (Mainz 05).

Pemain depan: Breel Embolo (Borussia Moenchengladbach), Haris Seferovic (Benfica), Admir Mehmedi (VfL Wolfsburg), Mario Gavranovic (Dinamo Zagreb), Xherdan Shaqiri (Liverpool).

Turki

Sulit untuk menebak Turki bakal melaju sejauh apa. Mereka pernah menempati posisi ketiga pada Piala Dunia 2002, tetapi gagal lolos pada edisi 2006 hingga 2018. Di Piala Eropa juga tak jauh berbeda; setelah menjadi semifinalis pada 2008, mereka tak lolos pada edisi 2012 dan cuma sampai fase grup pada 2016.

Namun, menjatuhkan Turki boleh jadi adalah perkara yang sama sulitnya dengan menebak bakal sejauh mana mereka melangkah. Punya pertahanan kokoh dan gelandang yang sulit untuk diterabas begitu saja adalah kunci Turki untuk menjadi kuda hitam pada turnamen kali ini.

Melihat uji coba mereka pada tiga friendly terakhir, yakni melawan Azerbaijan, Guinea, dan Moldova, kemungkinan besar Turki akan bermain dengan 4-4-2 atau 4-1-4-1. Namun, intinya sama: Mereka mengandalkan kekohan dengan memasang dua banks of four di belakang dan tengah.

Tweak khusus paling-paling terjadi pada keputusan memainkan dua penyerang atau menempatkan satu gelandang ekstra di antara lini belakang dan tengah. Yang jelas, memainkan formasi mana pun, Turki punya poros yang cukup kokoh dan relatif sulit ditembus di area sentral.

Di belakang, mereka memiliki Merih Demiral dan Caglar Soyuncu. Sedangkan di lini tengah, mereka punya Okay Yokuslu—yang bisa dimainkan sebagai gelandang tengah pada 4-4-2 atau gelandang bertahan dengan role sebagai holding midfielder pada 4-1-4-1—dan Ozan Tufan yang cukup dinamis dan punya stamina bagus—sehingga memungkinkannya bermain sebagai box-to-box midfielder.

Tidak hanya kokoh, Turki juga masih punya beberapa pemain yang bisa menawarkan flair ke dalam skuad. Mereka adalah Hakan Calhanoglu, seorang pemberi operan jitu dan spesialis bola mati, dan Burak Yilmaz, yang baru saja menjalani musim bagus bersama Lille.

Yilmaz bisa diplot sebagai striker tunggal ataupun bermain dengan pendamping. Jika lini depan mandek, masih ada Cengiz Uender yang bisa dimainkan dengan tujuan untuk memanfaatkan serangan balik.

Skuad Turki

Pelatih: Senol Gunes.

Penjaga gawang: Mert Gunok (Istanbul Basaksehir), Altay Bayindir (Fenerbahce), Ugurcan Cakir (Trabzonspor).

Pemain bertahan: Zeki Celik (Lille), Merih Demiral (Juventus), Caglar Soyuncu (Leicester City), Umut Meras (Le Havre), Ozan Kabak (Liverpool/Schalke 04), Ridvan Yilmaz (Besiktas), Kaan Ayhan (Sassuolo), Mert Muldur (Sassuolo).

Pemain tengah: Okay Yokuslu (West Bromwich Albion/Celta Vigo), Ozan Tufan (Fenerbahce), Cengiz Uender (Leicester/AS Roma), Dorukhan Tokoz (Besiktas), Hakan Calhanoglu (AC Milan), Yusuf Yazici (Lille), Taylan Antalyali (Galatasaray), Orkun Kokcu (Feyenoord), Abdulkadir Omur (Trabzonspor), Irfan Kahveci (Fenerbahce), Kerem Akturkoglu (Galatasaray).

Pemain depan: Kenan Karaman (Fortuna Duesseldorf), Enes Unal (Getafe), Burak Yilmaz (Lille), Halil Dervisoglu (Galatasaray).

Wales

Wales akhirnya mulai menikmati status mereka sebagai tim reguler pada Piala Eropa dalam dua edisi terakhir—termasuk Euro 2020 ini. Sebelumnya, mereka belum pernah lolo satu kali pun ke turnamen terakbar negara-negara Eropa tersebut.

Terakhir, Wales lolos sampai semifinal Piala Eropa 2016 sebelum akhirnya dihentikan oleh Portugal—yang akhirnya tampil sebagai juara. Untuk mengidentifikasi Wales, tidak ada salahnya berkaca pada tiga laga terakhir mereka, termasuk dua laga friendly, yakni menghadapi Republik Ceko, Prancis, dan Albania.

Dalam tiga pertandingan tersebut, Wales lebih sering memainkan pola tiga bek. Namun, formasi yang mereka terapkan selalu berbeda, entah itu 3-4-3, 4-3-3, ataupun 3-5-2. Namun, ada satu benang merah yang bisa kita tarik dari formasi yang mereka terapkan pada laga-laga tersebut.

Entah bermain dengan tiga bek ataupun empat bek, Wales bakal selalu mengandalkan serangan-serangan dari sisi sayap, entah itu lewat full-back, wing-back, ataupun para penyerang sayap. Kebetulan, mereka memiliki lini depan yang cukup fluid.

Wales memiliki pemain-pemain cepat pada diri Daniel James ataupun Harry Wilson. Kecepatan dan kelincahan kedua pemain bisa dimanfaatkan untuk melakukan serangan balik. Selain itu, menurut Michael Cox di The Athletic, keduanya bisa bertukar posisi secara cair dengan Gareth Bale.

Jika pendekatan gaya main seperti itu tidak cukup untuk menembus pertahanan lawan atau mencetak gol, mereka bisa mengandalkan umpan direct kepada Kieffer Moore—yang bertinggi 196 cm—sebagai target man atau pemantul.

Di lini tengah, Wales mendapatkan berkah dengan kehadiran para gelandang yang bisa mengontrol permainan dan memberikan operan jitu dalam diri Joe Allen dan Aaron Ramsey. Satu pemain yang bisa menjadi kejutan untuk Wales adalah gelandang berusia 20 tahun, Dylan Levitt.

Skuad Wales

Pelatih: Rob Page*

Penjaga gawang: Wayne Hennessey (Crystal Palace), Danny Ward (Leicester City), Adam Davies (Stoke City).

Pemain bertahan: Chris Gunter (Charlton Athletic), Neco Williams (Liverpool), Ben Davies (Tottenham Hotspur), Tom Lockyer (Luton Town), Joe Rodon (Tottenham Hotspur), Connor Roberts (Swansea City), Rhys Norrington-Davies (Sheffield United), Chris Mepham (Bournemouth), Ben Cabango (Swansea City).

Pemain tengah: Joe Allen (Stoke City), Aaron Ramsey (Juventus), Ethan Ampadu (Chelsea), Joe Morrell (Luton Town), Jonny Williams (Cardiff City), David Brooks (Bournemouth), Daniel James (Manchester United), Dylan Levitt (Manchester United), Rubin Colwill (Cardiff City), Matthew Smith (Manchester City), Harry Wilson (Cardiff City/Liverpool).

Pemain depan: Tyler Roberts (Leeds United), Gareth Bale (Tottenham Hotspur/Real Madrid), Kieffer Moore (Cardiff City).

*: Rob Page menjadi pengganti sementara Ryan Giggs selama turnamen. Giggs tersandung kasus hukum karena melakukan tindak kekerasan terhadap dua orang wanita.

Issue!

Panduan Fase Grup Euro 2020

Panduan lengkap persaingan di keenam grup Euro 2020.