Pengasingan Mesut Oezil

Ilustrasi: Arif Utama

Sebagian berkata Oezil tersingkir karena sikap politiknya soal Muslim Uighur. Sebagian lagi menganggap bahwa pengasingan itu logis karena Oezil tak bisa masuk dalam rencana taktik tim. Apa pun alasanya, pengasingan ternyata bukan perkara asing dalam sepak bola.

Pada suatu waktu kita bertanya-tanya tentang apa yang pertama kali membuat Mesut Oezil menghilang dari Arsenal.

Di sebuah pulau tak bernama dalam karya Yoko Ogawa berjudul 'Hisoyaka na kesshō' (The Memory Police atau Polisi Kenangan), kehilangan adalah perkara biasa. Secara berkala, benda, hewan, dan tumbuhan mulai menghilang dari ingatan penduduk pulau tersebut, mulai dari perahu, topi, pita, parfum, burung, bunga, hingga akhirnya kaki kiri manusia.

Apa pun yang hilang tidak akan lagi memiliki makna. Benda tersebut bisa dibakar, dilarung, atau diserahkan kepada aparatur negara yang disebut dengan Polisi Kenangan. Serupa kalian yang bertanya-tanya, orang-orang di pulau itu juga tak paham mengapa benda-benda tersebut harus dilenyapkan.

Akan tetapi, selalu ada orang-orang yang tidak bisa lupa, tidak ada pula yang tahu apa penyebabnya. Polisi Kenangan juga bertugas mengatasi orang-orang seperti ini. 

Mereka yang masih bisa mengingat harus disingkirkan, diasingkan entah ke mana. Barangkali dibunuh, barangkali dikurung. Pokoknya, ia mesti berjarak dari orang-orang di pulau itu.

Desember 2019, Oezil membangunkan orang-orang dengan tweet soal orang-orang Muslim Uighur di Xinjiang, China. Ia mengutuk segala persekusi yang dilakukan kepada kaum Muslim di sana. 

Oezil meminta agar negara lain, terutama dengan negara mayoritas Muslim, turut memediasi konflik yang terjadi di Xinjiang. Lewat unggahan di media sosialnya itu Oezil meminta dunia untuk tak lupa tentang apa yang terjadi di sana.

Ajakan itu malah berujung pada kritik bertubi-tubi. Kementerian Luar Negeri China menyebut Oezil sebagai korban berita palsu. Rakyat China yang tak terima dengan pernyataan Oezil bereaksi dengan membakar jersinya.

Persoalan bertambah panjang, bahkan sampai menyenggol klub. China membatalkan penayangan laga antara Arsenal dan Manchester City. NetEase selaku perusahaan penyuplai gim PES di China menghapus nama Oezil. 

Kondisi itu jelas merugikan The Gunners dalam segi promosi, terlebih Arsenal dikenal punya basis pendukung cukup masif di China. Mengutip Financial Times pada Januari 2019, Arsenal merupakan tim Premier League keempat terpopuler di China.

Arsenal pun bereaksi. Mereka mengeluarkan pernyataan resmi lewat Weibo, platform media sosial paling populer di China. Arsenal mengeklaim bahwa pernyataan Oezil soal Muslim Uighur tidak ada kaitannya dengan klub.

Konflik Oezil dan Arsenal meruncing ketika pandemi COVID-19 menghantam. Klub berharap agar para pemain dan tim kepelatihan bersedia dipotong gaji. Mikel Arteta turun tangan. Ia berbicara dengan anak-anak didiknya, meminta mereka untuk ikut berkontribusi meringankan beban klub dengan bersedia dipotong gaji. Lalu yang terdengar setelahnya adalah kabar bahwa Oezil menolak permintaan tersebut.

View this post on Instagram

#HayırlıCumalarDoğuTürkistan 🤲🏻

A post shared by Mesut Özil (@m10_official) on

Kepada David Ornstein untuk The Athletic, Oezil menjelaskan apa yang terjadi. Katanya, dia oke-oke saja jika gajinya yang 350.000 poundsterling per pekan itu dipotong. Yang terpenting, ada transparansi dan kejelasan informasi soal kondisi klub.

"Sebagai pemain, kami semua ingin berkontribusi. Namun, kami membutuhkan lebih banyak informasi, sementara ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab," jelas Oezil.

"Semua orang baik-baik saja dengan pemangkasan sementara walau ada begitu banyak ketidakpastian. Saya tidak masalah jika dikenai pemotongan gaji lebih besar selama kondisi sepak bola dan informasi keuangannya jelas. Namun, kami tergesa-gesa tanpa konsultasi yang tepat," lanjutnya.

Situasi tak sedap terjadi laga saat Arsenal memutuskan untuk memecat Jerry Quy sebagai bagian dari kebijakan efisiensi selama pandemi. Quy adalah orang yang selama 27 tahun belakangan berada di balik kostum maskot Arsenal, Gunnersaurus. 

Oezil gantian turun tangan. Ia bersedia membayar gaji Quy agar suporter Arsenal ini tetap bisa menjalani profesi yang begitu disukainya.

Hubungan yang renggang antara Oezil dan Arsenal sebenarnya sudah tercium sebelum polemik tweet soal Muslim Uighur. 

Klub berusaha menjual Oezil pada musim panas 2018 dan 2019. Mulai dari gaji selangit, performa yang menurun, cara bermain yang tidak sesuai dengan tim bentukan Arteta, hingga kecenderungannya untuk terlibat masalah, disinyalir sebagai alasan mengapa Arsenal menginginkan Oezil hengkang.

Diskon besar-besaran tetap tak membuat Oezil laku di bursa transfer. Spekulasi yang beredar, reputasinya telanjur jatuh: Kemampuan dan sikap Oezil sebagai pesepak bola kalah hebat dibandingkan dengan polemik dan ribut-ribut yang melibatkan namanya. 

Desing peluru perang antara Oezil dan Arsenal memang tak terdengar. Namun, perang tak pernah benar-benar berakhir. Hanya karena mereka tak saling tembak, bukan berarti semua pertanyaan terjawab. Mereka adalah dua kubu yang melakukan gencatan senjata.

Pada akhirnya, tidak ada nama Oezil dalam skuat Arsenal di Premier League 2020/21, begitu pula di Liga Europa. Ketika kawan-kawannya bertanding melawan Rapid Vienna, ia sibuk menyusun live tweet dari rumahnya.

***

Sekali lagi Oezil tersingkir. Pada 22 Juli 2018, Oezil mundur dari Timnas Jerman karena nasionalismenya dipertanyakan. Pangkal masalahnya adalah foto Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki. 

Dalam lawatannya ke London pada Mei 2018, Erdogan ditemui oleh tiga pemain berdarah Turki yang merumput di Premier League: Oezil, Ilkay Guendogan, dan Cenk Tosun. Mereka pun berfoto bersama.

Bagi Oezil, berfoto bersama Erdogan tak lebih dari pertemuan sesama orang Turki. Apes, ada banyak orang Jerman yang tidak sepakat. Mereka mencibir pertemuan tersebut karena menganggapnya sebagai wujud dukungan kepada sang Presiden Turki.

Erdogan dikecam oleh negara-negara dari Uni Eropa, salah satunya adalah Jerman, karena tindakan-tindakannya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM): Mulai dari penangkapan jurnalis, aktivis HAM, hingga figur dari sisi oposisi mewarnai perjalanan Erdogan untuk terpilih kembali menjadi Presiden Turki pada Juni 2018.

Mereka yang meributkan foto tersebut menganggap Oezil dan kawan-kawannya tidak tahu berterima kasih pada Jerman. Apa lagi urusannya kalau bukan urusan sejarah?

Berhitung mundur, Jerman Barat dan Turki sudah lama menjalin hubungan. Simbiosis mutualisme tenaga kerja mereka telah tercium sejak abad 16. Intinya, Jerman Barat kekurangan tenaga kerja, sedangkan orang-orang Turki membutuhkan pekerjaan.

Sebenarnya persoalan muncul ketika Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu. Runtuhnya Tembok Berlin memberikan jalan bagi buruh murah Jerman Timur untuk memperbaiki nasib di barat. Sejak reunifikasi, orang-orang Jerman mulai berpikir bahwa orang-orang Turki bisa mandiri tanpa menumpang di negara mereka. 

Pemerintah sebenarnya membuka kesempatan bagi para imigran Turki untuk mengajukan diri sebagai warga negara Jerman. Akan tetapi, sebagian besar orang Turki kesulitan karena berbagai kendala, mulai dari bahasa hingga tingkat pendidikan yang rendah. Dari situ kekerasan struktural muncul.

Pesepak bola keturunan Turki seperti Oezil bernasib lebih baik. Sepak bola memberikan ruang bagi mereka untuk melebur menjadi orang Jerman. Hal ini dipandang sebagai ‘kebaikan orang Jerman’ kepada imigran Turki. Maka, mereka berang dan meragukan nasionalisme Oezil akibat foto bersama Erdogan tadi.

Buntut dari pertemuan Oezil dan Erdogan panjang. Sebelum Piala Dunia 2018 bergulir, Manajer Timnas Jerman, Oliver Bierhoff, sudah mendesak agar pelatih Joachim Loew mencoret nama Oezil dalam skuat.

Situasi tambah runyam saat Die Mannschaft pulang lebih awal dari Rusia karena gagal melangkah ke fase gugur. Media-media sayap kanan dengan gencar meributkan nasionalisme Oezil dan menginginkannya segera pulang ke Turki.

Mudah bagi kita untuk terpantik dengan aksi heroik yang dilakukan para pesepak bola. Apa yang dilakukan Marcus Rashford membuat orang berlomba-lomba memasang emotikon tangan terkepal.

Namun, coba jawab pertanyaan ini: Jika yang diserukan itu mengganggu telinga kita, apakah kita masih mau mendengar? Jika seruan itu adalah ajakan untuk mengingat apa yang tidak ingin kita ingat, apakah kita bakal menjadi seperti Polisi Kenangan dalam novel Yoko Ogawa tadi, memaksa orang-orang melupakan mereka yang masih bisa mengingat?



Pengasingan, ironisnya, bukan perkara asing dalam sepak bola. Ranah ini adalah dunia yang brutal. Hidup dan mati manusia ditentukan oleh lemparan koin. Dalam satu jentikan jari seorang pemburu bisa berubah menjadi buruan, seorang pahlawan bisa beralih rupa menjadi pesakitan.

Kepada Stuart James and Dominic Fifield untuk The Athletic, Stephen Warnock bercerita tentang alienasi yang diterimanya di Aston Villa: Dari pemain Timnas Inggris menjadi pemain yang ruang ganti pun harus berbagi dengan pemain Aston Villa U-23.

"Semuanya adalah tentang permainan kekuasaan. Mereka berusaha mengacaukannmu secara mental, supaya kamu cepat pergi dengan hanya membawa sedikit uang," jelas Warnock.

Lihatlah apa yang terjadi pada Iker Casillas di Real Madrid dulu. Setelah sepuluh tahun tak pernah absen, sekaligus menjadi kapten, kepemimpinannya hilang sejak 22 Desember 2012. 

Dalam sekejap ia menjadi musuh satu tim karena upaya merangkul Carles Puyol dan Xavi Hernandez yang waktu itu membela Barcelona. Situasi sempat tak enak karena persoalan El Clasico biasa.

Casillas paham benar apa artinya El Clasico bagi Puyol dan Xavi. Akan tetapi, Casillas juga tak mau mereka berdua lupa bahwa sebenarnya mereka akan berdiri di atas lapangan yang sama untuk membela Timnas Spanyol.

Seruan untuk mengingat itu malah membuat Jose Mourinho, pelatih Madrid saat itu, berang. Ia menganggap Casillas menentangnya dan merusak atmosfer ruang ganti. 

Situasi sempat membaik, Casillas malah patah tangan. Patah hati dan patah tangan. Lengkap sudah. Masa depannya kabur, Casillas melangkah ke FC Porto pada 2015 tanpa perpisahan selayaknya legenda.

Pun dengan apa yang terjadi dengan Timnas Prancis pada Piala Dunia 2006. Keberagaman yang ditunjukkan Prancis lewat Thierry Henry, Lilian Thuram, dan Zinedine Zidane merupakan sebenar-benarnya pengingat bahwa rasialisme adalah sampah.

Alih-alih menggemakan seruan yang sama, Perdana Menteri Prancis saat itu, Jean-Marie Le Pen berkoar bahwa Les Bleus tak ubahnya kumpulan orang asing karena diperkuat oleh -orang-orang kulit hitam. Zidane, yang merupakan anak imigran Aljazair, dituding tidak menyanyikan lagu kebangsaan Prancis.

Politisi sayap kanan Italia--entah kenapa pula dia ikut-ikutan--Roberto Calderoli, memperkeruh suasana dengan menyebut para pemain Prancis sebagai orang-orang yang lebih suka menyanyikan Internationale dibanding La Marseillaise.

Masalahnya, Arsenal bukan tak punya alasan logis untuk mengasingkan Oezil. Klub menegaskan bahwa Oezil tak sesuai dengan rencana taktik Arteta. Bahkan dalam konferensi persnya baru-baru ini, Arteta menyampaikan penyelesalannya karena tidak bisa mengeluarkan yang terbaik dari Oezil.


Tidak ada yang menyangkal bahwa kontribusi Oezil sebelum pencoretan itu pun turun. Dia pun semakin tua dan bermain dalam frekuensi yang lebih sedikit. 

Keputusan Arteta menggunakan pakem 3-4-3 pun membuatnya sulit memanfaatkan keistimewaan Oezil. Toh, Oezil tidak mampu menawarkan transisi menyerang ke bertahan yang luwes. Di sisi lain, ia juga bukan pemain yang kuat-kuat amat dalam memberi pengaruh emosional kepada rekan-rekan setimnya.

Kini Oezil duduk di tribune penonton dengan kedua kaki yang bertumpu pada kursi kosong di depannya. Saat kawan-kawannya menggiring bola di bawah terik matahari, ia menonton sambil memegang payung dengan tangan kirinya.

Beberapa bulan dari sekarang Arsenal mungkin akan terlihat berbeda. Tanda-tanda keberadaan yang berusaha dipertahankan sekuat-kuatnya oleh Oezil lenyap, menyisakan ruang vakum yang tidak akan bisa ditinggali.