Saling Tikam di Barcelona

Ilustrasi: Arif Utama

Di balik kejayaan dan prestasi, ditutupi perlawanan khas Catalunya, Barcelona memeram luka. Yang menyakitkan, luka itu adalah luka saling tikam.

Pada awalnya saya tidak heran mengapa ada lagu cinta tentang Barcelona. Dari pengucapannya saja, nama kota itu terdengar indah. Jika bicara tentang sepak bola, saya sepakat dengan Darmanto Simaepa yang menyebut bahwa hanya Salernitana dan Fiorentina yang bisa menandingi kecantikan nama Barcelona. Coba saja kalian ucapkan sendiri.

Namun, pemakluman akan keindahan Barcelona belakangan memudar. Gantian saya yang terheran-heran saat seorang kawan beberapa kali bercerita tentang Barcelona. Katanya, ia sempat tertidur di kereta dalam sebuah perjalanan sore hari yang melenakan. Sebelum menuangkan fragmen itu dalam tulisannya sendiri di Lanturan soal El Clasico, dia berulang kali berkata kepada saya bahwa Barcelona dan Catalunya itu tempat yang magis, surealis.

Saya tidak menampik magi Barcelona. Akan tetapi, surealisme Barcelona yang saya tahu adalah kumpulan cerita patah hati yang beranak cucu. Kisah-kisah tentang Barcelona, perlawanan orang-orang Catalunya adalah narasi panjang tentang reruntuhan dan patah hati.

Itulah sebabnya saya tidak pernah tertarik dengan dorongannya untuk mengunjungi Barcelona, bahkan untuk mulai ikut kelas bahasa Spanyol. Itu pula alasannya saya heran mengapa ia bisa menyebut perjalanan di Barcelona sebagai suasana yang melenakan.

Saya bukan orang yang gentar dan kapok dengan patah hati. Namun, saya tidak merasa perlu untuk mematahkan hati sendiri dengan mengagumi cerita-cerita muram dan terlena--apalagi sampai tertidur--dalam melankolia.

***

Barcelona gonjang-ganjing. 28 Oktober 2020, Josep Maria Bartomeu mundur dari jabatannya sebagai presiden klub. April 2020, enam petinggi Barcelona, termasuk Wakil Presiden Emili Rousaud, mengundurkan diri secara bersamaan sebagai bentuk protes terhadap kepemimpinan Bartomeu. 

Sebagian orang berharap mundurnya Bartomeu sebagai akhir goncangan yang terasa bertahun-tahun itu. Sebagian yang lain menebak apa lagi yang akan terjadi di kemudian hari.

Geleng-geleng kepala atas kegaduhan yang melibatkan Barcelona dan Lionel Messi adalah reaksi tak perlu. Mereka yang sudah lama mendukung Barcelona barangkali menyadari bahwa ini bukan pertama kalinya Camp Nou dilanda petaka.

Pada mulanya adalah és més que un club, bukan sekadar tim sepak bola. Frase itu menandakan bahwa taktik dan romantika saling berpagut dalam sepak bola Barcelona. Sebagai tim, Barcelona diperkuat tak hanya oleh mereka yang memiliki keunggulan fisik, tetapi juga rasa dan intelegensi.

Bagi para romantis, Barcelona adalah oasis di tengah-tengah sepak bola Eropa yang brutal dan rakus. Narasi sepak bola ala Blaugrana adalah kemerdekaan untuk mencintai dan dicintai: Mencintai pemain-pemain Catalunya dan dicintai oleh para penggawa asing.

Mereka bisa menjadi bangsa yang unggul--La Masia--tetapi juga memberi ruang yang sama bagi para pendatang. Itulah sebabnya Barcelona memiliki Xavi dan Pep Guardiola, Johan Cruyff dan Lionel Messi.


Apa mau dikata, keinginan Neymar untuk pergi dari Camp Nou pada 2017 seperti menggambarkan bahwa semangat Barcelona untuk menjadi rumah yang aman bagi para penggawa asing terlampau muluk.

Jauh sebelum Neymar menjejak ke Catalunya, Barcelona pernah memiliki Helenio Herrera dan Louis van Gaal. Meski bukan pelatih sembarangan, keduanya ditendang juga. Bukan karena mereka bukan pelatih cerdas, tetapi karena Herrera dan Van Gaal tidak sanggup memberikan permainan memikat pada Barcelona.

Semua tahu pertahanan grendel ala Italia yang dibawa Herrera. Semua paham se-ortodoks apa sistem kepelatihan Van Gaal, padahal orang-orang Barcelona percaya bahwa kemenangan di atas lapangan bola berlumpur pun dapat diraih dengan elegan.

Namun, lihatlah Neymar. Ia adalah anak kandung sepak bola Brasil. Kecintaan orang-orang Brasil pada pesta dan ekstravaganza tergambar jelas dalam sepak bolanya. Neymar boleh bertingkah, tetapi sepak bolanya menawan. 

Ketika melepas tembakan, Neymar tidak hanya menendang bola ke arah gawang. Prosesnya acap dimulai dengan gerakan-gerakan akrobatis, gocekan-gocekan yang membuat dribelnya terlihat seperti atraksi sirkus. Bukankah itu sesuai dengan ciri sepak bola Barcelona?

Apes, Neymar tak betah juga. Barangkali ia sudah muak jadi bayang-bayang La Pulga. Skandal dan sengketa muncul kembali dari sana. Pada 2017, PSG membeli Neymar seharga 222 juta euro. Angka tersebut merupakan nilai klausul rilis pada kontrak Neymar bersama Barcelona. Itulah yang kemudian dimanfaatkan Qatar Sports Investment (QSI), pemilik PSG.

Supaya tidak bermasalah dengan regulasi Financial Fair Play, QSI mengontrak Neymar menjadi duta Piala Dunia 2022. Konon, kontrak itu bernilai 300 juta euro. Dengan uang itu Neymar membeli kontraknya dari Barcelona sehingga ia bisa melenggang ke Paris.

Singkat cerita, muncul kabar bahwa Neymar akan kembali pada musim 2019/20. Bartomeu disebut menolak kepulangan Neymar. Imbasnya adalah merenggangnya hubungan Bartomeu dan para pemain, termasuk Messi dan Suarez.

Kondisi tak sedap tambah menjadi-jadi karena Bartomeu mengangkat Ernesto Valverde sebagai pelatih. Masalahnya, Valverde dinilai pragmatis. Di era sepak bola modern rasanya sudah tak zaman untuk mengotak-ngotakkan mana yang pragmatis mana yang idealis. Masalahnya, ini Barcelona. Mereka tak mau menjadi sekadar klub sepak bola.  Es més que un club tadi. Meski Valverde memberi trofi, ia akhirnya dipecat juga. 

Bentrok terjadi lagi di dalam tubuh Barcelona. Eric Abidal yang dinilai bertanggung jawab pada pengangkatan Valverde tak terima. Menurutnya, biang melempemnya penampilan Barcelona adalah pemain. Giliran Messi yang tak terima dan angkat bicara. Suara-suara yang terdengar setelahnya adalah Messi kelewat berkuasa. 

Drama berlanjut dengan gerilya Bartomeu memulihkan nama baiknya. Masalahnya, tak jarang dalam politik kamu harus merusak nama baik orang supaya nama baikmu pulih. Bartomeu pun menikam orang-orang Barcelona, mulai dari Messi, Suarez, Gerard Pique, hingga orang-orang yang secara teknis tak punya lagi urusan dengan Barcelona, seperti Xavi dan Guardiola.


Suarez pada akhirnya dibuang dari Camp Nou. Kepindahan Suarez membuat Neymar dan Dani Alves mengomentari keputusan klub. Keduanya menilai Barcelona tidak tahu hormat dan terima kasih, lantas memperlakukan Suarez dengan tidak pantas.

Situasi tambah tak sedap karena Messi terang-terangan menyatakan keinginannya untuk hengkang pada bursa transfer musim panas terakhir. "Saya tidak bahagia. Saya ingin pergi," begitu kata Messi.

Masalahnya, persoalan hukum bakal membelit Messi jika ia memutuskan untuk pergi. Ia sampai harus berurusan dengan pengadilan karena keputusan itu. Ya, sudah. Menetaplah Messi di Barcelona.

Keputusan untuk berganti klub sebenarnya bukan perkara mengherankan di ranah sepak bola. Itu wajar sekali. Namun, situasi ini menjadi ironis karena pada awalnya, Barcelona adalah satu-satunya tempat yang mau menampung Messi. 

La Pulga meninggalkan Rosario saat berusia 13 tahun. Ia bertualang ke Catalunya karena Barcelona menjadi satu-satunya klub yang mau membiayai perawatan medis untuknya yang kekurangan hormon pertumbuhan. Meski keputusan itu memastikan tak ada lagi sepotong kue dari pelatihnya di Newell’s Old Boys setiap mencetak gol dan membuatnya mengurung diri di kamar usai latihan di La Massia, Messi bergeming karena ia tak punya tempat selain Barcelona.

Bagi Suarez yang dibuang ke Atletico, Barcelona pernah menjadi oasis setelah tahun-tahun tanpa gelar juara Liga Champions. Kepindahan ke Barcelona barangkali juga menjadi upaya bagi Suarez tentang insiden-insiden yang melekat padanya sejak menjejak ke Anfield. 

Barcelona di dalam benak Messi dan Suarez adalah Barcelona yang bukan sekadar klub. Tempat ini ibarat kemenangan orang Athena atas Sparta, kemenangan budak atas penjajah.

Sayangnya, bagi sebagian orang-orang terdekatnya Barcelona berubah dari utopia menjadi distopia. Jangankan Messi, Suarez, dan Neymar, Johan Cruyff--legenda yang gagasannya mengubah dan merevolusi sepak bola modern--pun merasakan perlakuan serupa. 

Pada 1996, Cruyff dipecat dengan tidak transparan. Di depannya para petinggi klub mendeklarasikan kepercayaan kepadanya, di belakang malah mengikat kerja sama dengan Bobby Robson yang apesnya tak tahu-menahu urusan dapur Barcelona.

***

Sepak bola adalah tentang industri. Kekuasaan dan uang adalah dua hal yang sebenarnya dipertaruhkan di balik hormat dan nama besar. Saling sikut adalah perkara biasa. Namanya juga bisnis. Saling tendang tak perlu dibesar-besarkan.Toh, untuk mencari kemenangan kalian harus menendang bola sampai ke gawang orang.

Akan tetapi, romantika yang awalnya menjadikan Barcelona sebagai utopia itu membuat kegaduhan di dalamnya terasa lebih memilukan daripada yang lain. Di balik kejayaan dan prestasi, ditutupi perlawanan khas Catalunya, Barcelona memeram luka. Yang menyakitkan, luka itu adalah luka saling tikam.