Juventus vs Lazio: Semua tentang Sarri

Maurizio Sarri tersenyum lebar dalam sebuah sesi latihan Lazio. (Instagram/@official_sslazio)

Maurizio Sarri dicampakkan Juventus meski mempersembahkan titel Scudetto. Bersama Lazio, dia diberikan satu hal yang tak pernah dia dapatkan di Juventus: Waktu. Mampukah dia menuntut balas?

Massimiliano Allegri tak pernah bisa menyenangkan semua orang. Sebanyak apa pun trofi yang dia berikan, sesering apa pun tim asuhannya menang, akan selalu ada pihak-pihak yang merasa dia bukan pelatih yang tepat. Pada 2019, Allegri dipecat dari Juventus meski telah berhasil memberikan lima Scudetti dalam lima musim.

Allegri datang ke Juventus dengan cemoohan. Dia sama sekali bukan favorit para suporter Juventus karena punya afiliasi kuat dengan Milan yang waktu itu sedang terpuruk. Ketika melatih Milan, Allegri memang pernah membawa klub itu jadi juara Italia. Akan tetapi, setelah Milan mulai terperosok, Allegri pun menjadi sasaran hinaan favorit para Juventini.

Maka, ketika Juventus menunjuk Allegri sebagai pengganti legenda klub, Antonio Conte, meradanglah para tifosi. Berani-beraninya manajemen memilih pelatih yang sebelumnya selalu kami caci maki. Kira-kira, begitulah yang ada di pikiran para pendukung Juventus pada musim panas 2014.

Lima tahun kemudian, Allegri berhasil membuktikan bahwa dia memang sosok yang tepat untuk Juventus. Lima gelar juara liga, empat trofi Coppa Italia, dua titel Supercoppa Italiana, plus dua kali keberhasilan melaju ke final Liga Champions membuat Allegri jadi salah satu pelatih tersukses dalam sejarah Juventus. Persentase kemenangannya saat itu mencapai 70,48 persen!

Allegri sukses besar dalam era kepelatihan pertamanya di Juventus. (Twitter/@juventusfcen)

Namun, sekali lagi, Allegri tak pernah bisa menyenangkan semua orang. Ya, Juventus memang menang. Ya, Juventus memang juara. Namun, Juventus sebetulnya acap tampak kesulitan. Juventus juga amat jarang menampilkan sepak bola yang sedap dipandang mata. Para suporter sudah cukup lama menyadari hal itu sampai akhirnya manajemen pun mengakuinya pada 2019.

Maka, Allegri pun diminta angkat kaki. Lalu, ditunjuklah Maurizio Sarri yang ketika itu baru saja sukses mengantarkan Chelsea juara Liga Europa. Juventus punya dua tujuan. Mereka ingin mengubah citra dari tim defensif menjadi tim ofensif. Mereka juga ingin menjadi juara Liga Champions. Untuk meraih dua hal itu, Sarriball dipandang sebagai jalan yang benar.

Namun, harapan tinggal harapan. Sarri memang sukses mempersembahkan gelar juara Serie A bagi Si Nyonya Tua. Akan tetapi, gaya sepak bola yang dipopulerkannya bersama Napoli sama sekali tidak terlihat. Pada praktiknya, Juventus harus banyak bergantung pada Cristiano Ronaldo yang diwarisinya dari Allegri. Alhasil, di mata Juventus, Sarri telah gagal. Sarri pun beranggapan demikian.

Era kepelatihan Sarri di Juventus bisa dirangkum menjadi satu kalimat: "Kalian memecatku, tetapi kenyataannya tim ini tidak bisa dilatih." Menurut laporan Corriere Torino, itulah kalimat terakhir yang diucapkan Sarri kepada manajemen Juventus ketika dia dipecat di pengujung musim 2020/21. Jabatan Sarri setelah itu diserahkan pada Andrea Pirlo yang sebenarnya baru saja mulai menangani tim U-23 Juventus.

Tentu, masih segar dalam ingatan bagaimana akhir dari rezim Pirlo di Juventus. Kini, jabatan pelatih di Bianconeri kembali jadi milik Allegri. Namun, sejauh ini Allegri belum bisa mengulangi apa yang dulu dia capai. Juventus asuhannya kini terseok-seok di papan tengah. Tak cuma itu, penampilan tim secara keseluruhan pun senantiasa bikin geleng-geleng kepala.

Artinya, apa yang dikatakan Sarri pada 2020 itu benar. Juventus memang "tidak bisa dilatih". Lebih tepatnya, skuad Juventus yang dimiliki Sarri waktu itu — dan sebagian besarnya masih bertahan sampai sekarang — tidak cocok untuk memainkan sepak bola sesuai harapan manajemen. Celaka bagi Sarri, dia tidak diberi kesempatan tambahan untuk menanamkan ide bermainnya sampai tuntas.

Nasib serupa pun dialami oleh Pirlo musim lalu. Pirlo berupaya untuk mengimplementasikan sepak bola yang kurang lebih mirip dengan Sarri. Yakni, sepak bola proaktif dengan umpan-umpan pendek dan pergerakan pemain yang konstan. Di beberapa pertandingan, gaya main itu sebetulnya sudah tampak. Akan tetapi, lagi-lagi, karena sumber daya yang ada memang tidak sesuai, ide Pirlo itu jadi tidak terlihat wujudnya.

Manajemen Juventus sendiri diam-diam mengakui bahwa Sarri tidak salah. Buktinya, tak lain, adalah penunjukan kembali Allegri pada musim ini. Juventus ingin cepat-cepat juara Serie A lagi untuk meminimalkan efek pandemi pada neraca keuangan mereka. Karena tahu skuad yang ada kurang mumpuni dan dana yang dimiliki terbatas, manajemen pun mengambil jalan pintas dengan menunjuk Allegri yang pragmatis.

Maka, penunjukan Allegri pada awal musim ini sebenarnya tidak pernah direncanakan oleh Juventus. Keadaanlah yang memaksa. Sejak dua tahun lalu Juventus ingin berubah. Mereka ingin tampil lebih keren dan modern dengan sepak bola yang populer di seantero Eropa. Akan tetapi, mereka memang belum memiliki sumber daya yang cukup untuk mewujudkan itu. Pandemi virus corona pun makin membuat Juventus kesulitan.

Pirlo cuma bertahan semusim sebagai pelatih Juventus. (Twitter/@juventusfcen)

Problem yang dimiliki Juventus saat ini sebetulnya merupakan efek berkepanjangan dari buruknya strategi transfer mereka usai menjual Paul Pogba ke Manchester United. Alih-alih mencari pengganti sepadan untuk Pogba (serta Arturo Vidal dan Pirlo yang hengkang lebih dulu), mereka justru terus-terusan membeli penyerang berharga selangit.

Setelah Gonzalo Higuain, menyusullah Ronaldo. Padahal, lini yang paling butuh dibenahi adalah lini tengah. Sudah lima tahun Juventus tidak pernah memiliki lini tengah yang cukup bagus. Karena itu, tidak mengejutkan apabila Sarri menilai Juventus tidak bisa dilatih.

Saat ini, setelah menganggur selama satu musim, Sarri dipercaya melatih Lazio. Boleh dibilang, Biancocelesti memiliki lini tengah yang lebih baik ketimbang Juventus. Mereka punya Sergej Milinkovic-Savic dan Luis Alberto sebagai tumpuan utama. Sarri juga kini sukses menyulap Danilo Cataldi sebagai regista andal. Namun, apa yang dilakukan Sarri di Lazio juga belum bisa dibilang optimal.

Penyebabnya adalah Lazio sudah sangat terbiasa dengan sepak bola ala Simone Inzaghi yang menitikberatkan pada fase transisi. Selain itu, Lazio punya ketergantungan yang tidak sehat kepada kapten sekaligus topskorer sepanjang masa mereka, Ciro Immobile.

Meski begitu, Sarri tetap mendapat kepercayaan penuh dari kubu Gli Aquilotti. Bahkan belum sampai setengah musim Serie A 2021/22 berjalan, Sarri sudah ditawari kontrak baru oleh presiden klub, Claudio Lotito. Lotito sadar bahwa, untuk mengubah cara bermain Lazio, Sarri mesti diberi waktu. Di Juventus, hal itu tidak didapatkannya.

Minggu (21/11/2021) dini hari WIB, Lazio akan menjamu Juventus di Olimpico dalam lanjutan Serie A. Tentunya, Sarri ingin menjadikan laga tersebut sebagai pembuktian bahwa manajemen Juventus telah membuat kesalahan dengan memecatnya. Namun, tekad balas dendam itu bisa jadi takkan terwujud karena Lazio kemungkinan bakal kehilangan dua penyerang andalannya, Immobile dan Pedro, yang cedera. Kalaupun mereka bisa turun, bisa dipastikan kondisinya tidak 100 persen.

Kondisi Juventus sebetulnya juga tidak terlalu bagus karena Giorgio Chiellini dipastikan bakal absen dan Paulo Dybala masih belum sepenuhnya pulih dari cedera. Namun, pendekatan pragmatis ala Allegri beberapa kali sudah mampu menghadirkan hasil positif buat Juventus, terutama saat berhadapan dengan tim kuat. Mereka berhasil menumbangkan Roma, Fiorentina, dan Chelsea.

Dengan demikian, kans Juventus maupun Lazio untuk menang praktis sama besar. Siapa pun yang menang dalam laga ini adalah mereka yang pemainnya mampu menghadirkan momen individual spesial di saat yang tepat.