Liverpool vs Low-Block

charnsitr / Shutterstock.com

Menghadapi Manchester United, Liverpool berkesempatan kembali menghadapi lawan yang bermain low-block. Apa yang harus mereka lakukan agar tidak kembali melempem?

Liverpool sedang mengalami fase yang aneh. Dalam tiga laga Premier League terakhir, tim besutan Juergen Klopp itu cuma bisa menciptakan satu gol. Buruknya lagi, mereka tak pernah menang. Dua kali Liverpool seri kala melawan West Brom dan Newcastle. Sementara satu laga lainnya mereka selesaikan dengan kekalahan 0-1 dari Southampton.

Melihat performa mereka dalam dua musim terakhir, performa seperti ini pasti menimbulkan sebuah pertanyaan: Ada apa dengan Liverpool?

Yang jelas, mereka sedang tidak baik-baik saja. Dalam tiga pertandingan itu, Liverpool hanya mencatatkan tujuh tembakan tepat sasaran. Ya, cuma tujuh. Bahkan dalam laga melawan Southampton, tembakan tepat sasaran baru dicatatkan setelah laga melewati menit ke-75. Sementara saat menghadapi West Brom, The Reds hanya mencatatkan 2 tembakan tepat sasaran dari 17 percobaan.

Dari tiga laga tersebut, terlihat benar bahwa Liverpool kepayahan kala menghadapi tim yang bertahan dengan garis pertahanan yang rendah (low-block). West Brom, Newcastle, dan Southampton bermain dalam dengan mengedepankan kompaksi ketika menghadapi Liverpool. Jarak antar-pemain rapat agar tak ada ruang yang bisa dieksploitasi Mohamed Salah cs.

Garis pertahanan rendah Soton. Foto: Youtube Southampton

Dihadapkan dengan situasi seperti itu, pemain Liverpool kebingungan. Mereka tak bisa membongkar pertahanan lawan. Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane tak mampu berbuat banyak. Andrew Robertson dan Trent Alexander-Arnold juga tak bisa mengkreasikan banyak peluang. Buntu.

Celakanya, pada laga berikutnya, Liverpool akan menghadapi Manchester United. Tim asuhan Ole Gunnar Solskjaer adalah tim yang gemar bermain dalam dan rapat ketika menghadapi tim yang secara kualitas berada di atas (atau sama) dengan mereka, seperti Liverpool atau Manchester City.

Jika tak percaya, tengok saja laga United vs Liverpool musim lalu. Saat keduanya bertemu pada 20 Oktober 2019, Solskjær lebih memilih bermain dalam dan rapat. Pada laga itu, United cuma membuat 509 sentuhan berbanding 842 milik sang lawan. Marcus Rashford dkk. juga hanya mencatatkan total 299 umpan berbanding 652 milik Liverpool.

Atau, untuk lebih jelasnya, tengoklah heatmaps United ini.

United menyerang ke kanan. | Grafis: WhoScored

Meski bermain dalam dan menunggu, United nyatanya tak kalah. Mereka berhasil menahan imbang Liverpool dengan skor 1-1. Dan di laga ini, Liverpool juga kebingungan membongkar pertahanan lawannya. Mereka harus menunggu hingga menit ke-85 untuk bisa mencetak gol.

Pada pertemuan kedua musim lalu, ketika United mencoba bermain lebih terbuka, mereka keok 0-2. Dengan status unggul tiga poin atas Liverpool musim ini, masuk akal jika Solskjaer memilih bermain pragmatis. Bertahan lebih dalam, menunggu, dan baru melancarkan serangan balik ketika mendapatkan kesempatan.

Toh, musim ini, dengan pendekatan permainan seperti itu, United berhasil menahan imbang Manchester City. Mendapatkan dua poin dari laga melawan Liverpool dan City jelas bukan catatan yang buruk buat Solskjaer. Hasil itu tetap bisa membuat United memertahankan posisi puncak klasemen.

United menyerang ke kanan. | Grafis: WhoScored

Jika Liverpool tak berubah (dalam artian tetap kebingungan menghadapi tim yang bermain dengan low-block seperti tiga laga sebelumnya), kemenangan jelas sulit didapatkan pasukan Klopp kendatipun mereka bermain di Anfield. Lantas, menarik untuk mendedah apa yang harus dilakukan Klopp untuk bisa membuat anak asuhnya kembali bertaji?

Jawaban pertama mungkin adalah dengan memainkan sosok kreatif sejak awal. Biasanya, Liverpool mengedepankan kreativitas tiga pemain depan beserta duo full-back-nya untuk membongkar pertahanan lawan. Dan kita semua tahu, itu tak cukup.

Trio pemain depan Liverpool sedang mengalami penurunan performa dalam hal kreativitas. Angka expected assist (xA) per 90 menit milik Mane, Salah, dan Firmino menurun musim ini jika dibandingkan pada musim lalu.

Catatan xA Firmino menurun drastis dari 0,20 per 90 menit musim lalu menjadi hanya 0,13 musim ini. Sementara angka Salah menurun di 0,21 per 90 menit musim ini dibanding 0,24 musim lalu. Dan Mane cuma mencatatkan 0,16 per 90 menit musim ini dibanding 0,22 musim lalu. Ketiga pemain depan Liverpool mulai kesulitan menciptakan peluang.

Selain itu, Alexander-Arnold juga sedang tidak konsisten musim ini. Sejauh ini dia baru mencatatkan dua assist. Dan berkaca dari laga United vs City pada musim ini, Alexander-Arnold sepertinya akan kesulitan untuk menciptakan banyak peluang jika Solskjaer menurunkan Paul Pogba sebagai gelandang serang kiri.

[Baca Juga: Harap Maklum kalau Jumlah Assist Alexander-Arnold Menurun]

Pada laga melawan City, Solskjaer menempatkan Pogba di bagian kiri-depan bukan untuk aspek ofensif, melainkan defensif. Bersama Fred dan Luke Shaw, Pogba mampu meng-overload sisi kiri untuk mengunci pergerakan Riyad Mahrez dan Kyle Walker. Hasilnya bagus; Walker cuma mampu melepaskan 61 umpan (tersedikit di antara pemain belakang City) dan Mahrez hanya melepaskan 19 umpan (tersedikit di lapangan) pada laga itu.

Angka jumlah passing sukses pemain City di laga vs United. Grafis: WhoScored

Melihat Liverpool punya Alexander-Arnold, masuk akal jika Solskjaer kembali menerapkan susunan tersebut. Apalagi di sisi kanan Liverpool juga ada Salah. Dengan asumsi bahwa Alexander-Arnold akan "dikunci" oleh United, Liverpool jelas butuh penyuplai bola lainnya. Mereka butuh sosok kreatif yang lain.

Robertson jelas jadi opsi utama, tapi Klopp juga bisa coba memainkan Xherdan Shaqiri sejak menit awal. Penampilan Shaqiri saat menghadapi Aston Villa (U-18) di ajang Piala FA cukup bagus. Pemain berpaspor Swiss itu berhasil menciptakan dua assist meski bermain sebagai pemain pengganti.

Sejak didatangkan dari Stoke pada musim 2018/19, Shaqiri merupakan pemain tengah Liverpool dengan penciptaan peluang per 90 menit paling banyak di Liverpool. Eks-pemain Inter Milan itu mencatatkan 1,4 penciptaan peluang per 90 menit, sedangkan saingan terdekatnya, Alex Oxlade-Chamberlain hanya mencatatkan 1,1.

Dalam periode yang sama, Shaqiri juga unggul dalam hal umpan ke dalam kotak penalti dibanding gelandang-gelandang Liverpool lainnya. Dia mencatatkan 5,8 umpan ke kotak penalti per 90 menit, berbanding catatan 4,9 milik James Milner dan Jordan Henderson selaku pesaing terdekat.

Sebab itu, tak ada salahnya jika Klopp mencoba memainkan Shaqiri sejak awal pada laga vs United nanti. Toh, pemain berusia 29 tahun itu juga kerap membuktikan diri sebagai pemecah kebuntuan. Laga melawan West Ham musim ini bisa jadi contoh. Kala itu Shaqiri yang baru masuk di menit 70 mampu menciptakan assist yang indah untuk Diogo Jota dan membawa Liverpool menang 2-1.

Possesion & shoot per game. Foto: Youtube Liverpool

Umpan-umpan terobosan yang kerap dilepaskan Shaqiri inilah yang diperlukan Liverpool untuk membongkar tim yang bertahan dengan rendah. Umpan terobosan mungkin terlalu berisiko dan Klopp, kita tahu, tak suka dengan pemain yang sering melepaskan penguasaan bola. Namun, melihat dari tiga laga terakhir, bermain lebih berani tak ada salahnya buat Liverpool.

Kebetulan pula, Shaqiri juga punya memori indah saat mengadapi Liverpool. Pada pertemuan di tahun 2018, dia mampu mencetak dua gol kemenangan Liverpool atas United setelah masuk dari bangku cadangan. Dua gol itu membuat Liverpool mampu menang 3-1 atas lawannya.

Alasan lain mengapa Klopp kerap tak memilih Shaqiri sebagai starter adalah karena dia lemah dalam aspek bertahan dibanding gelandang-gelandang Liverpool lainnya. Namun, Klopp bisa menggunakan pola 4-2-3-1 dengan menempatkan Shaqiri sebagai gelandang no. 10 dengan dua gelandang tengah yang lebih fokus dalam aspek defensif.

Pola itu sudah pernah Klopp gunakan kala menghadapi Ciy musim ini, demi mengakomodir Firmino, Salah, Mane, dan Jota. Hasilnya juga tak jelek, Liverpool bermain imbang 1-1 dengan City di Etihad Stadium. Bermain dengan 4 pemain ofensif juga tak mengendurkan pertahanan Liverpool pada laga itu.

Line-up vs City (angka di dalam kurung adalah presentase umpan sukses). Grafis: WhoScored

Lagi pula, aspek defensif bukanlah fokus utama ketika menghadapi tim yang bermain dalam (yang menyerang pun akan jarang). Menghadapi United dengan pola 4-2-3-1 bukan hal yang terlalu berisiko. Apalagi ini juga akan membuat Liverpool lebih mengakomodir Thiago yang selama di Bayern Muenchen lebih sering bermain di formasi ini.

Kemampuan Thiago membaca permainan juga akan menguntungkan Liverpool. Terlebih kemungkinan besar dia akan berduet dengan Jordan Henderson atau Gini Wijnaldum yang juga bisa diandalkan dalam aspek defensif. Selain itu, ketiga nama tersebut juga andal dalam menjaga penguasaan bola--sesuatu yang dibutuhkan untuk meminimalisir serangan balik cepat.

Omong-omong serangan balik cepat, United musim ini adalah tim dengan jumlah gol dari serangan balik paling banyak di Premier League. Total anak asuh Solskjaer sudah mencetak lima gol dengan skema itu. Jelas, menghadapi tim seperti ini, Liverpool tak boleh ceroboh. Umpan-umpan berisiko hanya bisa dilepaskan di area sepertiga akhir lawan.

Apalagi, serangan balik juga sering menghasilkan penalti buat "Iblis Merah". Tentu, Klopp tak ingin melihat timnya dihukum penalti saat melawan United setelah komentarnya akhir pekan lalu.

[Baca Juga: Penalti Tidak Jatuh dari Langit]

Satu hal lain yang perlu dilakukan Liverpool untuk menang pada pertandingan ini adalah dengan tidak bertele-tele. Begini, rata-rata waktu Liverpool menguasai bola (dari merebut bola/kiper melakukan build-up hingga melepaskan tembakan/bola terebut) pada dua musim terakhir ada di angka 24,7 detik.

Sementara itu, di musim ini, angkanya melonjak jadi 27,2 detik. Musim ini Liverpool juga jadi tim dengan catatan penguasaan bola per laga tertinggi di Premier League dengan angka 60,5%. Angka itu lebih tinggi dari City-nya Pep Guardiola yang mencatatkan angka 60%.

Statistik per game. Grafis: WhoScored

Masalahnya, angka tembakan per 90 menit yang dilepaskan Liverpool musim ini menurun angkanya. Mereka cuma mencatatkan 15,4 tembakan per 90 menit ketimbang 15,6 pada musim lalu. Dari sini terlihat bahwa Liverpool memegang bola terlalu lama sebelum menyelesaikannya jadi sebuah tembakan.

Mendominasi penguasaan bola jelas hal yang bagus, tapi Liverpool harus lebih klinis. Mereka kerap kehilangan momentum karena terlalu bertele-tele di lini depan. Padahal, dalam dua atau tiga musim lalu, Liverpool terkenal sebagai tim yang cepat dalam hal menyelesaikan peluang. Permainan cepat di lini depan itulah yang sulit diantisipasi lawan, dan sayangnya tak terlihat pada musim ini.

Baik Mane, Firmino, atau Salah yang punya tugas untuk peluang juga harus cepat mengambil keputusan. Catatan untuk Firmino dan Salah, mereka juga harus meningkatkan kuantitas tembakan mereka.

Foto: Premier League

Sebab, dibanding musim lalu, catatan tembakan per 90 menit yang dilepaskan Firmino dan Salah juga menurun. Salah, misalnya, pada musim lalu mampu mencatatkan 4,1 tembakan per 90 menit, sedangkan musim ini hanya 3,6. Angka Firmino juga menurun dari 3 tembakan per 90 menit musim lalu menjadi 2,4 saja musim ini.

Liverpool jelas harus berubah. Kalau mau menang, penampilan seperti yang mereka tunjukkan dalam tiga laga terakhir tak boleh terulang. Jika tidak, maka posisi di klasemen tidak akan berubah. Toh, United punya PR yang lebih sedikit dan momentum yang lebih baik dari mereka.